Minggu, 20 Maret 2011

Ruralisasi Politik: Strategi Parpol yang Terlupakan

Menjelang Pemilu 2011, partai-partai politik seperti membuka bazar untuk menawarkan barang terbaru mereka. Segala strategi pemasaran pun mereka lakukan dengan berbagai cara, mulai dari menggaet artis terkenal sampai partisipasi di PILKADA yang lama kelamaan terkesan seperti proyek yang bisa mendatangkan "berkah". Entah kenapa, saya melihat demokrasi di Indonesia dengan berbagai proses yang seharusnya dilalui dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat dan membangun peradaban bangsa justru malah membuat demokrasi bangsa ini semakin lama terseret ke arah "Politik Selebrasi". Saya tidak akan berdebat dengan pengantar yang saya sampaikan di atas. Saya hanya mencoba melihat satu sisi gerakan politik yang dapat dilakukan parpol sebagai bagian dari politik yang adiluhung.
Kalau kita berkaca dengan sejarah perpolitikan bangsa ini di tahun 50’an, maka kita akan melihat satu fenomena menarik yang berkembang saat itu. Di tahun 50’an, hampir semua partai politik melakukan perubahan strategi pembinaan basis massa dari masyarakat perkotaan ke masyarakat pedesaan. Perubahan strategi yang dilakukan pada awal dasawarsa 1950-an itu dikenal dengan sebutan “Ruralisasi Politik”. Fenomena ruralisasi politik dapat dilihat dengan berbagai langkah partai politik saat itu dalam membangun  jaringan organisasi dari tingkat pusat ke tingkat provinsi, kemudian ke tingkat kabupaten, dan seterusnya hingga ke tingkat RT. Berbagai langkah parpol dalam meraih dukungan masyarakat pedesaaan juga dilakukan dengan cara menarik massa petani dengan propaganda dan kegiatan yang mereka lakukan. Bahkan, setiap parpol saat itu memiliki organisasi underbow khusus petani antara lain Sarekat Tani Islam Indonesia (STTI) yang dibuat Masyumi atau Pertanu-NU dan RTI (selanjutnya melebur menjadi BTI) yang dibuat oleh PKI. Model gerakan yang mereka lakukan satu sama lain memang memiliki beberaopa perbedaan. Contohnya NU yang berbasis sosial keagamaan lebih menjalin hubungan vertikal dengan masyarakat pedesaaan yang disebut Wertheim sebagai “pilarisasi”. Sementara itu, kenyataan di lapangan juga memperlihatkan hubungan primordial yang memberi jarak antara petani kaya dan bangsawan dengan petani miskin dan orang biasa yang disebut oleh Rex Mortimer sebagai gejala “polarisasi”. Gerakan yang dilakukan partai-partai politik di masa itu dapat dikatakan cukup membangun kultur politik yang sehat walaupun dengan banyak catatan buruk. Hal itu dapat dilihat dengan strategi advokasi yang dilakukan partai politik ketika melihat kasus kepemilikan tanah maupun kesejahteraan petani. Hal lain yang dapat dilihat misalnya melalui kursus-kursus maupun pembinaan massa yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat, dan sebagainya.
        Perpolitikan Indonesia dewasa ini memang terkesan memperlihatkan kemajuan, terutama secara institusi formal dan hubungan struktural yang dikembangkan. Namun, proses politik yang lebih menyentuh ke bawah tampaknya belum mendapatkan perhatian yang cukup. Kalau kita melihat praktek ruralisasi politik yang dilakukan parpol di era reformasi, kita akan melihat hal itu hanya sebagai simbol belaka. Contohnya antara lain kampanye Wong Cilik nya Mba Mega. Atau tradisi pesantren yang masih dipakai oleh Gus Dur. Kita juga dapat melihat fenomena baru PKS yang “terbuka” dan mengakui pluralitas budaya. Dalam konteks yang lain, kita juga dapat melihat persepektif yang bertolak belakang dengan ruralisasi politik. Misal, pembentukan Baitul Muslimin Indonesia nya PDIP dan gagasan Green Party ala PKB. Atau “Partai Terbuka” dan mengakui “Pluralitas Budaya” yang dilakukan PKS, dan sebagainya. Hal terakhir yang saya maksud ini dapat dimaknai sebagai langkah tepat maupun langkah keliru dalam berpolitik. Langkah tepat yang dimaksud dapat diartikan sebagai upaya partai untuk melepas jerat ideologis maupun “warna baju” yang mereka pakai. Hal tersebut juga memberikan ruang politik yang lebih terbuka untuk mereka. Namun, bila kita kembali dengan tujuan ruralisasi politik, apakah target itu tercapai? Secara jujur, kita pasti berani mengatakan tidak. Bagaimana kita berani menjawab hal itu tercapai ketika proses politik yang ada masih bermuara ke pusat dengan sifat dan gaya nya yang sentralistis, monoton, dan tidak menyesuaikan kondisi masyarakat. Masyarakat pedesaan tidak membutuhkan marketisasi politik yang hebat untuk menerangkan dan menjelaskan kepada mereka tentang politik. Secara politik, masyarakat pedesaan lebih membutuhkan jaminan terhadap kehidupan keseharian mereka dengan advokasi dari partai politik atau kecerdasan pemahaman secara politik yang digunakan untuk memberikan jaminan kesejahteraan kehidupan mereka. Kita memang melihat kemajuan berpolitik secara simbolik yang dilakukan masyarakat seperti demonstrasi, protes terhadap kebijakan penguasa, dan segala bentuk kontrol sosial yang mereka lakukan. Tetapi, kita masih harus menguji praktek politik adiluhung untuk kesejahteraan masyarakat pedesaan yang justru terbengkalai.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Selasa, 15 Maret 2011

20 Perusahaan Siap Mengeruk Nikel di Bumi BABASAL

Sumber data; (Mecusuar, 22/10) oleh Yayasan Merah Putih (YMP)

Banggai- Kabupaten Banggai ternyata memiliki sunber daya alam (SDA) yang melimpah.  Tidak hanya minyak dan gas (migas), kayu ataupun kelapa sawit yang menjadi primadonanya, namun kabupaten paling ujung timur Sulawesi Tengah ini juga memiliki potensi nikel yang cukup besar, sehingga membuat para investor menanamkan modalnya di daerah ini.

Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Banggai,  hingga September 2007 lalu tercatat sekitar 20 perusahaan yang dinyatakan siap mengeruk potensi tambang nikel di perut bumi Kabupaten Banggai.  Hal itu dimungkinkan menyusul telah keluarnya izin pertambangan dari pemerintah setempat, baik dalam tahap explorasi maupun exploitasi dengan total luasan areal 129.332 Hektare.

Dari 20 Perusahaan itu, tiga diantaranya sudah dalam tahap exploitasi, sedang 17 diantaranya baru mengantongi izin explorasi.  Ketiga perusahaan yang telah melakukan exploitasi masing-masing PT. Aneka Nusantara International (PT. ANI) yang beroperasi di Desa Hion dan Koninis di Kecamatan Bunta dengan luas areal 1.500 hektare, PT Billy Indonesia (PT. BI) di Desa Koninis, Hion dan Gonohop luas 2.738 hektare serta PT. Anugerah Tompira (PT.AT) di Kecamatan Masama dengan luas areal 199 hektare.

Untuk 17 perusahaan yang baru mengantongi izin explorasi diantaranya PT. Mustika Prima Alam (PT.MPA) di Desa Batu Hitam Kecamatan Nuhon luasan 7.955 hektare, PT. Sino Berseba Sulawesi (PT.SBS) di Kecamatan Toili Barat dengan luas 6.180 hektare, PT. Rehobot Prata Internusa (PT.RPI) dengan luas areal 5.283 hektare yang juga di Kecamatan Toili Barat.

Di Kecamatan Nuhon juga bakal beroperasi PT.Mineral Industri Asia (PT.MIA) dengan mengkapling areal seluas 3.050 hektare, di Kecamatan Pagimana PT. Mineral Asia Semesta (PT.MAS) dengan luas 7.782. hektare yang juga satu grup dengan PT.Cipta Utama Semesta (PT.CUS) yang nantinya beroperasi di Kecamatan Pagimana dan Bunta, luasnya sekitar 7.980 hektare.


Masih berdasarkan data dari Dinas tersebut, pemegang izin pertambangan terbesar yang dikeluarkan kepala daerah setempat yakni dikantongi HENDRIK yang juga investor pembangunan Luwuk Shoping Mall (LSM) dengan kaplingan areal seluas 50.000 hektare, investor yang satu ini memiliki sedikitnya 10 izin kuasa pertambangan, meliputi PT. Gemilang Mandiri Perkasa (PT.GMP) 8.000 hektare di Kecamatan Bunta dan Nuhon, PT Anugerah Sumber Bumi (PT.ASB) juga 8.000 hektare di Kecamatan Bualemo dan PT. Bumi Gemilang Perdana (PT.BGP) di Kecamatan Toili Barat dengan luas areal 8.000 hektare.

Berikut PT Sinar Makmur Cemerlang (PT.SMC) di Kecamatan Balantak seluas 8.000 hektare, PT BGP di Kecamatan Balantak luas 8.000 hektare, PT SMC di Kecamatan Batui dan Toili juga dengan luas 8.000 hektar serta PT.ASB di Kecanatan Toili Barat dengan luas 8.000 hektar, selanjutnya PT. Bangun Bumi Makmur (PT BBM) seluas 7.700 hektar di Kecamatan Balantak, PT.Gemilang Industri Perkasa (PT GIP) seluas  8.00 hektar di Kecamatan Toili Barat dan PT. Bumi Makmur Raya (PT.BMR) berlokasi di Bualemo seluas 7.000 hektar.

SEGERA BENTUK BARISAN PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN BANGGAI.





Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Minggu, 13 Maret 2011

PEMILU : FIGUR ATAU TOKOH

 Oleh : Herman Tope
( puapbanggai@gmail.com )


Pemilihan Umum Kepala Daerah (PILKADA) dan PILGUB sebentar lagi akan dilaksanakan di BUMI BABASAL . Eufhoria hajatan demokrasi yang dilaksanakan lima tahun sekali ini pun sudah jauh-jauh hari muncul di tengah masyarakat. Berbagai bentuk, warna dan ukuran stiker, spanduk, dan baliho partai politik dan nama calon serta slogan visi misi partai atau calon sudah memenuhi jalan, jembatan, warung, tempat-tempat umum, rumah penduduk, batang-batang pohon, tidak hanya di perkotaan saja tetapi sampai ke daerah-daerah terpencil sekalipun. Hal ini bisa jadi menggambarkan besarnya antusiasme masyarakat dalam menyambut momen yang berlabel pemilihan umum atau yang lazim disingkat Pemilu tersebut.
Pertanyaannya adalah, apakah bertebarannya partai politik dan segala sesuatu yang menyertainya justru tidak akan menjadi sebuah potensi ke arah konflik yang sarat dengan nuansa diferensiasi misi yang akan berujung pada lahirnya konflik?Sebab, jika memang yang terjadi adalah sebuah bentuk tingginya kesadaran berdemokrasi, rasanya ini bisa dipahami sebagai sebuah ajang yang sangat positif, tetapi manakala yang terjadi karena adanya peluang yang menjanjikan di balik itu, maka ini patut untuk diwaspadaisebagai suatu gejala kegagalan yang pada ujungnya kerap hanya akan menghasilkan Pemilu yang panas, berdarah-darah dan kembali tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa.
Bagaimanapun, semakin suburnya demokrasi sebuah masyarakat akan menjadi indikasi bahwa suatu komunitas semakin dewasa dan ilmiah. Namun permasalahan yang mendasarnya adalah, sudahkah masyarakat menyadari bahwa di balik berbagai perbedaan kepentingan itu tersimpan satu makna dan satu esensi bahwa semuanya mengarah pada kebaikan dan kesejahteraan. Jika kesadaran itu telah ada dalam diri masyarakat, maka fenomena demam parpol seperti sekarang ini patut mendapatkan sambutan hangat, tetapi manakala indikasi ke arah konflik semakin membentuk piramida terbalik, maka masyarakat harus segera mengatur jarak secara profesional. Tentu saja kita setuju dan menunggu pernyataan pertama.
Pun, salah satu yang tidak bisa dipisahkan dari bagian kekritisan masyarakat adalah kecerdasan untuk menentukan pilihan. Masyarakat kerap berhadapan dengan kebingungan dalam menentukan pilihan. Ada banyak faktor yang mendukung adanya dilema ini. Pertama, partai politik yang bersangkutan. Ideologi dan sosok tokoh yang ada di balik partai tersebut kerap sangat menentukan besaran suara partai di suatu daerah. Kedua, visi dan misi serta program yang diusung partai. Dan ketiga, adalah Calon Legeslatif yang diusung partai politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pemilu, primordialisme masih mampu mempengaruhi perolehan suara calon dan partai politiknya.
Perubahan sistem pemilihan dari sistem coblos partai menjadi sistem pilih langsung mau tidak mau membuat para calon harus berpikir ulang tentang strategi yang mungkin diterapkan dalam menarik massa. Dengan sistem pemilihan secara langsung, praktis wilayah sebaran suara akan meluas dan terjadi perubahan strategi bagi para calon. Itu sama saja artinya, calon yang berlaga dihadapkan pada tingkat kesulitan yang tidak bisa dipandang sederhana. Misalnya pada wilayah kampanye, calon harus ekstra untuk “menjual diri” di hadapan banyak elemen masyarakat. Tidak bisa tidak, “menjual diri” dalam setiap suksesi pemilihan merupakan pilihan yang sangat rasional dalam proses politik. Walau “menjual diri” dipandang kurang sedap, namun dalam perspektif politik, kampanye dengan segala bentuknya adalah jalan yang paling berpengaruh dalam setiap perhelatan yang berlabel Pemilu.
Pada sisi lain, secara finansial, dana yang dibutuhkan jauh lebih besar karena masyarakat yang lebih banyak dengan varian pilihan yang sangat beragam. Pada level ini, kekuatan uang kerap akan sangat menentukan terciptanya keberhasilan promosi seorang calon. Namun, di samping itu juga, para calon juga mulai berhadapan dengan tingkat rasionalitas masyarakat yang sudah cukup cerdas dalam menentukan preferensi politik. Banyak bukti yang sudah menunjukkan bahwa menyuap barang dan uang tidak akan menjamin masyarakat pada suatu komunitas tertentu akan secara praktis menjatuhkan suaranya pada saat prosesi pemilihan berlangsung. Sederhananya, calon harus bekerja dengan keras untuk dapat memenangkan suksesi.
Tibalah kita pada giliran pertanyaan yang paling rumit: Bagaimana menentukan preferensi politik secara objektif dan “menguntungkan” masyarakat? Nyatanya, masyarakat kerap dihadapkan pada pilihan: antara pragmatisme atau idealisme. Pragmatisme berkaitan dengan motivasi kepentingan pribadi yang kerap bermain dalam setiap penentuan suara, sementara idealitas dihadapkan pada keinginan masyarakat untuk tetap memilih sesuai dengan hati nurani.
Pertanyaannya mengerucut lagi: memilih figur atau tokoh? Dua-duanya sebenarnya dapat dipilih, namun kiranya ada perbedaan substansial antara figur atau tokoh. Sebutan tokoh tidak terlepas dari simbol yang ada dalam penyebutan tersebut. Figur lebih erat kaitannya dengan icon saja. Ada faktor eksternal yang lebih dominan, misalnya faktor asal-usul keluarga, kekayaan, dan atau faktor yang sama sekali tidak berkaitan dengan kemampuan dan kualitas. Pada kenyataannya, figur terbukti mampu untuk mendongkrak perolehan suara dan parpol biasanya tidak akan sungkan-sungkan untuk menggunakan figur sebagai “mesin” untuk memperoleh suara dari masyarakat. Dalam beberapa kasus, penggunaan figur turunan raja, kepopuleran, kepangkatan/jabatan ayah atau ibu, dan sebagainya kerap digunakan dalam kampanye. Maka tidak mengherankan jika dalam berbegai bentuk alat peraga kampanye, banyak calon yang menyertakan dengan tegas dan jelas asal-usul, gelar dan kedudukan orang tua atau sosok lain dalam garis keturunannya yang tentu saja mempunyai “nilai jual”.
Sementara itu, tokoh atau ketokohan pada umumnya tidak terlepas dari faktor internal yang bersangkutan. Ketokohan umumnya tercipta karena yang bersangkutan mampu menciptakan berbagai kualitas dirinya sehingga lahirlah sebutan tokoh pada dirinya. Sebutan tokoh muncul pada umumnya karena dedikasi, loyalitas, dan kualitas dari dalam diri yang bersangkutan, bukan karena faktor eksternal. Dalam dirinya melekat pencitraan yang dilatarbelakangi karena pengembangan kemampuan dirinya.
Pada umumnya, para pemilih kerap terjebak dalam preferensi politik figur karena faktor luar tersebut. Dilihat dari sisi rakyat, tentulah terpilihnya tokoh akan memungkinkan yang bersangkutan “berbicara” lebih banyak untuk kepentingan masyarakat. Sementara preferensi politik yang jatuh pada figur akan hanya akan (kembali) membawa implikasi stagnasi karena pada umumnya figur hanya menjadi simbol saja yang pada kenyataannya kerap tidak bisa melakukan apa-apa.
Kaitannya dengan Pemilu 06 April 2011 mendatang, menurut hemat saya, maka pilihan pada tokoh, dengan mempertimbangan berbagai aspek yang ada pada dirinya akan lebih baik dan lebih bisa diandalkan ketimbang memilih figur yang hanya “mengekor” pada kekuatan di luar dirinya. Jadi, mana yang lebih baik: figur atau tokoh? maka jawabannya adalah tokoh. Siapa bakal calon yang layak untuk disebut tokoh? Jawabannya kembali pada hati nurani dan tentu masyarakat sudah bisa memilih dan memilahnya. So, kita tunggu tanggal mainnya! ok

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified