Jumat, 19 November 2010

MENGAPA "INCUMBENT" SERING MENANG DALAM PILKADA ?

Awalnya, incumbent memang diharuskan mundur bila mencalonkan diri lagi. Pasal 58 UU Nomor 12 Tahun 2008 mensyaratkan hal itu. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 yang membatalkan pasal tersebut. Pascaputusan MK itu, perangkat hukum pilkada (semakin) memberikan kontribusi yang besar kepada incumbent dibandingkan dengan bakal calon yang bukan incumbent dan para pejabat negara lainnya.

Besarnya peluang incumbent tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah yang sedang menjabat, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung adalah dalam bentuk popularitas. Keuntungan tidak langsung diperoleh dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah masyarakat hingga meresmikan projek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampanye.

Sebelum Putusan MK keluar, debat soal incumbent pernah memasuki arena hukum. Pada 21 November 2006, melalui Putusan Nomor 41/P/HUM/2006, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materiil atas Pasal 40 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Awalnya, Pasal 40 ayat 1 itu berbunyi ”Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang dicalonkan parpol atau gabungan parpol menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah di daerah lain wajib mengundurkan diri dari jabatannya ketika mulai mendaftar”.

MA memandang adanya klausul di daerah lain dalam pasal tersebut cenderung bersifat diskriminatif. Kewajiban mengundurkan diri dari jabatannya hanya berlaku apabila calon incumbent bersangkutan menjadi calon di daerah lain atau di luar daerah yang dipimpinnya. Bila mencalonkan di daerahnya atau daerah di mana calon incumbent itu masih aktif menjabat, kewajiban itu tidak berlaku.

Imbas lain dengan keluarnya putusan MA itu, pemerintah merevisi PP Nomor 6 Tahun 2005 dengan mengeluarkan PP baru. Pemerintah menerbitkan PP Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 6 Tahun 2005, yang berlaku 18 April 2007. Pasal 40 ayat 1 dan 2 PP Nomor 25 Tahun 2007 menyatakan, Kepala Daerah harus cuti di luar tanggungan negara saat kampanye. PP tersebut kembali memberikan ruang gerak yang amat luas bagi incumbent untuk berkompetisi dalam pilkada yang kemudian dikuatkan dengan putusan MK tersebut.

Menghadapi agenda Pemilukada 2011, prinsip political equality (persamaan kesempatan untuk berkompetisi) akan terwujud dalam setiap tahapan pemilukada dengan terobosan berikut:

Pertama, panitia pengawas (panwas) semestinya sudah bekerja sejak KPUD menetapkan calon kepala daerah. Praktiknya, panwas baru bekerja pada tahap kampanye semata sehingga, amat sulit mendeteksi pelanggaran oleh incumbent.

Kedua, harus ada aturan KPUD yang membatasi ruang gerak incumbent dalam penggunaan fasilitas negara. Ketiga, penting bagi Presiden Yudhoyono mengeluarkan regulasi pascaputusan MK yang mengharuskan incumbent untuk mempercepat penyampaian laporan pertanggungjawabannya dan memberikan tafsiran yang jelas atas makna ”cuti sementara”. Regulasi amat mendesak karena menyangkut hak dan kewajiban serta fasilitas dan kekuasaan lain yang dimiliki sang incumbent yang berpotensi menodai pesta demokrasi.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified