Selasa, 28 September 2010

Luas Hutan di Sulawesi Tengah Berkurang

PALU--MI: Luas hutan di Provinsi Sulawesi Tengah akan berkurang 19 persen menyusul rencana revisi rancangan tata ruang ruang wilayah secara nasional.

Kepala Dinas Kehutanan Sulteng Nahardi di Palu, Sabtu (25/9), mengatakan luas hutan Sulteng berdasarkan Perdaturan Daerah No.2 Tahun 2004 mencapai 4.394.932 hektare namun setelah didata ulang sehubungan rencana revisi RTRW, berkurang menjadi 3.561.629 hektare atau 19 persen.

Menurut Nahardi, penyusutan luas hutan Sulteng disebabkan alih fungsi lahan dan adanya tumpang tindih kepemilikan kawasan yang terjadi di lapangan.

Kondisi ini membuat Pemprov Sulteng mengusulkan pelepasan kawasan dan perubahan peruntukan kawasan hutan ke Kementerian Kehutanan.

"Tujuannya untuk menghindari konflik antara masyarakat dengan pemangku kepentingan di daerah. Ini juga menjadi usulan kabupaten/kota," katanya.

Nahardi mencontohkan perubahan fungsi hutan menjadi permukiman penduduk dan perkantor terjadi di Kecamatan Marawola Barat, Kabu paten Sigi. Kondisi serupa terjadi di Kecamatan Ulubongka, Kabupaten Tojo Una-Una.

"Hampir semua daerah yang memiliki kawasan hutan ditemukan kasus serupa," katanya.

Menurut data yang dimiliki Dinas Kehutanan Sulteng, hutan suaka alam yang dulunya seluas 676.248 hektare kini berkurang menjadi 531.906 hektare dan hutan lindung menjadi 1.243.650 hektare dari sebelumnya seluas 1,489,923 hektare.

Selanjutnya hutan produksi terbatas juga mengalami perubahan dari 1.476.316 hektare menjadi menjadi 1.349.640 hektare, hutan produksi kini menjadi 273,986 hektare dari sebelumnya 500.589 hektare.

Selain itu hutan produksi konversi berubah menjadi 162,446 hektare dari yang dulunya seluas 251.865 hektare.

Dari hasil perhitungan ulang menggunakan GPS (Geographic Position System), luas wilayah Sulteng juga mengalami perubahan dari 6.803.300 hektare menjadi 6.330.468 hektare.

"Rencana revisi ini belum disetujui pemerintah pusat sebab masih ada data pendukung yang mesti dilengkapi pihak pengusul, yakni pemerintah kabupaten/kota se Sulteng,"

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Unilever Gaet ITB Sebarkan Isu "Global Warming"

Unilever Gaet ITB Sebarkan Isu Global Warming
BANDUNG--MI: Ada seorang anak pernah bertanya kepada ibundanya tentang global warming. Sayangnya, sang bunda juga tidak tahu makna dari bahasa asing itu.

"Itu karena istilah global warming hanya eksklusif di kalangan pemerintah dan para ahli. Karenanya, Yayasan Unilever Indonesia bertekad untuk membumikan istilah itu," tegas Sinta Kaniawati, General Manager Yayasan Unilever Indonesia, di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Jumat (25/9).

Sesungguhnya telah banyak program lingkungan terkait global warming yang diluncurkan yayasan milik perusahaan yang telah berkiprah lebih dari 76 tahun di Indonesia itu. Tapi, yang paling segar adalah Ganesha Green Fest dengan merangkul perguruan tinggi pertama di Indonesia, ITB. Acara ini dibuka selama sepekan dari 24 September sampai 1 Oktober 2010.

Sekadar informasi, sejak 2008, Green Fest biasanya diadakan secara terbuka untuk umum di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Pada November tahun ini, acara serupa di tempat yang sama akan diadakan lagi.

Dengan menggaet Himpunan Mahasiwa Teknik Lingkungan ITB dan alumni ITB angkatan 1990, yayasan berharap dapat mencetak kader dari generasi muda berpendidikan yang mampu memberikan pencerahan kepada lingkungan kampus dan masyarakat Bandung. Untuk itu, ada training pemanasan global yang diikuti 300 peserta dari mahasiswa ITB, perguruan tinggi lain seperti Unpas dan Itenas, dan siswa SMA.

Ada juga peluncuran buku berjudul Hidup Hirau Hijau lengkap dengan bedahnya. Sekitar 300 eksemplar diberikan yayasan kepada ITB. Di dalamnya dipaparkan tentang langkah sederhana untuk mencegah pemanasan global. Contohnya, di waktu siang hari, matikan lampu dan saat dimatikan, kabel juga harus dicabut dari kontaknya.

Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) ITB Iqbal Ariefandi tentu saja menyambut gembira kerja sama yang ditawarkan Yayasan Unilever Indonesia. "Apalagi, global warming termasuk keprofesian kami," ujarnya.

Sebelumnya, HMTL ITB telah mengadakan program eco-school selama tujuh tahun berturut-turut. Di sini, mahasiwa terjun ke SMP dan SMA yang dinilai kurang memerhatikan lingkungan untuk peduli. Hasilnya, "Seperti di SMP 9 kini sudah ada dua tempat sampah yang organik dengan anorganik. Padahal, dulunya tidak ada," kata Iqbal bersemangat.

Nah, peserta hasil godokan training dan roadshow tentang pemanasan global nanti diharapkan juga dapat membaginya ke sekolah dan masyarakat Bandung secara luas.

Rektor ITB Akhmaloka mendukung sepenuhnya kegiatan yang dinilainya bermanfaat bagi mahasiswa. Menurutnya, diskusi tentang climate change atau perubahan iklim adalah diskusi tentang masa depan. "Bagaimana Bumi kita wariskan kepada anak cucu kita dengan kondisi yang baik bukan buruk karena Bumi bukan milik kita," terangnya.

Penduduk yang semakin banyak menimbulkan kekumuhan dan eksploitasi meningkat. Akibatnya, kriminalitas juga meroket. "Saya berharap mahasiswa dapat memahami tentang sustainability human life atau keberlangsungan kehidupan manusia terkait global warming,"

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Rabu, 29 September 2010 | Metro TV | Lampung Post | Borneo News | Yayasan Sukma | Kick Andy Home Advertisiment * Home * Polhukam * Ekonomi & Bisnis * Olahraga * Sepak Bola * Megapolitan * Nusantara * Internasional * Sains & Teknologi * Humaniora * Opini * Perempuan * Hidup Sehat * Otomotif * Travelista * Gadget * Blog * Video * Foto * Cinema * Politik Dalam Negeri * Politik Luar Negeri * Hukum * Hankam * Lainnya * Ekonomi * Bursa & Valas * Finansial & Perbankan * Bisnis & Investasi * Lainnya * Bulu Tangkis * Tenis * Basket * F1 * Moto GP * Tinju * Sosok * Lainnya * Pesta Bola Dunia * Liga Inggris * Liga Itali * Liga Spanyol * Liga Jerman * Liga Indonesia * Off Side * Lainnya * Kriminal * Trafik * Sosial * Peristiwa * Lainnya * Berita & Peristiwa * Lainnya * Piranti * Iptek * Telekomunikasi * Regulasi * E Lifestyle * Kesehatan * Pendidikan * Lingkungan * Kebudayaan * Religi * Umum * Bali - Nusa Tenggara * Jabar - Banten * Jateng - DIY * Jatim * Kalimantan * Maluku - Irian Jaya * Sulawesi * Sumatera Suara Anda | Layanan Umum | Kontak Media | Jadwal Hari Ini | Lowongan Kerja Jadwal Sholat Penerbangan Kereta Api Travel + Primajasa Polisi Pemadam Kebakaran Layanan Publik Media Online Iklan Sirkulasi Percetakan Production Publishing Advertisiment Land Reform and Pengentasan Kemiskinan: Pelajaran dari China

Di tengah memanasnya konflik antara Indonesia dan Malaysia, sebenarnya ada permasalahan krusial yang perlu belum terpecahkan secara efektif dan agak terlupakan. Dalam rilis terakhir yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan bahwa angka kemiskinan turun dengan lambat. Saat ini sekitar 31,02 juta atau sekitar 13,33% dari total penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal Indonesia bertekad untuk mengurangi penduduk yang hidup di bawah kemiskinan di menjadi sekitar 8% pada tahun 2015 mendatang sebagai salah satu target Millenium Development Goals (MDGs).
Lebih separuh dari penduduk miskin tersebut tinggal di pedesaan dan sebagian besar hidup sebagai petani gurem dan buruh tani. Ironisnya, jumlah petani gurem ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 1983 populasi petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare mencapai 40,8 % dari total jumlah petani yang ada. Sepuluh tahun kemudian, jumlah petani gurem meningkat menjadi 48,5%. Bahkan. secara kuantitatif luas lahan yang dimiliki petani gurem tersebut juga semakin mengecil dari rata-rata 0,26 hektare menjadi 0,17 hektare. Lebih jauh, data BPS juga menyebutkan bahwa jumlah petani gurem dalam kurun waktu tahun 1993 hingga 2003 meningkat rata – rata sebesar 2,6% per tahunnya. Hasil sensus pertanian 2003 memperlihatkan rumah tangga petani meningkat cukup signifikan dari 20,8 juta di tahun 1993 menjadi 25,4 juta di tahun 2003. Lebih jauh, dari total rumah tangga petani tersebut, sekitar 54,4% berada di Pulau Jawa dan 45,1% berada di luar Jawa. Di Pulau Jawa sendiri jumlah petani gurem mencapai 75% dari total rumah tangga petani. Sementara di luar Jawa, proporsi petani gurem mencapai 34%. Diperkirakan jumlah petani gurem dan petani yang tak memiliki lahan jauh lebih besar saat ini.
Untuk mempercepat laju pengentasan kemiskinan, tak bisa dipungkiri, pembangunan pedesaan merupakan langkah strategis yang perlu segera dilakukan. Untuk itu, land reform merupakan suatu instrumen substantif yang sejatinya tidak bisa ditunda-tunda lagi. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya pengentasan kemiskinan melalui berbagai program anti kemiskinan dan skema kredit yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, sayangnya persoalan fundamental yang hingga kini belum terselesaikan yakni land reform. Persoalan ini cukup penting untuk dibenahi mengingat banyak petani kita yang saat ini makin kehilangan akses terhadap tanah. Banyak faktor di luar pertanian itu sendiri yang berkontribusi terhadap semakin berkurangnya akses dan kepemilikan tanah serta terjadinya fragmentasi lahan di kalangan petani mulai dari faktor budaya, desakan ekonomi, laju konversi lahan, penguasaan tanah lahan oleh korporasi secara masif dan sebagainya. Ketimpangan kepemilikian lahan pun semakin melebar dimana 11 % rumah tangga menguasai lebih dari 45% lahan. Lebih jauh, ada sekitar 7.3 juta hektar lahan yang tidak digunakan secara optimal dan tidak produktif sebagai akibat praktik land hoarding dan sebagainya. Fakta tersebut akan membuat upaya pengentasan kemiskinan berjalan sangat lamban meskipun jika dilihat secara makro, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kinerja pertumbuhan ekonomi relatif cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena akar persoalan yang yang sifatnya esensial yakni akses terhadap lahan menunjukkan gambaran ketimpangan yang cukup memprihatinkan

Pelajaran dari China
Untuk mengatasi persoalan fundamental terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan ada baiknya kita melihat salah satu aspek yang membuat China berhasil menurunkan jumlah penduduk miskinnya secara signifikan dengan keberhasilan China dalam melaksanakan land reform. Pada tahun 1970 setelah mengalami kegagalan penerapan collective farming yang mengakibatkan turunnya produksi pertanian, China menerapkan apa yang disebut sebagai “Household Responsibility System” yang memberikan setiap rumah tangga petani “use rights” melakukan usaha tani di atas tanah yang diberikan ijin. Penerapan kebijakan ini memberikan dorongan yang signifkan terhadap pembangunan pedesaan dimana petani memiliki kesempatan untuk memproduksi hasil pertanian dengan jumlah yang memadai. Kebijakan ini berhasil menurunkan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan US$1,25 per hari dari sekitar 84% di tahun 1981 menjadi 16% di tahun 2005.
Ada dua karakteristik penting yang perlu dicatat dibalik keberhasilan China dalam melaksanakan program land reform-nya. Pertama, program land reform tersebut memberikan “broad-based access to land” terhadap semua rumah tangga petani. Dengan pola ini, persentase petani yang tidak memiliki lahan bisa ditekan hingga mendekati nol. Kedua, adanya jaminan hak kepemilikan atas tanah yang makin secure bagi petani. Dengan perbaikan hukum secara gradual, petani dapat memiliki lahan, menjual produk pertaniannya secara bebas, dan bisa melakukan transfer hak atas kepada generasi penerus petani lahan termasuk sewa beli kecuali pemindahan hak milik kepada pihak lain dan pegadaian.
Meskipun dalam proses pelaksanaan land reform di China tidak selalu mulus, beberapa faktor kunci yang mendorong suksesnya land reform antara lain, konsensus politik yang didukung oleh penelitian, riset dalam mendisain land-tenure system, pelaksanaan pilot project dalam untuk melihat berbagai kesepakatan dalam hak guna atas tanah, dan penekanan dalam implementasi yang ditikberatkan pada masyarakat akar rumput.
Indonesia kiranya dapat mengambil pelajaran dari upaya yang sifatnya substansial dalam mengentaskan kemiskinan dengan menjalankan kebijakan land reform yang komprehensif dan terukur. Untuk itu, ada empat pilar yang harus dibangun agar kebijakan land reform di Indonesia bisa diwujudkan dalam rangka mempercepat upaya pengentasan kemiskinan. Pertama, perlu adanya advokasi terhadap para petani miskin untuk membentuk organisasi yang sifatnya independen yang murni berasal dari aspirasi para petani gurem dan petani yang tidak memiliki lahan. Kedua, perlu adanya komitmen politik dari berbagai kekuatan politik yang ada di parlemen yang benar-benar berpihak terhadap petani miskin. Ketiga, adanya dukungan negara dalam bentuk investasi publik, bantuan pendanaan, dan bantuan teknis. Perpaduan antara komitmen politik dan dukungan negara ini diharapkan merupakan prasyarat yang diperlukan guna mengefektifkan kebijakan land reform. Keempat, perlu adanya growth oriented development strategy yang benar-benar berpihak kepada masyarakat miskin dalam hal ini petani yang berlahan sempit dan yang tidak memiliki lahan dan masyarakat miskin lain pada umumnya. Kebijakan ekonomi hendaknya diarahkan kepada pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada kaum miskin. Oleh karenanya, jaminan terbukanya akses terhadap lahan dan pembangunan di pedesaan harus diperkuat dan didorong seoptimal mungkin. Penduduk miskin pedesaan yang mencapai sekitar 60% dari total penduduk miskin merupakan fakta bahwa pembangunan di pedesaan merupakan suatu hal yang tak bisa ditunda-tunda lagi jika kita ingin mengentaskan kemiskinan secara signifikan. Dengan demikian, ke depan diharapkan upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak hanya bersifat karitatif dan ad hoc semata.

Oleh Teddy Lesmana, Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan USAID Indonesia Forecast Scholar di the University of Maryland at College Park, Amerika Serikat.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Senin, 27 September 2010

Mobil Mewah 'Bodong' Rugikan Negara Rp 700 M

Mobil Mewah 'Bodong' Rugikan Negara Rp 700 M
Polri
REPUBLIKA.CO.ID, BATAM-- Pemalsuan dokumen mobil mewah di Batam, Kepulauan Riau, telah merugikan negara sekitar Rp700 miliar. "Kerugian pemerintah sementara, korupsi Rp700 miliar,"  kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Iskandar Hasan di Batam, Senin (27/9).

Kerugian negara, kata dia, berasal dari nilai pajak yang seharusnya dibayarkan, namun karena ada pemalsuan data surat, maka tidak menjadi pemasukan negara. Ia mengatakan angka tersebut masih hitungan kasar dari tim Mabes Polri yang bekerja di Batam.  "Itu hitungan kasar, kalau sudah tertangkap semua, baru ada angka pasti," kata dia.

Di tempat yang sama, Direktur I Bareskrim Mabes Polri Brigjend Pol Usman Nasution mengatakan pemalsuan dokumen mobil mewah dilakukan dengan memundurkan tahun pembuatan dan pemasukan mobil ke Batam. "Mereka memalsukan dokumen, mobil buatan di atas 2004, tapi dokumen ditulis 2003," ungkap dia.

Dengan pemalsuan dokumen itu, lanjut dia, mengakibatkan mereka terbebas dari kewajian membayar bea masuk, karena sebelum tahun 2003, kendaraan bermotor yang masuk wilayah Batam bebas bea masuk. Penyidik Bareskrim, menurut Usman, akan mendalami pihak-pihak yang terkait pembuatan dokumen palsu.

Sementara itu, Kapolda Kepulauan Riau Brigjend Pol Pudji Hartanto meminta seluruh masyarakat Batam yang memiliki kendaraan mewah segera melapor ke Polda Kepri. "Kepada masyarakat yang masih menyimpan kendaraannya, jangan ragu lapor ke Polda. Nanti langsung ke Ditlantas," ujar dia.

Polda Kepri bersama Mabes Polri, Hartanto menambahkan, akan mengecek dokumen dan fisik kendaraan, untuk mengetahui dugaan penyimpangan dokumen.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Terkait Rusuh Buol, 228 Polisi Diperiksa


Terkait Rusuh Buol, 228 Polisi Diperiksa
Pasukan Brimob berjagaa-jaga di Buol usai kerusuhan
REPUBLIKA.CO.ID,PALU--Komisi III DPR memberikan apresiasi kepada Polda Sulawesi Tengah yang telah menangani kasus kerusuhan Buol dengan memeriksa 228 polisi bahkan telah menindak beberapa pejabat Polri yang dianggap bertanggung jawab. "Kami memberikan apresiasi kepada Polda yang menangani kasus ini dan berharap penanganannya selesai dalam waktu yang tidak terlalu lama," kata Anggota Komisi III DPR, Syarifuddin Suding melalui telepon di Palu, Senin (27/9).

Syarifuddin Suding yang juga Wakil ketua Fraksi Partai Hanura DPR itu memimpin Tim Komisi III yang antara lain membidangi masalah hukum untuk mengunjungi Buol pada Jumat sampai Minggu (24-26 September) guna mengumpulkan data dan informasi mengenai kronologis serta pemicu kerusuhan tersebut.
Menurut anggota DPRD dari daerah pemilihan Sulteng itu, tim yang dipimpinnya telah bertemu dengan para korban dan keluarganya, para tokoh masyarakat dan agama serta Raja Buol Ibrahim Turungku, anggota DPRD dan Bupati Buol Amran Batalipu, Kapolres dan Kapolda Sulawesi Tengah.

Ia mengatakan, timnya juga telah melihat dari dekat sel tahanan Polsek Biau dimana Kasmir Timumun di kerangkeng selama dua hari dua malam dan akhirnya ditemukan tewas tergantung dengan sehelai kain.
Selain itu, pihaknya juga telah mengunjungi Mapolsek Momunu dan rumah Wakapolres Buol yang dibakar massa serta tempat-tempat penting lainnya terkait kerusuhan itu.

Menurut Syarifuddin, timnya melihat bahwa dalam bentrokan berdarah 31 Agustus dan 1 September 2010 yang menewaskan delapan warga dan melukai puluhan lainnya karena tertembak itu, polisi tidak saja melakukan pelanggaran etik dan disiplin tetapi juga pelanggaran pidana.
"Kami akan mendorong agar polisi penanganan kasus pidana yang melibatkan anggota segera ditangani. Sampai saat ini, penanganan yang dilakukan polisi umumnya masih terkait pelanggaran disiplin dan etik," ujarnya.

Menurut Syarifuddin, pihaknya dalam waktu dekat akan melakukan rapat dengan Kapolri. Untuk itu, tim yang dipimpinnya sedang menyusun laporan lengkap antara lain menyangkut kronologis peristiwa serta rekomendasi yang akan diajukan kepada Kapolri dan pemerintah. Ia juga berharap kepada masyarakat Buol, khususnya para korban dan keluarganya serta berbagai pihak yang terkait dengan kasus ini agar bersabar menantikan penanganan hukum yang sedang berproses. "Penanganan kasus ini memang harus hati-hati agar tidak sampai terjadi kesalahan jalan menjatuhkan sanksi atau hukuman," ujarnya.

DPR, khususnya anggota Komisi III, kata Syarifuddin, akan terus memantau penanganan kasus ini agar berjalan cepat dan memenuhi rasa keadilan serta transparan. Bentrokan berdarah di Buol yang terjadi pada 31 Agustus sampai 1 September itu dipicu oleh tewasnya Kasmir Timumun di sel Polsek Biau pada 30 Agustus 2010.

Kasmir ditahan karena terlibat kecelakaan lalu lintas pada Sabtu (28/8) malam yang menyebabkan seorang anggota Polantas Polres Buol luka berat namun pada Senin petang (30/8) Kasmir ditemukan tewas tergantung dengan sehelai kain di ruang tahanan. Polisi mengatakan bahwa Kasmir tewas bunuh diri, namun keluarga korban dan masyarakat tidak percaya dan menduga Kasmir tewas karena dianiaya oknum polisi selama dalam tahanan sejak Sabtu (28/8) malam.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

PDIP Minta Presiden Setor Satu Nama Calon Kapolri

Smaller  Reset  Larger
Yogi Ardhi/Republika
PDIP Minta Presiden Setor Satu Nama Calon Kapolri
Tjahjo Kumolo
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--PDIP mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan nama satu orang calon Kapolri saja. Uji kepatutan dan kelayakan bagi satu orang calon dianggap lebih adil ketimbang melakukannya untuk dua orang.

Ketua Fraksi PDIP, Tjahjo Kumolo, mengatakan lebih baik Presiden menyerahkan satu nama. ''Lebih fair,'' ujar dia, Senin (27/9), usai mengikuti rapat paripurna. Menyerahkan dua nama, sambungnya, belum tentu memunculkan hasil yang paling baik.

PDIP mendorong pengajuan satu calon untuk menghindari pemilihan dengan mekanisme pemilihan suara. Menurut Tjahjo, untuk pemilihan Kapolri atau Panglima TNI harus dicapai dengan musyawarah mufakat. Catatan dan prioritas kerja bisa disisipkan kemudian bagi sang Kapolri terpilih.

Diantara dua nama yang banyak disebut-sebut, yakni Nanan Soekarna dan Imam Sudjarwo, Tjahjo mengatakan PDIP memberikan penilaian yang sama-sama baik. Seandainya presiden hendak mengajukan nama di luar itu, PDIP tidak mempermasalahkannya selama memenuhi persyaratan.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Minggu, 26 September 2010

Kawasan Jalur Hijau Segera Ditertibkan

BANGGAI,MERCUSUAR - Pemukiman penduduk yang terletak di Jln Sutarjo atau sekitar Pelabuhan Luwuk (Pelabuhan Feri) Luwuk dan yang berada di sekitar kawasan Gudang Dolog, telah ditetapkan sebagai jalur hijau.

Namun yang terjadi saat ini, kawasan tersebut sudah berdiri berbagai jenis bangunan, mulai bangunan darurat hingga bangunan permanen.
Kepala Bidang (Kabid) Penataan Kota dan Perdesaan, Baharuddin SP MSi di kantornya, kemarin (11/3) mengatakan, sekitar pelabuhan Luwuk dan Gudang Dolog adalah kawasan jalur hijau yang sudah tidak diizinkan mendirikan bangunan. "Itu kawasan jalur hijau, bila ada yang mendirikan bangunan berarti harus menerima resiko," tuturnya kepada Mercusuar.
Kawasan jalur hijau di perkotaan telah ditetapkan jalur hijau untuk wilayah terbuka adalah 20 persen, dan 10 lainnya berada di halaman setiap rumah. Telah banyak kawasan yang telah ditetapkan jalur hijau yang salah satunya adalah di sekitar Tanjung Sari.
"Bangunan yang terletak di kawasan itu, tidak memiliki izin membangun, dan apabila suatu saat diminta meninggalkan tempat itu, jangan salahkan pemerintah," imbuhnya.
Menurutnya, beberapa kawasan yang telah ditetapkan jalur hijau, telah dilakukan sosialisasi. "Jauh sebelumnya sudah diberitahu, sehingga jangan menyesal bila nanti ditertibkan," kata Baharuddin.
Baharuddin menambahkan, seharusnya pihak kelurahan dan kecamatan lebih berperan untuk mengawasi pembangunan, khususnya yang tepat berada kawasan jalur hijau guna menghindari semakin banyaknya bangunan yang akan berdiri. Sehingga akan menyulitkan pemerintah ketika membutuhkan tempat tersebut. "Bila nanti ditertibkan, masyarakat menuding pemerintah arogan, tidak berpihak pada rakyat. Padahal sejak dahulu sudah dilarang membangun. Masyarakat harusnya bisa memahami,"

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Sudarto Paling Berpeluang (PEMILUKADA SULTENG 2011)

PALU, MERCUSUAR- Tiga nama mulai menguat untuk menjadi calon Wakil Gubernur (Cawagub) mendampingi Longki Djanggola. Tiga figur yang menguat dalam survey yang dilakukan tim independen tersebut yakni, Sudarto, Karim Hanggi, dan Nurmawati Bantilan.
Namun informasi yang dihimpun Mercusuar menyebutkan, dari tiga figur tersebut, Sudarto yang memiliki peluang paling besar untuk menjadi pendamping Longki Djanggola dalam Pemilukada Sulteng 2011.
Selain alasan popularitas dan tingkat elektabilitas yang tinggi, Sudarto yang pernah menjabat sebagai Bupati Banggai selama dua periode itu, memiliki peluang besar untuk menjadi Cawagub yang diusung salah satu partai politik calon koalisi Gerindra. Partai politik ini yang juga akan menentukan lengkapnya jumlah kursi koalisi partai politik pengusung Longki dalam Pemilukada Sulteng.
Ketua DPD Gerindra Sulteng, Longki Djanggola saat dikonfirmasi menyatakan, pihaknya belum bisa merilis hasil survey untuk menentukan Cawagub. Saat ini, data-data menyangkut survey tersebut masih dalam proses finalisasi. “Yang pasti saat ini ada empat nominator yang Cawagub yang menguat dalam survey. Saya belum bisa mempublikasikan itu. Tunggu saja saat deklarasi nanti,” kata Longki kepada wartawan usai acara pelantikan pengurus DPC Gerindra Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, dan Buol, di Palu, Jumat (24/9).
Menyangkut koalisi partai politik pengusung, selain Partai Gerindra, partai lainnya yang sudah pasti mengusung Longki adalah PKPB dan PDP. Sementara, Partai Hanura yang memiliki tiga kursi di DPRD Sulteng, hampir dipastikan pula mengusung Longki.
“Saat ini pihak DPD Hanura Sulteng sedang mengajukan hasil rekrutmen calon gubernur dan wakil gubernur ke DPP Hanura di Jakarta. Saya pendaftar tunggal calon gubernur di Hanura, sedangkan salah satu Cawagub yang mendaftar adalah Sudarto,” kata Longki.
Selain Partai Hanura, salah satu partai politik yang dinanti kepastian dukungannya oleh Longki Djanggola adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). “Tinggal dua Partai Hanura dan PPP yang kami tunggu keputusan dan rekomendasinya sebelum deklarasi. Kita lihat saja yang mana lebih dulu menerbitkan rekomendasi,” ujar Longki. OTR

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Setengah Abad UUPA 1960: Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati..!!

Lima puluh tahun yang lalu, Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria (UUPA) disahkan sebagai payung hukum agraria di Indonesia dalam merombak ketidakadilan struktur agraria warisan pemerintah kolonial. UUPA 1960 adalah realisasi dari UUD 1945 pasal 33 yang mengamanatkan kekayaan alam dan cabang produksi yang terkait hajat hidup orang banyak dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun demikian, 50 tahun sejak UUPA diundangkan, nasib petani di Indonesia tetap dalam keadaan terpuruk. Kepemilikan lahan yang sempit (< 0,2 ha) ditambah dengan jatuhnya harga-harga disaat panen menjadikan petani hidup dalam keadaan tidak layak. Berbagai usaha petani untuk mendapatkan hak atas tanah seringkali berhadapan dengan kriminalasi.

 Data BPS menunjukkan luas lahan pertanian padi di Indonesia hingga tahun 2010 tinggal 12,870 ha menyusut 0,1 % dari tahun sebelumnya 12,883 ha. Konversi lahan pertanian ke non pertanian yang semakin besar ini jika dibiarkan akan menjadikan kerawan pangan pada masa yang akan datang, bahkan kelaparan pun akan semakin menggejala. Hal ini ditambah dengan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tentang Gabah dan Beras sebagai mekanisme perlindungan terhadap nasib rumah tangga petani sawah yang tidak efektif. HPP masih menguntungkan segelintir pedagang, mekanisme pengawasan masih sangat lemah.

Pemerintah Indonesia dalam APBN 2010 telah mengalokasikan subsidi pupuk sebesar Rp 14,8 triliun. Angka subsidi itu terdiri atas subsidi harga pupuk sebesar Rp 11,3 triliun turun dari yang seharusnya 17,5 triliun, bantuan langsung pupuk (BLP) Rp 1,6 triliun dan subsidi unit pengolahan pupuk organik sebesar Rp 105 milliar.Pengurangan subsidi ini akan memberikan dampak yang nyata bagi rumah tangga petani, sebab harga eceran tertinggi pupuk dipastikan akan naik. Pengalaman menunjukkan, dengan adanya kelangkaan pupuk dan disertai dengan mahalnya harga menyebabkan turunnya produktifitas tanaman padi dan pada gilirannya akan mengakibatkan turunnya kesejahteraan petani.

Melihat fakta diatas, kami yang merupakan bagian dari Panitia Peringatan Hari Tani Nasional Ke-50 menuntut  kepada pemerintah Indonesia dalam ini Presiden Republik Indonesia, DPR RI, Kementrian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional dan Kepolisian :
  1. Redistribusikan segera 9,6 juta ha tanah kepada rakyat tani
  2. Tertibkan dan dayagunakan tanah terlantar untuk reforma agraria
  3. Bentuk Komisi Adhoc Penyelesaian konflik agraria dan Pelaksana Reforma Agraria
  4. Cabut UU Sektoral ( Perkebunan, Kehutanan, Sumber Daya Air,  Pangan, Pertambangan, Penanaman Modal, Sistem Budidaya Tanaman, Perlindungan Varietas Tanaman,dan lainnya) karena bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan  UUPA 1960
  5. Tolak Kriminalisasi Petani dalam penyelesaian konflik agraria dan buat UU Hak Asasi Petani
  6. Naikkan HPP Gabah dan Beras sebesar 20%, Bulog harus membeli langsung ke petani
  7. Jadikan tanggal 24 september sebagai Hari Tani Nasional

Jakarta, 22 September 2010

Aliansi Petani Indonesia (API), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)  Solidaritas Anak Jalanan Untuk Demokrasi (SALUD)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

PENUHI KETAHANAN PANGAN MELALUI TIGA ASPEK

Sebagai sebuah negara besar dengan jumlah penduduk yang besar, permasalahan ketahanan pangan di Indonesia menjadi hal yang krusial. Diperlukan langkah yang komprehensif dan konsisten dalam menciptakan kondisi yang ideal.
Terkait dengan ketahanan pangan, menurut Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi, Agroindustri dan Biomedika (TAB) BPPT, Listyani Wijayanti (8/09), dapat dilihat dari tiga aspek penting. “Aspek ketersediaan, aspek aksesibilitas dan aspek konsumsi merupakan aspek yang harus dipenuhi. Misalnya aspek ketersedian, artinya jumlah produksi harus stabil, ajeg. Sedangkan aspek aksesibilitas berhubungan dengan bagaimana masyarakat dapat menjangkau pangan tersebut, kemudahan dalam mendapatkan ketersediaan pangan tersebut”, jelasnya

Untuk aspek konsumsi, Listyani mengatakan bahwa diversifikasi atau penganekaragaman pangan penting untuk menciptakan keamanan pangan. “Kita, masyarakat Indonesia selalu merasa tidak pernah puas apabila belum makan nasi dari beras. Padahal dulu kita mengenal adanya sumber-sumber lain yang sama bagusnya dengan beras, seperti jagung dan sagu”.

Seperti yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat Kerja Nasional di Tampak Siring Bali beberapa waktu lalu, bahwa Presiden menaruh perhatian besar terhadap ketahanan pangan dengan menetapkan Ketahanan Pangan sebagai salah satu dari 10 Arah Pembangunan Ekonomi Nasional sampai lima tahun mendatang.
“Kami dari Kedeputian TAB akan mendukung program prioritas nasional tersebut, misalnya yang terkait dengan produksi pertanian. Selain itu kami juga akan menggencarkan promosi hasil rekayasa Kedeputian TAB, yakni Ikan Nila Gesit yang memiliki keunggulan dapat menghasilkan anakan berupa benih unggul yang sekitar 96-100% adalah monosex jantan GMT (Genetically Male Tilapia). Anakan ini memiliki ukuran seragam dan akan tumbuh lebih cepat dibandingkan populasi ikan Nila biasa”, terang Listyani lanjut. (YRA/humas)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Pentingnya Konsep Keseimbangan Di Sektor Pertanian

Rinaldi Nursatria Ananda Persoalan substansi dalam sektor pertanian adalah terletak pada orang-orang yang berada dalam lingkup sektor tersebut. sejauh mana tingkat kepekaan mereka dalam mengeluarkan kebijakan dalam pengambilan keputusan yang bermafaat bagi sektor pertanian secara luas. Disinilah peran pemangku kepentingan (stake holder) sangat dibutuhkan dalam memberikan kontribusinya dalam pembangunan di sektor yang terbilang andalan ini. Salah satunya tidak terlepas dari kapasitas dan kapabilitas dalam memaknai aktifitasnya masing-masing. Mulai dari kegiatan hulu (on farm), sampai kepada hilir (off farm).

Dalam mata rantai kegiatan sistem pertanian tersebut tentunya terkait erat bagaimana menyelaraskan kegiatan-kegiatan tersebut ke dalam konsep kaidah-kaidah alam agar tidak berdampak negatif pada ekosistem yang ada. Salah satunya adalah keseimbangan yang harus dipahami oleh semua pelaku pertanian. Konsep keseimbangan inilah yang bisa memberikan semua jawaban atas berbagai ketidak semibangan yang terjadi selama ini yang menyebabkan sektor pertanian terus mengalami keterpurukan. Letaknya sejauh mana tingkat kesadaran dan kepekaan mereka untuk memahami bahwa usaha pertanian tidak lepas dari alam, dan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Jika direnungi lebih dalam, bahwa berbagai kebijakan di sektor pertanian yang telah di gelontorkan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian adalah hasil dari pemikiran-pemikiran yang rasional dan intelektual dari pejabat pertanian itu sendiri. Mereka masih berkutat pada rasionalitas dibanding dengan kecerdasan spiritual mereka. Di akui disinilah letak sulitnya jika kita analisa secara holistik kekeliruan dan kekisruhan yang terjadi pada sektor pertanian khususnya.

Makanya alam semesta dan sektor pertanian terasa sulit untuk bangkit karena persoalan yang sangat substansial ini belum di temukan pemecehannya. Meskipun para pejabat di lingkup pertanian mulai dari tingkat Kementerian Pertanian hingga ke tingkat desa, syukur sekali jika ada yang paham persoalan yang tengah saya bahas ini. Sekali lagi persoalannya memang sangat kompleks. Karena menyangkut sumberdaya manusia yang berkepentingan dalam sektor pertanian ini.

Sumberdaya manusia pertanian beragam kapasitas dan kapabilitasnya. Termasuk visi misi dan motifnya. Namun mereka semua akan bertemu di satu titik nantinya. Yakni hasil. Tetapi apakah hasil itu nantinya sudah memberikan keseimbangan dalam kehidupan? Sejauhmana manfaat dari hasil tersebut baik itu positif maupun negatif. Misal kita ambil contoh beberapa waktu lalu : Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian) mengeluarkan kebijakan nasional “Peningkatan Produksi Beras Nasional” (P2BN), yang telah dicanangkan di beberapa daerah propinsi di Negeri kita. Jika program nasional ini di analisa memang sangat layak (feasible) bagi peningkatan kesejahteraan petani sekaligus bisa memenuhi kebutuhan pangan nasional. Namun faktanya, setelah program tersebut berjalan dan selesai dilakukan yang ada hanyalah kerugian para petani bahkan berimbas pada kerusakan lahan, tanah dan air.

Belum lagi dana yang digunakan berasal dari hasil uang rakyat. Mereka hanya berkutat pada kemauan yang emosional (ego intelektual) dengan hitungan di atas kertas. Tanpa mempertimbangkan hitungan dampak alam atau keseimbangan. Lantas pertanyaannya : Beginikah kualitas kerja para pejabat atau pengambil kebijakan di lingkup pertanian yang rata-rata lulusan Doktor dan sebagian Professor?

Artinya pola pikir dan paradigma pejabat pertanian mulai dari tingkat pusat (Kementerian) sampai tingkat daerah (Dinas Propinsi, Kab/kota) adalah sama dan terstruktur secara hirarki yakni tidak memikirkan dampak apa yang terjadi setelah program gerakan ini dicanangkan olehnya. Bukan jaminan bahwa mereka telah melakukan studi sampai S3 sekalipun tanpa pernah menemukan konsep keseimbangan dalam dirinya.

Sekarang kita kembali ke masalah anggaran dalam program heboh itu. Lalu, berapa uang yang habis digunakan dalam pembelian sarana produksi pertanian “saprodi”, seperti : pupuk, pestisida, alsintan, dsb. Ironisnya, malah petani mendera kerugian dalam program ini dikarenakan berbagai masalah iklim seperti banjir, hama tikus, penyakit tanaman, yang berakibat petani mengalami gagal panen. Disinilah letak rumitnya jika mengandalkan kebijakan pemerintah hasil dari ego intelektual tanpa dilandasi kecerdasan spiritual. Semakin rumit dan kusut jika tidak ada upaya dan kemauan yang keras dari pihak pemerintah untuk menemukan inti permasalahan yang mendera sektor pertanian selama ini.

Jika pemerintah mau jujur dan terbuka, ada sebuah konsep yang bisa untuk menemukan penyelasaian permasalahan tersebut agar tidak berlarut-larut. Konsep tesebut berada dalam program pemberdayaan petani yang akan di gagas (LSM Petani Center) kedepan. Konsep ini sangat jelas dimana kita melakukan pembekalan kepada para petani sebagai pelaku langsung di lapangan. Yakni bagaimana mereka melakukan usahatani atau bercocok tanam dengan memahami kaidah-kaidah alam. Termasuk perlakuan penggunaan pupuk dan pestisida yang selaras dengan alam. Ringkasnya bagaimana memberikan metode pemahaman dalam usaha taninya dengan sebuah metode keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual para petani. Jika para petani telah memahami konsep keseimbangan tersebut, saya yakin program kebijakan yang ditawarkan pemerintah setidaknya bisa dilakukan dengan baik tentunta dengan ramah lingkungan. Ada semacam posisi tawar yang interaktif antara petani dan pemerintah dan begitupula antara petani dan alam semesta.

Selanjutnya konsep inilah yang bisa mengantisipasi tantangan global dalam sektor pertanian di Negara kita. Ketika kedaulatan pangan menjadi sebuah isu global sangat menghawatirkan, dimana Negara-negara di dunia termasuk Indonesia melalui para ahli pertaniannya yang khusus menangangi masalah pangan, terus berpikir bagaimana mengantisipasi kekurangan pangan dengan pertambahan penduduk dunia yang terus meningkat tidak berbanding lurus dengan tingkat konsumsi. Mereka terus mengulir otak untuk menemukan format dan konsep yang akan di jadikan sebuah “blue print” dalam menjawab tantangan globaliasasi tersebut. Semua itu adalah akumulatif dari hasil pemikiran kecerdasan intelektual mereka. Tanpa ada pemahaman keseimbangan di dalam hasil pemikiran tersebut. Semua kembali ke dalam konsep keseimbangan yang ada dalam diri manusia, yakni kecerdasan spiritual.

Terkadang saya merenung cenung, mengapa mereka sejauh itu untuk mencari dan menemukan konsep keseimbangan itu? apakah mungkin karena mereka tak paham ataukah sudah saatnya dunia dan alam semesta (mutlak) melewati sebuah involusi akibat dari ulah manusia sendiri? Semuanya bisa terjawab dengan melakukan hasil ekperimen di laboratorium yang ada dalam diri kita masing-masing. Selanjutnya hasil eksperimen tersebut adalah hasil temuan yang sangat empirik tentunya di topang oleh kaidah-kaidah ilmiah yang ada. Itulah yang akan memberikan keseimbangan dalam sektor pertanian yang telah terjerumus ke dalam berbagai kerusakan akibat kebijakan yang tidak tepat. Bagi saya, tak ada kata terlambat untuk memulai. Dan saat ini konsep tersebut telah dipraktikkan secara parsial di beberapa titik lokasi di Sulsel dan terbukti secara signifikan bisa memberikan keseimbangan dalam ekosistem pertanian yang ada di areal lahan pertanian tersebut.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Sabtu, 25 September 2010

{|style="margin: 1em; border: 1px solid #aaa; font-size:90%; border-collapse:collapse; float:right; clear:right;" class="noprint"
|-
! style="padding:0 5px; background:#ccf; font-size:111%;" | <small>Artikel ini bagian dari seri</small><br>[[Sejarah Indonesia]]
|-
|align="center"|[[Berkas:Sejarah Indonesia .png|210px]]
|-
| style="padding:0 5px; background:#ccfe;" |<b>[[Sejarah Nusantara]]</b>
|-
| style="padding: 0 5px 0 20px; background: #ececec;" |<b>[[Sejarah Nusantara#Pra-kolonial|Pra-Kolonial (sebelum 1509)]]</b>
|-
| style="font-size: 90%; padding: 0 5px 0 40px; background: #ececec;" |[[Sejarah Nusantara pada era prasejarah|Pra-sejarah]]
|-
| style="font-size: 90%; padding: 0 5px 0 40px; background: #ececec;" |[[Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha|Kerajaan Hindu-Buddha]]
|-
| style="font-size: 90%; padding: 0 5px 0 40px; background: #ececec;" |[[Sejarah Nusantara pada era kerajaan Islam|Kerajaan Islam]]
|-
| style="padding: 0 5px 0 20px; background: #fff;" |<b>[[Sejarah Nusantara#Era kolonial|Zaman kolonial]]</b> ([[1509]]-[[1945]])
|-
| style="font-size: 90%; padding: 0 5px 0 40px; background: #fff;" |[[Sejarah Nusantara (1509-1602)|Era Portugis]] (1509-1602)
|-
| style="font-size: 90%; padding: 0 5px 0 40px; background: #fff;" |[[Sejarah Nusantara (1602-1800)|Era VOC]] (1602-1800)
|-
| style="font-size: 90%; padding: 0 5px 0 40px; background: #fff;" |[[Sejarah Nusantara (1800-1942)|Era Belanda]] (1800-1942)
|-
| style="font-size: 90%; padding: 0 5px 0 40px; background: #fff;" |[[Sejarah Nusantara (1942-1945)|Era Jepang]] (1942-1945)
|-
| style="padding: 0 5px; background: #ececec;" |<b>[[Sejarah Indonesia|Sejarah Republik Indonesia]]</b>
|-
| style="padding: 0 5px 0 20px; background: #ececec;" |[[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|Proklamasi]] ([[17 Agustus]] [[1945]])
|-
| style="padding: 0 5px 0 20px; background: #ececec;" |[[Sejarah Indonesia (1945-1949)|Masa Transisi]] (1945-1949)
|-
| style="padding: 0 5px 0 20px; background: #ececec;" |[[Sejarah Indonesia (1950-1959)|Era Orde Lama]] (1950-1959)
|-
| style="padding: 0 5px 0 20px; background: #ececec;" |[[Sejarah Indonesia (1959-1968)|Demokrasi Terpimpin]] (1959-1966)
|-
| style="font-size: 90%; padding: 0 5px 0 30px; background: #ececec;" |[[Operasi Trikora]] ([[1960]]-[[1962]])
|-
| style="font-size: 90%; padding: 0 5px 0 30px; background: #ececec;" |[[Konfrontasi Indonesia-Malaysia|Konfrontasi Indo-Malaya]] ([[1962]]-[[1965]])
|-
| style="font-size: 90%; padding: 0 5px 0 30px; background: #ececec;" |[[Gerakan 30 September]] [[1965]]
|-
| style="padding: 0 5px 0 20px; background: #ececec;" |[[Sejarah Indonesia (1966-1998)|Era Orde Baru]] (1966-1998)
|-
| style="font-size: 90%; padding: 0 5px 0 30px; background: #ececec;" |[[Gerakan mahasiswa Indonesia 1998|Gerakan Mahasiswa 1998]]
|-
| style="padding: 0 5px 0 20px; background: #ececec;" |[[Sejarah Indonesia (1998-sekarang)|Era Reformasi]] (1998-sekarang)
|-
| align="right"|[<small class="editlink noprint plainlinksneverexpand">[{{SERVER}}{{localurl:Templat:Sejarah Indonesia|action=edit}} Sunting]</small>]
|}<noinclude>[[Kategori:Templat sejarah Indonesia| ]]

[[en:Template:History of Indonesia]]</noinclude>

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Jumat, 24 September 2010

"Membongkar Gurita Cikeas" Jilid II

Laporan: Teguh Santosa

GEORGE JA/IST
  
RMOL. Di tengah sakit jantung dan darah tinggi yang dideritanya, corruption investigator George Junus Aditjondro tengah berjuang menyelesaikan jilid kedua “Membongkar Gurita Cikeas”.
“Buku ini akan dua kali lebih tebal dari jilid pertama,” ujar George Junus Aditjondro yang tadi malam juga menghadiri “halal bihalal plus” di kediaman ekonom senior Rizal Ramli di Jalan Madrasah, Jakarta Selatan tadi malam (Senin, 20/9).
Sejauh ini, sambung George, 70 persen bahan untuk jilid kedua MGC ini telah terkumpul di laptopnya. Dia membutuhkan waktu sekitar dua minggu penuh untuk merampungkan penulisan.
“Nanti akan dicetak dengan hard cover,” imbuhnya.
Salah satu bagian di dalam buku itu mengupas cara-cara ilegal untuk memenangkan pemilihan umum. George telah mengunjungi sejumlah daerah pemilihan politisi-politisi Partai Demokrat dan menemukan kejanggalan dan jejak money politics di sana.
Dia juga mengatakan, dalam pemilihan presiden yang lalu sejumlah bank swasta besar yang sahamnya dimiliki oleh pihak asing juga memberikan donasi kepada tim sukses SBY. Hal itu tentu saja melanggar aturan, katanya.
George membandingkannya dengan donasi yang pernah diberikan pemilik Lippo Bank James Riady kepada kubu Bill Clinton dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 1996 lalu. James Riady akhirnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman kerja sosial. Sementara di Indonesia, hal seperti itu walaupun melanggar peraturan tidak mendapat sanksi hukuman.
Bagian lain di dalam jilid kedua MGC akan memuat cerita sejumlah aktivis gerakan mahasiswa yang telah didekati SBY saat dia menjabat sebagai Danrem di Jogjakarta. Aktivis-aktivis itulah, masih kata George, yang kini mendampingi SBY di Istana.
George pun tidak mau lagi menyebut SBY sebagai Presiden Indonesia.
“Saya menyebutnya orang yang menyebut dirinya sebagai presiden. Mengapa? Karena pilpreas tidak benar dan kemenangannya diperoleh dengan cara ilegal.
Dalam kesempatan tadi malam, George juga mengedarkan beberapa eksemplar buku terbaru yang ditulisnya di tengah sakit yang dideritanya. Buku berjudul “Pragmatisme: Menjadi to sugi dan to kapur di Toraja” bercerita tentang jejaring korupsi yang juga melibatkan pranata adat dan lembaga keagamaan di Tana Toraja.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Sulteng 2011–2016

Oleh: DR Hasanuddin Atjo MP *

TULISAN ini hanya sebuah gagasan yang mungkin saja akan bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagai salah satu referensi untuk menyusun sebuah grand design pembangunan di Sulawesi Tengah 2011-2016. Semakin banyak referensi yang mengilhaminya, maka harapan kita adalah terciptanya sebuah grand design yang mendekati kesempurnaan. Sulawesi Tengah adalah provinsi yang berbasis sumberdaya alam, memiliki luas daratan 63.000 km2 (setelah dikoreksi), luas wilayah laut 193.000 km2 dengan panjang garis pantai 4013 km dan memiliki pulau-pulau kecil 1020 buah, dengan kata lain sekitar 38 % luas wilayah Sulawesi berada di Sulawesi Tengah. Di dalamya terkandung sejumlah potensi, diantaranya potensi pengembangan kelautan dan perikanan, perkebunan, peternakan, pangan dan hortikultura, kehutanan, pariwisata serta pertambangan.
Evaluasi lima tahun (2004 -2008) menunjukkan bahwa kemajuan perekonomian daerah ini cukup menggembirakan, utamanya kalau dibandingkan dengan provinsi di kawasan timur Indonesia lainnya. Nilai PDRB Sulawesi Tengah pada 2008 sebesar Rp14,746 Triliun dan berada pada urutan ke-5 dari 12 povinsi di kawasan timur Indonesia, setelah Sulsel (Rp44,549 Triliun), Papua (Rp18,915 Triliun), NTB (Rp16,80 Triliun), dan Sulut (Rp15,428 Triliun).
Namun yang membanggakan kita bahwa pertumbuhan PDRB rata-rata Sulteng adalah yang tertinggi dari 12 provinsi yaitu 7,63%, menyusul Sultra 7,62% dan Gorontalo 7,23%. Kita berharap dengan grand design yang baik, PDRB di Sulteng pada 2016 akan lebih baik lagi, setidaknya berada pada posisi ke-2 setelah Sulawesi Selatan atau katakanlah meningkat dua kali lipat menjadi Rp29,492 Triliun. Ini tentunya perlu didukung dan diperjuangkan, serta kerja keras dari kita semua, insyah Allah. Meningkatnya PDRB secara signifikan tentunya akan berimplikasi terhadap berkurangnya angka kemiskinan (pro poor), membuka lapangan kerja (pro job), dan mendorong perkembangan ekonomi wilayah (pro growth).
Pertanyaannya, bagaimana strategi untuk mewujudkan impian atau obsesi itu? Jawabnya, ada dua program utama yang harus menjadi fokus kita, yaitu modernisasi teknologi dan reformasi birokrasi. Malaysia, negara yang luasnya hampir sama dengan pulau Sulawesi, mendorong ekonominya dengan memanfaatkan sumberdaya alam secara efektif dan efisien. Sejak lama negeri ini telah mengimplementasikan dua program itu secara parallel serta konsisten. Kini negeri ini telah menjadi bangsa yang ekonominya maju pesat, antara lain penghasil karet dan sawit terbesar dunia, penghasil udang yang diperhitungkan dan bahkan beberapa produk pangan seperti telur ayam telah masuk ke pasar domestik Indonesia dengan harga yang lebih murah.
Pada tahun 2008 nilai IPM (indeks pembangunan manusia) negeri ini berada di urutan 66 dunia dengan nilai 0,829 dari 182 negara yang diukur. Sedangkan Indonesia berada di rutan 111 dengan nilai 0,734. Sebelumnya kita tahu bahwa di bidang pertanian (arti luas) mereka banyak belajar dari Indonesia, bahkan banyak lulusan pertanian negeri kita pada waktu itu hingga sekarang bekerja di Malaysia. Karena itu tidak heran kalau saat ini bangsa negeri jiran itu memiliki rasa percaya diri dan kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan-perubahan global. Indikasi ini dapat dilihat antara lain menolak tawaran pinjaman IMF dan cepat beradaptasi pada saat krisis finansial dunia tahun 1998 dan dalam beberapa tahun terakhir terindikasi berani melanggar kedaulatan negara kesatuan RI.
Pertanyaan selanjutnya adalah, modernisasi teknologi dan reformasi seperti apa yang diperlukan dan bagaimana implementasikannya?
MODERNISASI TEKNOLOGI
Kalau kita sepakat tentang arah pembangunan, maka salah satu arah pembangunan di provinsi ini adalah pengembangan industri berbasis pertanian. Mengapa? Karena provinsi ini memiliki sejumlah komoditi unggulan di antaranya rumput laut, ikan tuna, coklat, kelapa dalam, padi, hortikultura, ternak besar, rotan, kayu eboni dan wisata alam. Komoditi rumput laut dan coklat telah menjadikan Sulawesi Tengah sebagai penghasil bahan baku, raw material tiga besar di Indonesia. Selain itu share atau kontribusi sektor pertanian (arti luas) terhadap PDRB daerah ini lebih dominan dari delapan sektor lainnya yaitu sekitar 42% pada tahun 2008. Berkembangnya industri yang berbasis pertanian, menyebabkan nilai tambah terbesar akan berada di daerah ini.
Ketersedian bahan baku yang tepat mutu, jumlah dan waktu yang dikerjakan secara efektif dan efisien agar berdaya saing adalah wajib hukumnya bagi berkembangnya sebuah industri. Karena itu modernisasi teknologi pada hulu dan hilir menjadi mutlak adanya.
Ada dua hal yang menjadi titik kritis dalam melakukan modernisasi teknologi, yaitu meracik teknologi agar dapat diaplikasikan dan mempersiapkan masyarakat yang akan mengimplementasikan teknologi itu. Meracik teknologi aplikatif bukanlah perkara mudah karena diperlukan kemampuan dan kreasi untuk mensinergikan teknologi-teknologi dasar yang telah dihasilkan oleh lembaga riset dan perguruan tinggi. Sudah sangat banyak teknologi-teknologi dasar yang dihasilkan oleh putra bangsa termasuk di daerah ini, namun realitasnya masih terbentur kepada persoalan mensinergikannya dan baru selesai pada tataran melaksanakannya pada seminar, workshop ataupun laporan sebagai bentuk pertangungjawaban.
Mempersiapkan masyarakat yang akan mengimplementasikan teknologi ini juga sama sulitnya dan masih diperhadapkan pada masalah harmonisasi pusat dan daerah serta harmonisasi antar sektor. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan sebuah format untuk melaksanakan modernisasi teknologi di daerah ini.
REFORMASI BIROKRASI
Reformasi birokrasi di republik ini sudah berlangsung lama, namun belum memberikan sebuah perubahan yang signifikan. Reformasi bermakna sebagai upaya menata kembali satu kelembagaan agar fungsi yang diemban dapat diwujudkan secara maksimal. Sedangkan birokrasi adalah kelembagaan pemerintah yang berperan dalam penyelenggaraan pembangunan demi kesejahteraan rakyat seperti yang diamanatkan UUD 1945.
Dalam konteks tulisan ini, makna reformasi birokrasi adalah bagaimana semua komponen terkait mempunyai visi yang sama bahwa salah satu arah pembangunan di Sulawesi Tengah adalah “pengembangan industri berbasis pertanian”. Karena itu diperlukan perubahan mindset atau paradigma dan ini tentunya memerlukan sebuah proses yang panjang dan tidak mudah, namun harus dimulai.
Perubahan-perubahan itu tidak hanya terkait dengan perencanaan dan penganggaran, tetapi sampai kepada kemudahan, kecepatan dan ketepatan pelayanan kepada masyarakat dan pengusaha. Evaluasi 2005-2009 menunjukkan bahwa secara nasional dan provincial keberpihakan penganggaran terhadap sektor ini relatif kecil, demikian juga dengan kemudahan, kecepatan dan ketepatan pelayanan relatif lamban.
Sebagai contoh total anggaran pembangunan untuk sektor pertanian dari APBN dalam lima tahun terkhir kurang dari 4 persen demikian juga anggaran dari APBD provinsi di daerah ini. Ditengarai salah satu sebabnya adalah sektor ini belum sepenuhnya mampu memberikan argumentasi bahwa diperlukan dukungan angaran yang besar. Selain itu belum tercipta visi yang sama antara pusat dan daerah maupun antar sektor akan pentingnya pengembangan industri berbasis pertanian.
Selanjutnya kecepatan pelayanan investasi di sektor pertanian di Indonesia memerlukan waktu kurang lebih 100 hari sedangkan di Malaysia kurang dari 15 hari. Pada tahun 2011 rupanya sudah ada perbaikan ke arah sana karena anggaran APBN untuk sektor ini (tiga kementrian yaitu Kelautan-Perikanan; Pertanian dan Kehutanan) meningkat hampir 100%. Harapan kita tentunya mulai perencanaan, pengganggaran sampai kepada pelayanan di provinsi ini akan lebih baik dan salah satunya akan berpihak kepada pengembangan industri yang berbasis pertanian.
IMPLEMENTASI
Semangat membangun sektor pertanian sejak dahulu telah ada, bahkan pada periode orde baru telah disusun rencana jangka pendek 5 tahunan, jangka menengah dan jangka panjang 25 tahunan yang dikenal dengan Repelita. Sasaran akhir dari pembangunan jangka panjang 25 tahunan adalah menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang berbasis pertanian. Semangat ini juga sampai ke daerah seperti di Sulteng dikenal dengan program Gerbosbangdesa (gerakan terobosan membangun desa) dan Gemabangdesa (gerakan mandiri membangun desa); di Sulsel dikenal dengan Triprogram dan di Sultra dengan sebutan Gersamata.
Semangat ini mulai sirna seiring dengan tuntutan reformasi pada waktu itu sehingga terjadi penyerahan kepemimpinan dari Presiden Soeharto ke wakilnya B.J. Habibie. Semangat ini semakin bertambah sirna setelah pemberlakuan otonomi daerah, oleh karena masing-masing kabupaten/kota merancang pembangunan pertaniannya cenderung berdasarkan keinginan masing-masing, tanpa koordinasi dan harmonisasi yang baik.
Saatnya semangat itu dibangun kembali, karena masyarakat di negeri sebahagian besar menggantungkan hidupnya kepada pemanfaatan sumberdaya alam khususnya pemanfaatan sumberdaya pertanian. Hanya saja dalam pengembangan ini ada pembagian tugas yang jelas antara pusat-provinsi dan kabupaten. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kewilyahan yang mana provinsi mengambil peran mengkordinasikan kabupaten/kota dan kabupaten berperan sebagai lokasi implementasi program.
Salah satu ilustrasi yang dapat digambarkan kepada kita adalah pengembangan komoditi rumput laut di Sulawesi Tengah. Berdasarkan kewilayahan maka pengembangan rumput laut dibagi menjadi tiga cluster yaitu Cluster I, Selat Makassar dan laut Sulawesi yang terdiri dari Kabupaten Buol, Donggala, kota Palu dengan pusat cluster Kabupaten Tolitoli; Cluster II, Teluk Tomini terdiri dari Kabupaten Poso, Tojo Unauna, Banggai dengan pusat cluster Kabupaten Parigi Moutong; Cluster III, Teluk Tolo yang terdiri dari Kabupaten Banggai Kepulauan, Banggai, dengan Kabupaten Morowali sebagai pusat cluster.
Dengan pendekatan seperti ini, maka pengembangan rumput laut akan berskala ekonomi dan industri akan terbangun. Pusat cluster akan berperan sebagai pusat informasi, distribusi dan processing. Demikianlah beberapa pemikiran yang dapat menjadi referensi bagi siapa saja demi kemajuan pembangunan di daerah ini. Semoga.(*)
(Hasanuddin Atjo, adalah Kadis Kelautan dan Perikanan Sulteng)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Tarif Listrik 2011 Tidak Naik, Asal Efisiensi PLN Ditambah

Sabtu, 25 September 2010 , 00:00:00 WIB

  
RMOL.Keputusan yang diambil peme­rintah dan Komisi VII DPR untuk tidak menaikkan tarif dasar listrik (TDL) amat bertumpu pada efi­siensi yang dilakukan oleh Peru­sahaan Listrik Negara (PLN).
Bila efisiensi PLN tidak terca­pai, ancaman kenaikan TDL ba­kal kembali menyeruak dikare­na­kan subsidi Rp 40,1 triliun yang di­se­diakan dalam rencana angga­ran pend­apatan belanja negara (RAP­BN) 2011 sulit ditambah.
Menurut Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harya, tahun depan dari sisi penggunaan bahan bakar, PLN ingin menghemat Rp 8,1 tri­liun dengan menggunakan bahan bakar gas dan energi alter­natif lain­nya. Ditambah penun­daan car­ry over subsidi listrik 2010 se­besar Rp 40,6 triliun, dipero­leh ruang untuk tidak menaikan TDL.
“Oleh karena itu, kita sangat mengapresiasi janji PLN itu. Per­masalahannya kini ada di pe­me­rintah untuk berpihak menga­loka­sikan gas yang ada utk me­me­nuhi kebutuhan PLN,” kata Riefky usai rapat dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ES­DM) di Jakarta, Kamis (23/9).
Karena itu, dia mendesak pe­me­­rintah untuk mengamankan kebijakan yang sudah diputuskan dengan memberikan dukungan ba­gi PLN guna memperoleh ba­han bakar murah. Sementara DPR akan mengawal kesepa­ka­tan ini melalui Panitia Kerja Hulu Ke­listrikan guna memastikan efi­siensi penggunaan bahan bakar PLN dan energi terbarukan.
“Inti­nya kita ingin agar kebija­kan yang bagus ini bisa imple­men­tatif. Ja­ngan sampai karena ulah sege­lin­tir orang atau kelom­pok, apa yang sudah disepakati jadi tidak bisa terlak­sana,” tegas Riefky.
Yang pasti, kesepakatan yang telah diambil oleh pemerintah dan Komisi VII DPR tidak bisa berubah lagi dalam pembahasan bersama Badan Anggaran DPR.
Sebelumnya, Menteri ESDM Darwin Saleh mengusulkan sub­­­­si­di listrik se­besar Rp 41,02 triliun sebagai­mana ditetapkan dalam nota keuangan 2011. Ang­ka subsidi ter­sebut, terdiri dari sub­sidi ber­jalan Rp 36,4 triliun dan kekurangan subsidi tahun 2009 sekitar Rp 4,6 triliun.
Besaran subsidi pemerintah itu, belum termasuk kekurangan sub­sidi listrik Rp 12,7 triliun yang akan dikompensasi dengan kenai­kan TDL sebesar 15 persen per 1 Januari 2011. Sehingga ke­bu­tuhan subsidi sebesar Rp 53,7 triliun. Se­telah melalui perdeba­tan pan­jang, pemerintah dan Ko­misi VII DPR sepakat menutup keku­rangan sub­sidi Rp 12,7 tri­liun sebagai kom­­pen­sasi batal­nya TDL.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

SBY Dinilai Gagal Atasi Konflik Antarinstitusi

JAKARTA - Petisi 28 menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  gagal mengatasi konflik institusi negara dan masyarakat. Salah satu contohnya adalah konflik Mahkamah Konstitusi (MK) di satu sisi, dengan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi dan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana di sisi lain terkait dengan putusan MK yang mengabulkan uji materi pasal 22 ayat (1) Undang-undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan.

"Presiden SBY gagal memimpin penyelesaian konflik antar institusi negara dan masyarakat. Konflik ini menjadikan kinerja pemerintahan tidak dapat berjalan dengan efektif dan efisien," kata aktivis petisi 28, Haris Rusli Moti di sela-sela diskusi di Doekoen Coffee, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (24/9).

Menurutnya, bukti kegagalan SBY mengatasi konflik juga tampak pada Skandal Century antara KPK, Polri dan Kejaksaan Agung yang memuculkan Cicak versus Buaya. Contoh lain adalah perselisihan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan Kementrian Keuangan.

Di balik kegagalan mengatasi konflik, kata Haris, SBY justru membangun tameng-tameng untuk melindungi kelemahan dan kesalahan yang dilakukannya. Ia memberi contoh tentang pembentukan Satuan Petugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum maupun berbagai lembaga ad hoc lainnya yang tidak jelas tugas dan fungsinya.

"Kinerja Satgas Pembrantasan Mafia Hukum hingga saat ini tidak ada keberhasilannya yang signifikan. Justru kedudukan hukumnya sangat dipertanyakan," ujarnya.

Sehubungan dengan itu, Petisi 28 meminta pertanggungjawabn SBY selaku Presiden. "SBY seolah-olah terlepas dari pokok kesalahan kegagalannya mengatasi krisis kenegaraan. Untuk itu, kami menuntut SBY untuk segera mengambil langkah bijaksa dengan mengundurkan diri," ujarnya. (awa/jpnn)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Ruhut Bilang, Yusril "Biang Kerok", Mahfud "Aneh"

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Ruhut Sitompul dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD), menuding mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra sebagai biang kerok polemik, akibat keluarnya amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung yang sah.

"Ketika dia jadi Menteri Hukum dan HAM, terakhir jadi Mensesneg dan posisinya aman-aman saja, Yusril tidak memperbaiki Undang-Undang (UU) Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan Agung. Tapi begitu dia tidak dapat jabatan dan ditetapkan sebagai tersangka, kasak-kusuk mencari kesalahan orang. Ini biang kerok namanya," tegas Ruhut, di DPR RI, Jakarta, Jumat (24/9).

Padahal kata Ruhut, Yusril adalah pakar hukum tata negara dan tahu mana-mana saja di antara undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan praktek-praktek penyelenggaraan negara. "Hanya saja, itu tidak dia lakukan ketika dia punya akses untuk memperbaikinya," ujar Ruhut lagi.

Selain mengkritisi Yusril, Ruhut juga mengingatkan tentang sebuah lembaga survei, yakni LSI, yang disebutnya buru-buru mempublikasikan hasil penelitiannya tentang calon presiden terkuat 2014 mendatang. "LSI juga. Pemilu Presiden masih lama, yakni 2014, kenapa dia buru-buru mengumumkan hasil surveinya, yang meletakkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD sebagai kandidat terkuat Presiden dalam Pemilu Presiden 2014 mendatang," ungkap Ruhut.

Karena dipublikasikannya hasil survei itu, kata Ruhut lagi, maka akhirnya itu mendorong Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi untuk bertingkah laku yang aneh. "LSI mengumumkan Mahfud MD calon presiden terkuat. Mulailah dia membuat yang aneh-aneh," tegas Ruhut pula.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Ribuan Petani Demo di Istana

 
 

AKSI- Para demonstran yang terdiri dari beberapa organisasi petani mendatangi Istana Negara. Foto: Afni Zulkifli/JPNN
JAKARTA- Ribuan petani yang tergabung dalam berbagai aliansi bersama dengan mahasiswa, tumpah ruah didepan Istana negara, Jakarta, Jumat (24/9). Mereka melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional ke 50.

Para demonstran membawa berbagai spanduk, poster dan berorasi untuk meminta pemerintah  memperhatikan nasib para petani. Di antaranya datang dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Masyarakat Tani Indonesia, Konsorsium Pembaharuan Agraria dan puluhan elemen masyarakat tani lainnya.

Hingga pukul 11.00 WIB, demonstrasi berlangsung secara tertib dan damai. Meski demikian, terlihat ratusan aparat kepolisian dibantu TNI bersenjata lengkap berjaga-jaga di sekitar Istana Negara. Termasuk menyiapkan mobil water canon untuk mengantisipasi bila demonstrasi berlangsung  ricuh.

Dalam pernyataan sikapnya, para  demonstran menyebutkan bahwa meski sudah 50 tahun Hari Tani diperingati secara nasional, namun nasib petani di Indonesia masih menjadi kaum yang tetap terpinggirkan. Hal itu disebabkan karena banyak kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kaum petani.

Berdasarkan data BPS (Sensus Pertanian 2003), menyatakan jumlah rumah tangga petani naik menjadi 25,4 juta atau terjadi kenaikan sebesar 5,4 juta rumah tangga dalam satu dekade terakhir. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat.

Namun jumlah rumah tangga petani kecil dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare, baik milik sendiri maupun dengan cara menyewa, malah meningkat dari 10,8 juta keluarga tahun 1993 menjadi 13,7 juta keluarga tahun 2003.

Data BPS juga menunjukkan bahwa luas pertanian padi di Indonesia pada tahun 2010 hanya tinggal 12.870 juta hektar atau menyusut 0,1 persen dari tahun sebelumnya. Luas lahan pertanian secara keseluruhan diperkirakan saat ini berjumlah 19.814 juta hektar atau menyusut 13 persen dibanding tahun 2009.

Para demonstran pun meminta pemerintah untuk tidak melakukan impor beras, karena dinilai sangat merugikan para petani. Indonesia dikenal sebagai negara pengimpor pangan terbesar di dunia saat ini.

"Kami meminta tidak ada lagi impor beras. Juga meminta pemerintah segera redistribusikan 9,6 juta hektar tanah kepada rakyat tani melalui perbaruan agraria nasional," demikian orasi para demonstran.(fuz/afz/jpnn)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Konsepsi Negara Islam Bukan Rekaan Polisi Kapolri Tegas Teroris Ingin Rebut Kedaulatan

Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, menyatakan, kesimpulan bahwa pengambilalihan kedaulatan negara sebagai tujuan akhir para teroris di Indonesia bukan cerita yang direkayasa. Kesimpulan itu merupakan hasil penyelidikan dan pengumpulan fakta lapangan dari kelompok teroris yang kini masih terus beraksi.

"Ini bukan karangan atau prediksi, tapi ini konsep yang mereka (kelompok teroris) siapkan," ujar Kapolri dalam keterangan persnya di Mabes Polri, Jumat (24/9). Dijelaskannya, konsep pembentukan negara dengan ideologi Islam seperti yang diyakini para terosis merupakan tujuan akhir.

Menurut Kapolri, dalam proses awal para teroris menunjukkan eksistensi dengan melakukan serangkaian ledakan sejak awal tahun 2000 lalu. Objek serangannya berupa rumah ibadah dan asset-aset milik warga asing. Serangan ini disebut Polri sebagai Far Enemy (musuh jauh). Belakangan, serangan teror ini mendapatkan perlawanan sengit dari negara melalui kepolisian.

Sehingga kini, serangan itu juga diarahkan kepada polisi selaku alat negara yang menghalang-halangi aksi tersebut. Inilah yang kini disebut polri sebagai perubahan pola serangan dari Far Enemy menjadi Close Enemy (musuh dekat). Bahkan tak hanya negara yang dilawan, suasana perang yang mereka kobarkan membuat masyarakat yang dinilai berlainan faham boleh untuk diserang dan dihabisi. "Membunuh kita (polisi) dianggap halal karena kita juga dianggap orang kafir," tambahnya.

Hal itu juga terlihat dari beragam perampokan yang digunakan sebagai sarana penghimpunan dana. Terakhir adalah perampokan CIMB Niaga, Medan yang disebut polisi sebagai bagian dari Fa’i (perampokan untuk pengumpulan dana).

Menurut polisi, hasil rampokan digunakan untuk mendanai latihan militer seperti yang dilakukan di pedalaman Aceh. Polri menyimpulkan pelatihan itu bertujuan penyerbuan dan penembakan terhadap pejabat negara saat perayaan 17 Agustus lalu.

Dengan intensitas perlawanan ini, para teroris juga akan menjadikan Indonesia sebagai medan Jihad seperti Afganistan dan Pakistan yang memungkinkan datangnya para pejuang (mujahid) dari negara lain. "Mendatangkan mujahid dari Irak, Pakistan dan Afganistan, ini rencana mereka, dan merebut kekuasaan negara," tambahnya.(zul/jpnn)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Benarkah ada Perbenturan Budaya? Oleh: Abdurrahman Wahid

Profesor Samuel Huntington mengemukakan gagasannya bahwa sekarang terjadi perbenturan anatara peradaban Islam dengan budaya Barat. Segera pendapatnya berkembang ke seluruh dunia, menjadi perdebatan sangat menarik tentang peradaban modern. Bukankah dibalik bungkus perbenturan antara peradaban itu, sebenarnya dimaksudkan perbenturan antara peradaban Islam dan peradaban Barat modern? Huntington antara lain menyebutkan ciri-ciri khas peradaban Islam, yang membedakannya dari peradaban Barat modern. Perbedaan itu adalah perbedaan klasik antara sebuah peradaban yang bertumpu pada sistem hukum (dalam hal ini hukum Islam/fiqh) di satu pihak, melawan peradaban barat modern yang bertumpu pada materialisme di pihak lain. Benarkah apa yang dikemukakan Huntington itu? Apakah sikap yang harus kita ambil sebagai seorang muslim dalam hal ini?

Beberapa bulan setelah Huntington mengemukakan gagasan itu, penulis diundang, pada awal dasawarsa 90-an, oleh Surat Kabr Jepang terkemuka Yamiuri Shimbun di Tokyo, untuk mengikuti sebuah diskusi. Topiknya adalah perbenturan peradaban (Clash of Civilizations) yang menjadi gagasan Huntington itu. Di muka dua ribu orang peserta, penulis menyatakan kepadanya, bahwa Huntington terlalu mementingkan perbedaan antar pohon, yaitu antara ‘pohon Barat' dan ‘pohon Islam', tetapi melupakan ‘hutan' dari pohon yang dimaksud secara keseluruhan. Ia lupa bahwa tiap tahun, puluhan ribu orang kaum muda muslim belajar teknologi dan ilmu pengetahuan modern di negeri-negeri barat. Mereka tentunya bukan hanya belajar teknologi dan ilmu pengetahuan modern saja, tetapi juga peradaban barat itu sendiri. Belum lagi dihitung orang yang tidak belajar di sana, tetapi terkena pengaruhnya.

Anggap saja penulis adalah salah seorang diantara mereka. Penulis dapat mengatakan demikian karena sehari-hari ia berpakaian seperti orang barat, bercelana dan berbaju lengan pendek. Tetapi ini tidak berarti penulis menjadi orang Barat itu sendiri, atau ‘di Barat-kan' dalam perilaku sehari-hari. Penulis tidak pernah merasakan/mencicip minuman keras (alkohol) maupun makan daging babi atau anjing. Jadi, penulis hanya menjadi ‘seperti orang Barat', tanpa mengikuti mereka dalam segala hal. Tetapi, penulis juga bukan ‘lawan/musuh' orang Barat. Karenanya tentu sulit dibuat sebuah kategorisasi sesuatu sebagai produk peradaban Barat atau Islam. Posisi ditengah inilah yang kini menjadi posisi mayoritas kaum muslim diseluruh dunia. Dan ini yang tidak dimengerti oleh Huntington.

Juga harus dimengerti, Huntington menggunakan ukuran moralitas ganda dalam konsepnya itu. Kalau kelompok ultra-keras (orthodox) Yahudi melempari mobil yang lewat di Jerusalem pada hari Sabtu, karena keyakinan agama mereka bahwa orang dilarang bekerja hari itu -padahal menyetir mobil bukanlah pekerjaan-, maka Huntington akan ‘menilai' mereka memang aneh, tetapi tetap anak-anak peradaban Barat. Sedangkan kelompok-kelompok muslimin yang bertindak seperti itu di Jerusalem, akan disebut Huntington sebagai buah peradaban non Barat. Bukankah pengertian kita lalu dibuat rancu oleh Huntington dengan konsepnya yang bermoralitas ganda itu? Tetapi, moralitas ganda ini juga tidak hanya terbatas pada ‘orang-orang barat saja, melainkan juga di kalangan kaum Muslimin. Mereka berjubah, berjenggot, mengenakan serban dan membawa kelewang ke mana-mana, dapat dinilai dihinggapi rasa rendah diri.

Lalu, bagaimana kita seharusnya bersikap? jawabnya sederhana saja yaitu jadilah dirimu sendiri (be your self). Kata Prof. Jan Romeine dalam "Aera van Europa" yang terbit tahun 1954, menyebutkan adanya Pola Kemanusiaan Umum (Algemeen Menselijk Patroon). Pola pertama terjadi beberapa ribu tahun yang lalu, didasarkan pada tradisonalisme yang berintikan kekuasaan Raja yang bagaikan Tuhan dimuka bumi, perekonomian agraris, susunan masyarakat yang percaya kepada hal-hal gaib dan moralitas yang berpegang teguh kepada apa yang baik dan buruk. Pada abad ke-6 SM terjadi krisis pada peradaban-peradaban yang ada, sehingga diperlukan penegasan kembali wewenang Raja yang mewakili moralitas berTuhan satu. Lahirlah "Raksasa-Raksasa Moral" seperti Konghucu dan Lau Tse di Tiongkok, Shidarta Gautama di India, Zarathustra di Persia dan Akhnaton di Mesir. Mereka memperpanjang umur Pola Kemanusiaan Umum (PKU) I, kecuali para filosof Yunani kuno, seperti Thales, Socrates dan Plato. Para filosof itu mengembangkan ilmu pengetahuan yang menggunakan akal rasionalistik. Inilah ‘penyimpangan' pertama orang Barat dari PKU I itu, yang disusul oleh berbagai penyimpangan-penyimpangan lain terkemudian. Akibatnya, setelah para filosof itu meninggalkan panggung sejarah manusia, maka penyimpangan dilanjutkan dengan adanya kedaulatan hukum Romawi (Lex Romanum) disusul oleh perngorganisasian gereja, renaissance, abad pencerahan (Aufklarung), rasionalisme, revolusi industri, abad ideologi dan abad ketidakpastian (yaitu abad ke-20 M). Dari abad ke abad penyimpangan demi penyimpangan itu membuat dunia Barat pada akhirnya dapat memaksakan kehendak pada Pola Kemanusiaan Umum pertama, dan lahirlah sekarang Pola Kemanusiaan Umum ke dua.

Pada saat karya Romein itu lahir dipertengahan abad yang lalu, kita masih yakin akan supremasi "Dunia Barat" atas seluruh jagad raya. Namun pada abad ini keadaannya menjadi berubah. Peradaban Barat sendiri sekarang mengalami krisis yang mengancam supremasinya. Walaupun Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa satu-satunya, masih mencoba menerapkan pola lama yang bersifat penggunaan kekuatan militer, dalam kenyataan ia mulai terdesak oleh kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Republik Rakyat Tiongkok. Munculnya Brazilia dan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru dalam perempat pertama abad ini akan membuat model geopolitik lama, yang didasarkan pada kekuatan senjata akan segera usang. Ini adalah "kenyataan sejarah" yang tidak dapat diingkari oleh siapapun.

Apa yang disebutkan di atas, pada akhirnya memaksakan hal-hal yang tidak terduga sebelumnya. Diantaranya adalah munculnya sasaran baru dalam kehidupan kita bersama sebagai umat manusia. Umpamanya saja Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dalam pemilu legislative yang penuh kecurangan oleh Komisi Pemilihan Umum tahun ini, mengemukakan empat buah sasaran yang menggambarkan kenyataan tadi. Empat sasaran itu adalah: demokratisasi Indonesia (yang harus ditunda dahulu pelaksanaannya); Membuat Indonesia menjadi "pimpinan" Dunia Islam; Membuat masalah-masalah dunia didiskusikan secara tetap di lingkungan negara-negara berkembang; Dan pendapatan manusia Indonesia menjadi 10.000 US$/ tahun. Orang masih tertawa akan hal ini, tetapi penulis melihat cara-cara untuk mewujudkannya dalam waktu 10-15 tahun yang akan datang.

Kalau sasaran itu tercapai, maka kombinasi antara kekuatan-kekuatan kultural, politik dan ekonomi akan membuat keseimbangan keadaan berubah sama sekali. Dalam percakapan dengan Wakil Menhan AS Paul D. Wolfowitz dan Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Munchen, Jerman baru-baru ini, penulis menyatakan bahwa penyerbuan Bush ke Iraq beberapa bulan lalu, tidak disertai kejelasan struktur politik mana yang dikehendaki AS, serta tidak memperhitungkan reaksi negara-negara tetangga Iraq. Di Iraq diperlukan pemerintahan Federal karena orang-orang Kurdi, Sunny dan Syi'I hanya dapat hidup bersama secara damai dalam struktur negara yang demikian. Sedangkan negara-negara tetangga seperti Saudi Arabia, Kuwait, Jordania, Syria, Turkey dan Iran yang belum sepenuhnya demokratis, tidak akan membiarkan Iraq tumbuh menjadi kuat dan demokratis sekaligus, seperti dicanangkan Bush. Mereka ingin melihat Iraq yang demokratis tapi lemah, atau Iraq yang tidak demokratis tapi kuat. Hal-hal seperti inilah yang membuat konsep-konsep seperti dikembangkan Huntington dan Jan Romein yang disebutkan di atas, menjadi kacau dan tidak relevan. Menarik sekali untuk melihat sejarah dunia dengan cara seperti itu, bukan?

Jakarta, 16 Oktober 2004

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Kamis, 23 September 2010

SEJARAH GERAKAN TANI INDONESIA -- Memperingati Hari Tani Nasional Ke-50

Kaum tani di Indonesia muncul pertama kali di masa masyarakat feodal, di mana pada waktu itu kaum tani berposisi sebagai tani hamba dari tuan tanah feodal yang menguasai tanah. Tani hamba bekerja menggarap lahan atau tanah milik tuan tanah feodal yang pada waktu itu menyebut dirinya sebagai raja. Seluruh hasil tanah yang digarap oleh tani hamba diserahkan kepada raja dan tani hamba mendapat bagian sesuai dengan kebijakan dari raja. Pada masa itu, yang banyak berlaku adalah aturan kewajiban tani hamba untuk menyerahkan upeti berupa hasil produksinya sebagian besar kepada raja sebagai bukti pengakuan kepemilikan tanah oleh raja sekaligus juga kepatuhan tani hamba terhadap sang raja. Selain keharusan untuk menyerahkan upeti, tani hamba juga harus siap swaktu-waktu untuk menyerahkan tenaga kerjanya tanpa dibayar ketika raja membutuhkan dan memiliki kehendak untuk mewujudkan keinginannya seperti membangun istana, jalan, bahkan berperang melawan kerajaan yang lain. Belum lagi pajak yang juga dikenakan oleh raja terhadap kaum tani di luar upeti. Dan apabila kaum tani tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka dipastikan mereka akan mendapatkan hukuman. Dapat dibayangkan bagaimana penderitaan tani hamba pada waktu itu dan kondisi hidupnya yang melarat dan miskin.

Kepatuhan dan ketertundukkan kaum tani terhadap raja semakin diperteguh oleh kesadaran feodal di kalangan kaum tani yang menganggap bahwa raja adalah 'manusia pilihan' dan utusan Tuhan. Sehingga harus dihormati dan menjadi tempat untuk mengabdi. Kesadaran ini semakin dikuatkan oleh ajaran agama yang memperkuat kedudukan raja dalam masyarakat. Dan kemudian kaum tanipun terbenam dalam ketidakberdayaan dan penerimaan bahwa seluruh penderitaan yang dialaminya adalah takdir yang harus ditanggung dengan penuh kesabaran dan bahkan 'rasa syukur'. Namun bukan berarti bahwa kaum tani pada waktu itu tidak melakukan perlawanan terhadap sistem ekonomi politik yang menindas dirinya. Berbagai bentuk perlawanan muncul seperti misalnya penolakan memberikan upeti, penolakan membayar pajak, bahkan juga melakukan perlawanan secara berkelompok sekalipun mudah dipatahkan oleh raja dan tentaranya.

Pada perkembangannya, ketika bangsa asing masuk ke Indonesia sebagai tanda dimulainya masa penjajahan maka penderitaan petani bukannya berkurang tetapi justru bertambah hebat. Pada masa VOC, kewajiban para penguasa lokal untuk menyerahkan hasil pertanian menjadikan tekanan terhadap petani bertambah kuat. Demikian juga di masa pendudukan Inggris, telah diperkenalkan pajak tanah berupa uang, menggantikan penyerahan wajib (upeti). Kenyataannya, pajak tanah yang dikenakan oleh pemerintah penjajahan sangat tinggi dan banyak kaum tani yang tidak mampu untuk membayar pajak. Untuk membayar pajak tersebut, tidak jarang banyak kaum tani yang harus menjual tanahnya dan kemudian terpaksa menjadi buruh di perkebunan.

Beban penderitaan yang bertumpuk-tumpuk itulah yang kemudian menjadi lahan yang subur bagi munculnya ketidakpuasan, kemarahan dan kebencian kaum tani terhadap pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangan lokalnya. Perang Jawa atau banyak dikenal sebagai perang Diponegoro menjadi salah satu bentuk perlawanan kaum tani yang pada saat itu mengalami penderitaan karena dikenai berbagai macam pajak baik oleh Belanda maupun kerajaan Mataram. Itulah yang menjadi sebab mendasar kenapa massa rakyat bangkit melawan kekejaman penjajah dan penguasa kerajaan Mataram. Bukan pertama-tama karena kepahlawanan Pangeran Diponegoro, karena ajakan Diponegoro untuk melawan Belanda tidak akan disambut luas jika massa rakyat memang tidak memendam kemarahan besar terhadap Belanda. Di sinilah nampak dengan jelas bagaimana peranan massa rakyat yang menentukan Perang Jawa dapat terjadi, meluas di berbagai wilayah di Jawa, dan bertahan selama kurun waktu yang lama (5 tahun).

Perang Jawa telah menimbulkan kerugian besar di pihak pemerintah Belanda baik berupa kerugian finasial (keuangan) maupun kehilangan pasukan dalam jumlah yang sangat besar. Perang Jawa juga telah menunjukkan kegigihan massa rakyat khususnya kaum tani dalam melakukan perlawanan bersenjata terhadap penguasa Belanda dan kaki tangan pribuminya. Namun pada akhirnya perang Jawa mengalami kegagalan dan dapat dihancurkan oleh Belanda karena dua sebab utama yaitu pertama, masih bersifat lokal atau kedaerahan karena hanya mencakupi wilayah DIY dan sebagian Jawa Tengah. Hal ini memudahkan Belanda untuk mengkonsentrasikan kekuatan militernya dari banyak tempat baik di Jawa maupun luar  Jawa di Jateng dan DIY. Kedua, perlawanan massa rakyat yang sebagian merupakan kaum tani masih dipimpin oleh penguasa feodal yaitu Diponegoro yang memiliki watak bimbang dan tidak teguh dalam memegang garis perjuangan terhadap penjajahan. Hal ini yang menyebabkan Diponegoro gampang dibujuk oleh Belanda dan melalui sebuah siasat perundingan, Belanda dapat menangkap dan mengasingkan Diponegoro. Karena kepemimpinan perjuangan terpusat di tangan Diponegoro, maka paska ia ditangkap tidak ada kepemimpinan yang meneruskan perlawanan massa rakyat. Dan kemudian perlawanan menjadi surut dan dapat ditumpas dengan lebih mudah oleh Belanda.

Karena kerugian yang sangat besar dari perang Jawa, maka kemudian Belanda menerapkan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (STP) baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tujuannya jelas yaitu untuk menutup kerugian finansial yangdialami akibat perang Jawa selam 5 tahun. Sistem Tanam Paksa mengharuskan negeri jajahan Indonesia menyediakan tanah dalam jumlah yang sangat besar untuk ditanami tanaman komoditi ekspor yang akan diangkut ke negeri Belanda untuk kemudian dijual ke pasar dunia. Untuk kepentingan tersebut, pemerintah Belanda menerapkan aturan bahwa kaum tani di Indonesia harus menyerahkan 1/5 tanah garapannya untuk ditanami tanaman ekspor seperti teh, kopi, vanili, tembakau dan lain-lain. Pada kenyataannya, pelaksanaan STP lebih parah daripada aturan formalnya, karena prkteknya kaum tani harus menyerahkan seluruh tanahnya untuk tanam paksa. Bahkan juga seluruh tenaga kerjanya harus diserahkan untuk mengurus tanaman ekspor yang mereka tidak pernah merasakan hasilnya. Apalagi pemerintah Belanda menggunakan penguasa feodal lokal seperti Bupati, Residen dan Kepala Desa untuk memaksa kaum tani menyerahkan tanah dan tenaga kerjanya.

Pelaksanaan STP di satu sisi memberikan keuntungan yang luar biasa bagi pemerintah Belanda. Tercatat sampai akhir tahun 1870, keuntungan yang diperoleh pemerintah Belanda mencapai 725 juta gulden, yang kemudian dapat untuk membayar hutang-hutang mereka dan menjadi bagian terbesar yang menopang anggaran belanja negeri Belanda. Tetapi di sisi lain, menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang amat sangat di kalangan kaum tani. Bencana kelaparan dan penyakit menyerang massa rakyat khususnya kaum tani di Jawa. Krisis ekonomi melanda pulau Jawa secara luas pada akhir tahun 1880. Dan data sejarah mencatat, terjadi tragedi memilukan karena tingginya tingkat kematian akibat bencana kelaparan dan penyakit sehingga setengah dari jumlah penduduk Jawa berkurang. Selama kurun waktu tersebut, kaum tani juga tidak berhenti melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Sejarawan Indonesia Onghokham mengemukakan bahwa semenjak perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 sampai permulaan pergerakan nasional pada tahun 1908, diperkirakan terdapat lebih dari 100 pemberontakkan atau keresahan petani. Itu berarti hampir setiap tahun ada saja onrust atau uproar (kerusuhan), sifatnya lokal dan mudah ditindas, termasuk peristiwa paling spektakuler yakni pemberontakkan petani Banten pada tahun 1888.

Pemberontakkan petani Banten pada tahun 1888 menjadi puncak perlawanan kaum tani terhadap penguasa penjajah dan kaki tangan pribuminya sepanjang abad 19 dan menjelang abad 20. Pemberontakkan petani Banten juga dilatarbelakangi oleh beban berat penderitaan kaum tani dan kebencian yang amat dalam terhadap penguasa Belanda maupun juga penguasa pribumi (Bupati dan Residen) yang dianggap sebagai antek-antek Belanda. Pemberontakkan terjadi di Banten, Lebak dan juga sampai ke daerah Batavia. Pemimpin pemberontakkan berasal dari kalangan ulama yaitu kyai/tubagus maupun para jawara. Namun demikian pemberontakkan petani Banten tersebut dapat ditumpas dengan mudah karena seperti halnya karakter gerakan perlawanan kaum tani sebelum abad 20, masih bersifat lokal, kedaerahan dan dipimpin oleh tokoh feodal lokal.

Pada awal abad 20, mulai bermunculan organisasi pergerakan modern yang sudah mulai mengusung tema-tema perjuangan nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Seperti misalnya Sarekat Islam (SI) yang sekalipun tujuan awalnya untuk kepentingan perlindungan bagi usaha dagang pribumi, tapi dalam perkembangannya juga banyak bersentuhan dengan tema nasionalisme dan anti kolonialisme, dan segera saja memiliki keagngotaan luas di seluruh Indonesia. Kemudian juga lahir ISDV yang memang sedari awal memiliki garis anti kolonialisme dan banyak mempelopori lahirnya organisasi klas buruh seperti VSTP, serikat buruh kereta api. Kaum tani juga kemudian memiliki organisasinya yaitu Serikat Buruh Tani dan Perkebunan, yang pada perkembangannya berdiri sendiri-sendiri yaitu Serikat Buruh Tani dan Serikat Buruh Perkebunan. Perlawanan kaum tani juga tidak pernah surut, bahkan pada tahun 1926 meletuslah pemberontakan nasional kaum tani bersenjata. Pemberontakkan 1926 ini bertujuan untuk menghancurkan kolonialisme dan juga sisa-sisa feodalisme. Berbeda dengan perlawan kaum tani sebelum abad 20, pemberontakkan 1926 memperlihatkan karakter nasional. Bersifat nasional, karena telah terjadi di banyak tempat baik di Jawa maupun luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan. Tetapi karena kelemahan-kelemahan secara internal di dalam gerakan perlawanan kaum tani dan kepemimpinan klas buruh, maka pemberontakkan mengalami kegagalan dan dapat ditumpas oleh Belanda. Salah satu kelemahan misalnya pemberontakkan tidak dilakukan dalam waktu yang serentak, sehingga memudahkan Belanda menanganinya.

Paska 1926, gerakan kaum tani mengalami pengawasan dan penekanan yang ketat dan keras dari Belanda, karena kekuatiran muncul kembali perlawanan dan pemberontakkan dari kaum tani. Demikian pula di masa imperialisme fasis Jepang, polisi rahasia Jepang yang dikenal sangat kejam dan lihai senantiasa memata-matai gerak-gerik kaum tani dan para pimpinannya. Sehingga tidak sedikit yang kemudian ditangkap, disiksa dan dipenjarakan. Namun demikian tidak menghalangi kaum tani untuk tetap bergerak, dan puncaknya ketika Pembebasan Nasional 17 Agustus 1945, kaum tani yang dipimpin oleh para pemuda turut serta secara aktif dalam merebut persenjataan dari Jepang dan memproklamasikan kemerdekaan. Di banyak tempat terbentuk laskar tani di samping laskar rakyat lainnya. Demikian juga ketika terjadi agresi Belanda dan kedatangan Sekutu selama kurun waktu 1945-1948, kaum tani juga turut aktif dalam perlawanan rakyat bersenjata.

Pada bulan November 1945, diselenggarakan kongres petani yang pertama dan dalam kongres tersebut lahirlah Barisan Tani Indonesia (BTI). Kemudian disusul kelahiran Rukun Tani Indonesia (RTI) dan Sarekat Kaum Tani Indonesia (Sakti). Pada tahun 1947 berdiri Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang disponsori oleh Masyumi. Menyusul PETANI yang banyak dinilai dekat dan PNI dan PETANU yang dekat dengan NU. Organisasi-organisasi tani tersebut, khususnya BTI kemudian berkembang dengan pesat, bahkan pada akhir tahun1955, anggota BTI telah mencapai angka 3 juta lebih dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Gerakan petani paska berdirinya organisasi tani modern tersebut tidak dapat dilepaskan dari gerakan massa rakyat dalam perjuangan pembebasan kemerdekaan Indonesia. Program perjuangan dari organisasi tani khususnya BTI, RTI dan Sakti yang dikemudian hari meleburkan diri menjadi BTI digariskan dengan tegas yakni anti imperialisme/penjajahan dan juga anti feodalisme dengan memperjuangkan terlaksananya land reform. Organisasi tani inilah yang secara aktif menuntut nasionalisasi perusahaan asing dan pelaksanaan secara konsisten UUPA 1960.

Pada tahun 1966, pemerintahan Soekarno jatuh dan naiklah orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Periode ini menandai awal dari sebuah masa kemunduran gerakan tani dan surutnya organisasi-organisasi tani. Pada awal naiknya orde baru, banyak anggota BTI yang dibunuh oleh pemerintahan Soeharto dengan tuduhan komunis. Hal tersebut menimbulkan trauma panjang di kalangan kaum tani untuk bangkit dan membangun gerakan tani. Hal tersebut memang merupakan strategi orde baru untuk melumpuhkan gerakan tani di Indonesia. Paska 1966, orde baru mempraktekkan kebijakan yang mengekang kebebasan berorganisasi bagi kaum tani. Satu-satunya organisasi yang 'direstui' oleh orde baru adalah Himpunan Kerukunan Tani Indonesia [HKTI]. Apabila kaum tani menolak masuk HKTI atau mendirikan organisasi sendiri maka akan dicap sebagai pembangkangan terhadap pemerintah. Demikian juga aturan tentang partai politik yang tidak diperbolehkan membentuk ranting sampai tingkat desa, merupakan upaya dan strategi orde baru untuk memberangus kesadaran politik kaum tani. Dan ini terbukti berhasil, di mana selama 32 tahun, kaum tani di Indonesia dibuat buta tentang politik dan menganggap hal yang tabu untuk berbicara atau berurusan dengan politik. Protes dan ketidakpuasan petani juga banyak dihadapi dengan kekerasan oleh orde baru, sehingga menimbulkan ketakutan yang mendalam di kalangan kaum tani. Dapat dikatakan, selama Soeharto berkuasa, gerakan tani mengalami kemunduran yang luar biasa.

Namun bukan berarti bahwa selama masa orde baru berkuasa, kaum tani tidak melakukan perlawanan. Kebijakan orde baru banyak mengabdi pada kepentingan imperialisme/penjajahan. Akibatnya sangat merugikan kaum tani dan menelantarkan petani dalam penderitaan akibat praktek penyerobotan, perampasan dan penggusuran tanah rakyat dengan berbagai dalih seperti untuk kepentingan pembangunan, dirampas perkebunan, perhutani dan perusahaan, pembangunan perumahan mewah dan industri, diambil alih militer dan lain sebagainya. Selama kurun waktu 30 tahun mulai 1970 sampai dengan tahun 2000, tercatat telah terjadi tidak kurang dari 1753 kasus sengketa tanah yang menghadapkan kaum tani dengan negara maupun pengusaha dan militer.

Perlawanan kaum tani tetap dilakukan seperti misalnya dengan melakukan pembangkangan pembayaran pajak, aksi demonstrasi, aksi mogok makan, perusakan fasilitas pemerintah, penolakan untuk dipindahkan dari tanahnya, pembakaran milik perusahaan, penuntutan kembali hak atas tanah (reklaiming), pengambilalihan atau pendudukan tanah (okupasi) sampai juga perlawanan fisik. Demikian juga pendirian organisasi-organisasi tani secara independen di luar HKTI juga merupakan bentuk perlawanan secara organisasi. Praktek pertanian organik, pendirian koperasi-koperasi dan lumbung-lumbung benih merupakan bentuk perlawanan petani terhadap kebijakan pemerintah yang menempatkan petani dalam situasi ketergantungan terhadap input produksi seperti pupuk, benih dan obat-obatan yang banyak diproduksi pabrik terutama perusahaan asing.

Paska Soeharto jatuh pada tahun 1998, kebebasan demokratik terbuka lebih lebar dibanding masa sebelumnya. Sehingga kemudian gerakan petani mengalami kebangkitan kembali. Aksi aksi petani menuntut dikembalikannya tanah-tanah yang dulu dirampas orde baru semakin marak terjadi di mana-mana bahkan sampai dilakukannya reklaiming dan pendudukan tanah. Demikian juga tuntutan untuk dilaksanakannya UUPA 1960 semakin bertambah besar. Organisasi-organisasi independen yang didirikan oleh kaum tani sendiri, baik di tingkat desa, kabupaten, propinsi bahkan nasional banyak bermunculan. Keberanian kaum tani dalam menyuarakan pendapat dan memperjuangkan kepentingannya semakin bertumbuh-kembang. Sekalipun demikian tetap harus menghadapi sikap yang keras dari negara, seperti kasus terakhir berupa penembakkan petani di Bulukumba, Sulawesi Selatan; Manggarai, Nusa Tenggara Timur yang terakhir adalah Tanak Awu di Nusa Tenggaara barat --- serta banyak lagi kekerasan-kekerasan terhadap petani yang tak tercatat.

Dari rangkaian ulasan singkat tentang sejarah gerakan tani di Indonesia, dapat dengan jelas disimpulkan bahwa  penindasan terhadap petani telah terjadi dari masa ke masa. Demikian juga dalam setiap masa penindasan, selalu muncul perlawanan kaum tani. Ini membuktikan kebenaran hukum obyektif perkembangan masyarakat bahwa di mana ada penindasan, di situlah akan berkobar perlawanan. Dan sejarah gerakan tani di Indonesia membuktikan satu hal yang penting bahwa KAUM TANI MEMILIKI TRADISI BERLAWAN

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

SELAMATKAN BUMI.....HENTIKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

Terabaikannya persoalan lingkungan pada tataran prespektif dan implementasi kebijakan sepertinya telah menjadi penyakit kronis yang dirasa sangat sulit untuk dipulihkan. Padahal dari tahun ke tahun kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin parah. Indikasi kerusakan ini bisa dilihat dari tingginya bencana ekologis yang terjadi hingga awal tahun 2007. Sebut saja rangkaian bencana banjir di Jakarta dan kota-kota lain di pulau Jawa, Sulawesi serta Kalimantan. Rangkaian gempa akibat tumbukan atau pergeseran lempeng di beberapa tempat di Indonesia, termasuk di Jogjakarta-Jateng, tanah lonsor hingga angin puting beliung yang memporakporandakan beberapa tempat di Indonesia.

Sampai hari ini, setiap tahun indonesia kehilangan 1,6 s.d 3,5 juta ha hutan, yang kemudian berdampak pada menurunnya kapasitas ketersediaan air tanah, saat musim kemarau kita mengalami kekeringan, ketika musim hujan kita didera bencana banjir dan lonsor. Tidak hanya sampai disini, penambangan dengan skala besar, pada tahun 2006 diijinkan negara untuk ikut dilakukan di 13 kawasan konservasi, padahal persoalan ekologi dan sosial pada lokasi penambangan yang lain seperti Newmont Minahasa Raya, Rio Tinto dan lain-lain yang sampai saat ini juga belum tuntas. Sementara, diwilayah perkotaan, kualitas lingkungan Indonesia makin menurun diakibatkan oleh 3 hal utama, sampah, limbah cair dan polusi udara hadir mencemari sungai, tanah, air dan udara.

Saat ini banyak kasus-kasus yang terjadi dalam pengelolaan alam dan lingkungan, baik yang berskala kecil maupun berskala besar, dalam banyak kasus tidak terlihat adanya upaya penegakan hukum secara ekologis. Kalaupun ada maka penyelesaian kasus atau sengketa lingkungan hidup, masih sebatas pada hal-hal yang konvensional saja, seperti melengkapi hal-hal administratif dan memberikan ganti rugi, sementara rehabilitasi kondisi lingkungan tetap saja merupakan item solusi yang sering dihindari atau sama sekali diabaikan.

Tidak adanya tindakan hukum yang tegas terhadap industri pencemar, berlarut-larutnya penyelesaian ganti rugi kepada masyarakat korban yang merupakan pengejawantahan dari prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sebagaimana yang tercantum dalam UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berbagai kemudahan dan insentif diberikan kepada industri besar untuk memperluas dan meningkatkan produksinya, walaupun industri tersebut telah menimbulkan berbagai kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan, serta banyak fakta lainnya jelas membuat upaya perlindungan lingkungan hidup dalam pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi (konvensional) menghadapi hambatan besar. Lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan Indonesia berada diambang kehancuran. Masyarakat semakin terpinggirkan dan termarjinalkan haknya atas sumber-sumber kehidupan. Masyarakat juga sekaligus merupakan kelompok yang paling rentan karena merekalah penerima dampak terbesar dari kerusakan lingkungan termasuk bencana ekologis yang terjadi.

Kota Luwuk sebagai pusat pemerintahan dan aktifitas masyarakat yang sangat kompleks merupakan daerah dengan perubahan ekologi yang sangat cepat. Permasalahan yang ada merupakan akibat dari aktifitas masyarakat yang tinggi, sehingga perlu adanya rencana pengelolaan lingkungan kota yang berkelanjutan. Permasalahan lingkungan perkotaan yang ada bermacam - macam, diantaranya masalah AMDAL, Tata Ruang, Sampah, Limbah dan Transportasi.

Akhirnya, butuh sebuah gerakan yang masif untuk bisa menciptakan lingkungan yang baik dan bersih. Butuh kerja keras untuk bisa menyetarakan serta mempertahankan hak masyarakat atas lingkungan. Meski seperti sebuah keniscayaan, tetapi proses ini harus terus didorong dan semakin diperluas hingga membentuk sebuah gerakan yang menjadi bagian dari gaya, pandangan hidup dan kebijakan. Mari peduli, Mari mengambil bangian nyata, Selamatkan bumi, hentikan kerusakan lingkungan Di Kabupaten Banggai. bersama dalam satu gerakan moral peduli untuk Bumi menyerukan tentang :

1. Upaya penyelamatan BUMI, untuk menghentikan Kerusakan Lingkungan dengan membangkitkan kembali perilaku bijak untuk bumi melalui bijak melestarikan hutan, bijak menyelamatkan sumber air, bijak menggunakan energi dan mengurangi polusi serta bijak mengurangi sampah.
2. Melawan dengan tegas tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan perampasan akses rakyat atas daya dukung lingkungan yang sehat dan nyaman seperti pencemaran, privatisasi, dll.
3. Melakukan kritik sosial atas kebijakan pemerintah terkait kebijakan pengelolaan Sumber Daya Alam & lingkungan. Kritik sosial ini diarahkan untuk mendesak pemerintah melakukan pengelolaan SDA dan lingkungan secara terpadu, Lestari dan berkelanjutan.
POSTED bY : (araya sagarmatha_191)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified