Minggu, 17 Oktober 2010

Penggantian SBY-Budiono Tidak Perlu Konstitusional

 (Bedah Eko-Pol)
Ketika bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan Indonesia dengan jalan revolusioner, maka pihak kolonial berusaha membatalkannya dengan menggunakan alasan-alasan konstitusional. “Merdekanya Indonesia,” kata Bung Karno, “bukan karena syarat-syarat konstitusional, melainkan karena adanya situasi revolusioner dan kekuatan manusia yang dapat mewujudkannya.”
Seakan “mengingkari” apa yang sudah dikatakan Bung Karno di atas, para politisi Indonesia yang berasal dari partai berkuasa, tiba-tiba menyodorkan syarat-syarat konstitusional terkait isu penggulingan SBY-Budiono. “Niat penggulingan terhadap SBY adalah tidak konstitusional,” demikian dikatakan sebagaian besar negarawan yang baru mengeja politik itu.
Seperti dikatakan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, bahwa kalangan yang berpikir untuk menggulingkan pemerintahan di tengah jalan merupakan kelompok yang sesat pikir demokrasi atau tidak konstitusional. Lebih lanjut, Anas menambahkan, bahwa kelompok yang mengambil jalan di luar konstitusi itu sebaiknya tidak diikuti karena akan menimbulkan destruksi terhadap demokrasi.
Pendapat serupa dilontarkan oleh deretan elit politik dan pimpinan partai dari jajaran kekuasaan, yang pada intinya menganggap “tidak ada jalan” penggulingan dalam konstitusi Indonesia saat ini.
Tidak Bercermin
Politisi-politisi Indonesia ini tidak pernah menggunakan cermin politik untuk melihat dirinya, sehingga lupa akan “keburukan-keburukannya” di hadapan masyarakat luas. Karena perilaku malas bercermin itulah, maka sebagian besar wacana kritis dari luar kekuasaan selalu dianggap pesan negatif yang harus di buang jauh-jauh.
Wacana penggulingan tidak jatuh dari langit, tidak pula karena bisikan dewa-dewa, apalagi karena mengigau di siang hari. Wacana penggulingan memiliki basis material yang nyata, sebuah keadaan yang melahirkan marah, ketidakpuasan, protes, dan perlawanan.
Pertemuan tokoh dan aktivis di Muhammadiyah, umpamanya, yang diklaim istana sebagai motor penggerak isu penggulingan, seharusnya dianggap refleksi kritis berbagai elemen bangsa atas keterpurukan saat ini.
Jika melihat prestasi pemerintah selama setahun ini, maka kita akan sulit sekali menemukan “secuil” pun kemajuan. Sebaliknya, keterpurukan dan bayang-bayang kehancuran merintangi masa depan bangsa ini.
Di bidang perekonomian, kita menemukan kenyataan-kenyataan seperti semakin banyak perekonomian nasional yang ditaklukkan asing, de-industrialisasi, utang luar negeri yang sangat besar, dan hancurnya pasar di dalam negeri.
Untuk hukum dan politik, pemerintahan SBY banyak dikritik soal pemberantasan korupsi, yang sekarang ini seperti diberikan perlakuan khusus (remisi, perlakuan khusus untuk koruptor di penjara, dsb). SBY juga dikritik lantaran tidak bisa menjaga kedaulatan nasional di hadapan bangsa-bangsa lain.
Sementara dalam urusan budaya, pemerintahan SBY tidak juga punya prestasi yang dibanggakan, malahan patut dituduh sebagai perusak jiwa dan mental bangsa Indonesia. Ada banyak kasus untuk membuktikan hal ini, seperti merebaknya kekerasan, penindasan terhadap golongan minoritas, gangguan terhadap kebebasan berkeyakinan, dan lain sebagainya.
Seharusnya, jika pemerintahan SBY punya kepekaan politik, ketimbang meronta-ronta dan menjerit-jerit, sebaiknya menggunakan sisa waktu yang ada untuk memperbaiki kebijakan ekonomi dan politik, termasuk memutar haluan ekonomi dan politik jikalau memang dirasa sudah melenceng atau gagal.
Meluasnya ketidakpuasan
Hasil temuan berbagai lembaga survey mengenai pupularitas SBY yang menurun, masih merupakan potret di atas permukaan. Jauh dari temuan lembaga survey, ketidakpuasan rakyat justru tercermin dari meningkatkan ketegangan sosial di kalangan masyarakat sendiri, seperti kekerasan, kerusuhan, main hakim sendiri, dan lain-lain.
Ketidakpuasan ini bukan saja dipicu oleh kegagalan ekonomi, tetapi juga rasa ketidakadilan dalam penegakan hukum dan sistim politik yang semakin menyingkirkan mayoritas rakyat. Adalah bahaya besar ketika rakyat sudah tidak mempercayai lagi pemerintah dan aparatusnya.
Sayangnya, banyak bentuk ketidakpuasan ini justru dikelola oleh kelompok reaksioner, yang di belakangnya pemerintah juga, untuk mencegah ketidakpuasan itu berubah menjadi serangan vertical terhadap kekuasaan.
Kehendak rakyat
Para politisi Indonesia itu lupa, bahwa pemegang kekuasaan sepenuhnya di republik ini adalah rakyat, sedangkan SBY hanya pemegang mandat yang dapat diganti kapan saja jika rakyat menghendaki.
Ada yang mengatakan, SBY adalah presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung dan jumlah dukunganya melebihi 60%, sehingga tidak bisa dijatuhkan selain dengan jalan konstitusional pula.
Namun, perolehan suara itu tidak berlaku mutlak, sebab dukungan setiap orang tidak juga berlaku mutlak. Seseorang bisa menggeser dukungan atau menjadi oposisi tatkala bertemu dengan situasi “ketidakpuasan umum”. Seorang pendukung SBY saat pemilu bisa berubah menjadi penentang di masa sekarang. Itulah hukum perimbangan kekuatan.
Dalam pengertian itu, bahwa rakyat berhak menggunakan jalan apa saja untuk memanifestasikan kekuasaannya, termasuk jalan penggulingan kekuasaan, tatkala rejim berkuasa tidak menghargai mandat rakyat. Sebab, sejarah telah mengajarkan pula dengan berulang-ulang, bahwa hanya sedikit penguasa yang mau meletakkan kekuasaan secara damai atas desakan rakyat.
Sekarang, kita kembali kepada pertanyaan, sejauh mana dukungan mayoritas rakyat terhadap rencana penggulingan ini. Sebab, tanpa dukungan mayoritas rakyat sebagai pemilik sah kekuasaan, rencana penggulingan hanya akan menjadi maneuver elit atau semacam revolusi dalam istana.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Protap Tembak Di tempat, Polri Perlakukan Indonesia Di Bawah Darurat Militer

JAKARTA: Kepolisian RI telah mengeluarkan Prosedur Tetap (Protap) tentang penanggulangan keadaan anarki yang, salah satunya, mengatur soal tembak di tempat bagi pelaku anarki. Pihak kepolisian berdalih, penggunaan “tembak di tempat” ini untuk mengantisipasi tindak anarkisme massa saat terjadi aksi massa. Namun polri menegaskan pihaknya punya prosedur yang jelas mengenai “tembak di tempat” ini.
“Apabila terjadi ancaman yang mungkin menyebabkan kematian dalam waktu sangat dekat limit,” kata Wakadiv Humas Polri Brigjen Pol Ketut Untung Yoga Ana saat memberi penjelasan kepada wartawan di Jakarta (12/10).
Selain itu, kategori penggunaan protap ini adalah ketika dia berusaha mencegah kejadian itu menjadi serius, mencegah pelaku melarikan diri, tindakan ekstrim atau tindaka tegas tidak mempan.
Dia menambahkan, peluru akan diarahkan kepada bagian tubuh dengan tidak mematikan, melainkan sekedar untuk melumpuhkan.
“Diarahkan ke bagian tubuh tidak mematikan atau istilahnya itu melumpuhkan,” tegasnya.
Seolah Indonesia Di Bawah Darurat Militer
Pemunculan Protap baru kepolisian bertepatan dengan munculnya isu penggulingan terhadap SBY oleh sebagian kelompok oposisi dan gerakan pro-demokrasi.
Ketua umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Agus Jabo menganggap penggunaan “tembak di tempat” menempatkan seolah-olah Indonesia di bawah situasi darurat militer.
“Ini sangat bertentangan dengan situasi demokrasi. Penggunaan tembak di tempat itu biasaya dipergunakan dalam situasi darurat militer, ataupun ketika terjadi kerusuhan yang tidak terkendali,” katanya kepada Berdikari Online, di Jakarta (13/10).
Karena kemunculan protap baru ini berbarengan dengan isu penggulingan SBY oleh sekelompok oposisi, Agus Jabo mensinyalir penggunaan “protap” baru ini sangat melekat pada kepentingan rejim berkuasa untuk menindas oposisi.
“Polisi bertindak terlalu berlebihan untuk mengamankan kekuasaan SBY,” tegasnya.
Agus Jabo menegaskan bahwa Polri seharusnya tunduk kepada negara, bukan kepada pemerintahan tertentu. “Tidak semua pemerintahan itu membela kepentingan negara. Ada rejim yang justru menindas kepentingan nasional,” ungkapnya.
Dia menambahkan, sebelum ini polri sudah dikecam karena berbagai perilaku kekerasan dan kesewenang-wenangan, protap baru ini malah menempatkan polri sebagai institusi kekerasan berstatus resmi.
“Ini tidak sesuai dengan slogan polisi masyarakat. pada kenyataannya, polisi semakin terpisah dan anti terhadap masyarakat, sehingga menolak jalan persuasif,” imbuhnya.
Dalam catatan kami, polisi telah masih mengutamakan penggunaan kekerasan terhadap demonstrasi dan aksi protes rakyat, diantaranya, kasus kerusuhan di Buol (Sulteng), penangkapan puluhan aktivis di Bau-Bau (Sultra), penembakan petani di Kuantan Singingi (riau), penembakan aktivis LMND di Garut (jabar), dan masih banyak lagi.!!!!

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Kapitalisme Bangsa Sendiri ?

 Oleh : Ir. Soekarno

Dalam suatu rapat umum saya pernah berkata, bahwa kita bukan saja harus menentang kapitalisme asing, tetapi harus juga menentang kapitalisme bangsa sendiri. Hal ini telah mendapat pembicaraan di dalam pers, dan saya pun mendapat beberapa surat yang minta hal ini diterangkan sekali lagi dengan singkat.
Dengan segala senang hati saya memenuhi permintaan-permintaan itu. Sebab soal ini adalah soal yang mengenai beginsel. Beginsel, yang harus dan musti kita perhatikan, jikalau kita mengabdi kepada rakyat dengan sebenar-benarnya, dan ingin membawa rakyat ke arah keselamatannya.
Supaya buat pembaca soal ini menjadi terang, dan supaya pembicaraan kita bisa tajam garis-garisnya, maka perlulah lebih dulu kita menjawab pertanyaan:
Apakah kapitalisme itu?
Kapitalisme adalah stelsel pergaulan hidup, yang timbul daripada cara produksi yang memisakan kaum buruh dari alat-alat produksi. (Soekarno)
Didalam saya punya buku pembelaan saya pernah menjawab: kapitalisme adalah stelsel pergaulan hidup, yang timbul daripada cara produksi yang memisakan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme adalah timbul dari ini cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya meerwaarde tidak jatuh di dalam tangannya kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangannya kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, adalah menyebabkan kapitaalaccumulatie, kapitaal-concentratie, kapitaalcentralisatie, dan industrieel reserve armee. Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung, yakni menyebarkan kesengsaraan.
Itulah kapitalisme!—yang prakteknya bisa kita lihat di seluruh dunia. Itulah kapitalisme, yang ternyata menyebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran, balapan-tariff, peperangan, dan kematian,–pendek kata menyebabkan rusaknya susunan-dunia yang sekarang ini. Itulah kapitalisme yang melahirkan modern-imperialisme, yang membikin kita dan hampir seluruh bangasa berwarna menjadi rakyat celaka!
Siapa di dalam beginsel tidak anti kepada stelsel yang demikian itu, adalah menutup mata buat kejahatan-kejahatan kapitalisme yang sudah senyata-nyatanya itu. Tiap-tiap orang, yang mempunyai beginsel yang logis, haruslah anti kepada stelsel itu. Sebab, –sekali lagi saya katakan–, stelsel itu ternyata dan terbukti stelsel yang mencelakakan dunia.
“Ya,” orang menyahut. “tetapi kapitalisme bangsa sendiri?” kapitalisme bangsa sendiri yang bisa kita pakai untuk memerangi imperialisme? Apakah kita harus juga anti kapitalisme bangsa sendiri itu, dan menjalankan perjuangan kelas alias klassentrijd?”
Dengan tertentu disini saya menjawab: ya, kita juga harus anti kepada kapitalisme bangsa sendiri itu! Kita juga harus anti isme yang ikut menyengsarakan marhaen itu. Siapa mengetahui keadaan kaum buruh di industri batik, rokok-kretet, dan lain-lain dari bangsa sendiri, dimana saya sering melihat upah-buruh yang kadang-kadang hanya 10 a’ 12 sen sehari,–siapa mengetahui keadaan perburuhan yang sangat buruk di industri-industri bangsa sendiri itu—-, ia mustilah menggoyangkan kepala dan rasa-kesedihan melihat buahnya cara produksi yang tak adil itu. Pergilah ke Mataram, pergilah ke Lawean Solo, pergilah ke Kudus, pergilah ke Tulung Agung, pergilah ke Blitar,–dan orang akan menyaksikan sendiri “rahmat-rahmatnya” cara produksi itu.
Seorang nasionalis, justru karena ia seorang nasionalis, harulah berani membukakan mata di muka keadaan-keadaan yang nyata itu. Ia harus mengabdi kepada kemanusiaan. Ia harus memperhatikan perkataan-perkataan Gandhi yang saya sajikan tempo hari: nasionalismeku adalah kemanusiaan. Ia harus sosio-nasionalis,–yakni seorang nasionalis yang mau memperbaiki masyarakat dan yang dus anti segala stelsel yang mendatangkan kesengsaraan ke dalam masyarakat itu. Ia harus seorang Jawaharlal Nehru yang berkata:
“Saya seorang nasionalis. Tapi saya juga seorang sosialis dan republiken. Saya tidak percaya kepada raja-raja dan ratu-ratu, tidak pula kepada susunan masyarakat yang melahirkan raja-raja industri yang pada hakekatnya berkuasa lebih besar lagi daripada raja-raja di jaman sediakala. Saya niscaya mengerti, bahwa congress belum bisa mengadakan program sosialistis yang selengkap-lengkapnya.  Tetapi filsafat sosialisme sudahlah dengan perlahan-lahan menyerapi segenap susunan masyarakat di seluruh dunia. India niscaya akan menjalankan cara-cara sendiri, dan mencocokkan cita-cita sosialisme itu kepada keadaan penduduk India seumumnya.”
Tetapi, apakah ini berarti, bahwa kita harus memusuhi tiap-tiap orang Indonesia yang mampu? Sama sekali tidak. Sebab pertama-tama: kita tidak memerangi “orang”,–kita memerangi stelsel. Dan tidak tiap-tiap orang yang mampu adalah menjalankan stelsel kapitalisme. Tidak tiap-tiap orang yang mampu adalah mampu karena mengeksploitasi orang lain. Tidak tiap-tiap orang mampu adalah menjalankan cara produksi sebagai yang saya terangkan dengan singkat (dengan mencitat dari pembelaan) di atas tadi. Dan tidak tiap-tiap orang mampu adalah ikut atau hidup di dalam ideologi kapitalisme, yakni di dalam akal, fikiran, budi-pekerti kapitalisme. Pendek kata, tidak tiap-tiap orang mampu adalah jenderal atau sersan atau serdadu kapitalisme!
Dan apakah prinsip kita itu berarti, bahwa kita ini harus mementingkan perjuangan kelas? Juga sama sekali tidak. Kita nasionalis, mementingkan perjuangan nasional, perjuangan kebangsaan.
Hal ini saya terangkan dalam karangan saya yang akan datang.
II
Di dalam karangan saya yang lampau saya katakan, bahwa kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita dalam perjuangan kita mengejar Indonesia-merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjuangan nasional. Memang kita, –begitulah saya tuliskan–, adalah kaum nasionalis, kaum kebangsaan, dan bukan kaum apa-apa yang lain.
Apa sebabnya kita harus mengutamakan perjuangan nasional di dalam usaha kita mengejar Indonesia merdeka? Kita mengutamakan perjuangan nasional, oleh karena keinsyafan dan perasaan nasional, adalah keinsyafan dan perasaan yang terkemuka di dalam suatu masyarakat kolonial.
Didalam sesuatu masyarakat selamanya adalah antithese, yakni perlawanan. inilah menurut dialektiknya semua keadaan. Tetapi di Eropa, di Amerika, antithese ini sifatnya adalah berlainan dengan antithese yang ada disesuatu negeri kolonial.
Pada hakekatnya, antithese dimana-mana adalah sama: perlawanan antara yang “diatas” dan yang “dibawah”, antara yang “menang” dan yang “kalah”, antara yang menindas dan yang tertindas. Tetapi di Eropa, di Amerika, dan di negeri-negeri lain yang merdeka, dua golongan yang ber-antithese itu adalah dari satu bangsa, satu kulit, satu ras. Kaum modal Amerika dengan kaum buruh Amerika, kaum modal Eropa dengan kaum buruh Eropa, kaum modal negeri merdeka dengan kaum buruh negeri merdeka, umumnya adalah dari satu darah, satu natie. Karena itulah maka disesuatu negeri yang merdeka antithese tadi tidak mengandung rasa atau keinsyafan kebangsaan, tidak mengandung rasa atau keinsyafan nasional, tetapi adalah bersifat zuivere klassenstrijd, –perjuangan klas yang melulu perjuangan klas.
Tetapi didalam negeri jajahan, didalam negeri yang dibawah imperialisme bangsa asing, maka yang “menang” dan yang “kalah”, yang “diatas” dan yang “dibawah”, yang menjalankan kapitalisme dan yang dijalani kapitalisme, adalah berlainan darah, berlainan kulit, berlainan natie , berlainan kebangsaan. Antithese didalam negeri jajahan adalah “berbarengan” dengan antithese bangsa, –samenvallen atau coїnsederen dengan antithese bangsa. Antithese didalam negeri jajahan adalah, oleh karenanya, terutama sekali bersifat antithese nasional.
Itulah sebabnya, maka perjuangan kita untuk mengejar Indonesia Merdeka, –jikalau kita ingin lekas mendapat hasil–, haruslah pertama-tama mengutamakan perjuangan nasional, yakni pertama-tama mengutamakan perjuangan nasional, kita anti segala kapitalisme, kita anti kapitalisme bangsa sendiri, –tetapi kita untuk mencapai Indonesia Merdeka, yakni untuk mengalahkan imperialisme bangsa asing, harus mengutamakan perjuangan kebangsaan.
Mengutamakan perjuangan kebangsaan, itu TIDAK berarti bahwa kita tidak harus melawan ketamakan atau kapitalisme bangsa sendiri. Sebaliknya! Kita harus mendidik Rakyat juga benci kepada kapitalisme bangsa sendiri, dan dimana ada kapitalisme bangsa sendiri, kita harus melawan kapitalisme bangsa sendiri itu juga! Tetapi MENGUTAMAKAN perjuangan nasional, –itu adalah berarti, bahwa pusarnya, titik beratnya, aksennya kita punya perjuangan haruslah terletak didalam perjuangan nasional. Pusarnya kita punya perjuangan sekarang haruslah didalam memerangi imperialisme asing itu dengan segala tenaga kita nasional, dengan segala tenaga-kebangsaan, yang hidup didalam sesuatu bangsa yang tak merdeka dan yang ingin merdeka! Pusarnya kita punya perjuangan sekarang haruslah didalam dynamisering, –yakni membangkitkan menjadi aksi dan perbuatan–, daripada rasa kebangsaan alias nationaal bewustzijn (kesadaran kebangsaan, ed.) kita, — nationaal bewustzijn yang hidup didalam hati sanubari tiap-tiap Rakyat sadar yang tak merdeka.
Jadi, siapa yang mengira, bahwa kita punya nasionalisme adalah nasionalisme yang suka “main mata” dengan borjuisme, ia adalah salah sama sekali. Kita hanyalah menjatuhkan pusar, titik berat, aksennya kita punya perjuangan didalam perjuangan nasional. Borjuisme harus kita tolak, kapitalisme harus kita lawan, –oleh karena itulah maka kita punya nasionalisme Marhaenistis. Sebab, hanya kaum Marhaen sendirilah yang menurut dialektik satu-satunya golongan yang sungguh-sungguh berantithese dengan borjuisme dan kapitalisme itu, dan yang dus bisa sungguh-sungguh menentang dan mengalahkan borjuisme dan kapitalisme itu. Hanya kaum Marhaen sendirilah yang menurut riwayat bisa menjalankan “pekerjaan-riwayat” alias “historische taak”, menghilangkan segala borjuisme dan kapitalisme di negeri kita adanya!
Memang! Marhaenistis nasionalismelah pula yang cocok dengan keadaan nyata yang didatangkan oleh imperialisme di Indonesia sini. Imperialisme Belanda, sedikit berlainan dengan imperialisme Inggris atau imperialisme Amerika, adalah lebih “memarhaenkan” masyarakat Bumiputera daripada imperialisme-imeprialisme yang lain. Imperialisme Belanda itu sejak mulanya datang di Indonesia sini, adalah berasas dan bersifat monopolistis, –merebut tiap-tiap akar perusahaan, pertukangan atau perdagangan atau pelajaran yang ada di Indoensia sini. Imperialisme Belanda itu adalah imperialisme yang lebih “kolot” daripada imperialisme-imperialisme yang lain. Tidak ada sedikitpun warna modern-liberalisme padanya, sebagaimana yang tampak pada imperialisme-imperialisme yang lain. Politiknya adalah politik menggagahi semua lat perekonomiaan di Indonesia sini, menggagahi segala “economisch leven” (kehiduoan ekonomi) di Indonesia sini.
Kini masyarakat Indonesia adalah “masyarakat kecil”, masyarakat yang hampir segala-galanya kecil. Kini masyarakat Indonesia buat sebagian yang besar sekali hanyalah mengenal pertanian kecil, pelajaran kecil, perdagangan kecil, perusahaan kecil. Kini masyarakat Indoensia adalah 90% masyarakat kekecilan itu, –masyarakat Marhaen yang hampir tiada kehidupan ekonominya sama sekali. Oleh karena itulah, maka Marhaenistis nasionalisme adalah satu-satunya nasionalisme yang cocok dengan sifatnya masyarakat Indonesia itu, cocok dengan keadaan nyata, cocok dengan realiteit di Indoensia itu. Dan oleh karena itulah pula, maka juga hanya Marhaenistis nasionalisme sajalah yang bisa menjalankan historische taak mendatangkan Indonesia-Merdeka dengan secepat-cepatnya, – historische taak yang sesuai juga dengan historische taak-nya menghilangkan segala borjuisme dan kapitalisme adanya!
Jawaharlal Nehru, didalam pidatonya dimuka National Congress yang ke 44, sebagai yang telaah kita kutip tempo hari, mengakui dengan terus terang seorang Sosialis, yang anti segala kapitalisme. Tetapi Jawaharlal Nehru itu pula adalah seorang Nasionalis, –the second uncrowned king of India, raja kedua dari India yang tak bermahkota–, yang membangkitkan segala tenaga Rakyat India yang tak bermahkota–, yang membangkitkan segala tenaga Rakyat India kedalam suatu perjuangan nasional yang mati-matian. Nasionalisme Jawaharlal Nehru adalah nasionalisme India yang Marhaenistis, suatu Sosio-Nasionalisme yang ingin menghilangkan semua kapitalisme, menyelamatkan seluruh masyarakat India.
Nasionalisme yang demikian itulah nasionalisme kita pula.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Imperialisme Dibalik Undang-Undang

Pernyataan Eva Kusuma Sundari, politisi dari PDIP dan juga mantan aktivis GMNI, bahwa adanya 76 produk  undang-undang yang draftnya disusun oleh pihak asing, mengundang polemik tersendiri. Dalam pemaparannya yang  berbasiskan informasi dari Badan Intelijen Negara (BIN) itu, Eva menyatakan ada keterlibatan tiga lembaga asing (Bank Dunia, IMF dan USAID) dalam proses penyusunan 76 undang-undang yang diajukan pihak pemerintah selama 12 tahun era reformasi. Puluhan undang-undang tersebut merupakan regulasi yang meliputi berbagai macam sektor, seperti perbankan, pendidikan, energi, kesehatan serta politik.
Beberapa undang-undang yang disinyalir merupakan pesanan pihak asing ialah UU Sumber Daya Air No.7 tahun 2004, UU Kelistrikan No.20 tahun 2002, UU Pendidikan Nasional No.20 tahun  2003, UU Migas No.22 tahun 2001, UU BUMN No.19 tahun 2003, UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007 serta UU Pemilu No.10 tahun 2008. Dan yang terpenting untuk dicatat adalah hampir semua produk undang-undang yang diback-up oleh pihak asing tersebut sangat kental bernuansa liberalisasi.
Eva juga mengungkapkan bahwa membuka pasar bebas, menghilangkan proteksi, free competitions dan membuat standarisasi yang membebani petani dan rakyat kecil adalah syarat-syarat yang diajukan Bank Dunia, IMF dan USAID dalam proses legislasi. Bila ditelaah, semua persyaratan tersebut tidak lain adalah manifestasi dari resep-resep ekonomi yang termaktub dalam Washington Consensuss atau yang populer dengan istilah neo-liberalisme. Intinya adalah penguasaan ekonomi nasional oleh aktor-aktor trans nasional seperti Multi-national Corporation serta negara-negara yang lebih superior perekonomiannya.
Instrumen Imperialisme
Bagi sebagian kalangan, hal yang diungkapkan Eva mungkin agak mengejutkan, namun tidak demikian halnya bagi mereka yang telah ‘berteriak’ sekian lama tentang kepentingan asing dibalik berbagai produk undang-undang tersebut. Undang-undang menjadi salah satu instrumen asing untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi pengerukan sebesar-besarnya kekayaan alam negeri ini. Hal tersebut telah dipersoalkan banyak pihak yang pro-kemandirian bangsa sejak lama. Bahkan intervensi asing dalam proses legislasi juga terlihat dalam proses amandemen UUD 1945, yang kemudian melahirkan “UUD 2002”. Lembaga-lembaga semacam USAID dan UNDP turut membiayai proses amandemen yang juga merubah pasal 33 UUD 1945 (yang sebenarnya berwatak sosialis) menjadi ramah pada liberalisasi. Semenjak itulah regulasi-regulasi sektor ekonomi yang bernuansa liberal makin masif diproduksi oleh pemerintah dan parlemen.
Intervensi asing melalui undang-undang juga merupakan  ‘modus’ penjajahan baru atau yang diistilahkan oleh Bung Karno sebagai imperialisme modern. Bila dalam imperialisme kuno penguasaan suatu  negara dilakukan melalui proses agresi dan invasi militer, tidak demikian halnya dalam imperialisme modern. Sang ‘ imperialis’ cukup mengintervensi kebijakan suatu negeri untuk dapat menggapai tujuannya menguasai perekonomian negeri tersebut. Dan yang paling penting adalah harus ada ‘keramahan’ dari  negara tujuan kolonialisasi dalam  menyambut “uluran tangan” sang  imperialis.
Realitasnya, penguasa negeri ini dari era Soeharto (1967) hingga kini sangat ramah melayani kepentingan asing. 76 undang-undang yang disebut Eva Sundari sebagai pesanan asing hanyalah salah satu bukti dari sekian banyak bukti keramahan para pengambil kebijakan di negeri ini kepada imperialisme. Alih-alih menjaga kekayaan alam Indonesia dari penjarahan imperialisme, para penguasa negeri malah lebih asyik berperan layaknya para komprador yang menjadi kepanjangan tangan imperialis seperti yang diidentifikasi John Perkins dalam bukunya, Economic Hit Man.
Kesimpulannya, pengungkapan Eva Sundari mengenai kepentingan asing dibalik berbagai produk undang-undang hanyalah sebuah penegasan bahwa negeri ini tengah berada dibawah dominasi imperialis dalam berbagai sektor, utamanya ekonomi. Lalu bagaimana caranya agar bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka 100% ?
Perubahan haluan ekonomi mutlak perlu dilakukan. Untuk itu, perlu suatu gerakan untuk mendekritkan kembali ke UUD 1945 yang asli sebagai titik awal menuju pada perubahan haluan ekonomi, dari haluan pro-imperialisme menuju haluan ekonomi yang pro-kemandirian bangsa. Bila UUD 2002 telah dibatalkan, maka seluruh produk perundang-undangan yang berdiri diatasnya (terutama yang berhaluan liberal) secara otomatis juga akan batal demi hukum. Hal ini penting dilakukan untuk mencegah terealisasinya “mimpi buruk” Bung Karno, bahwa bangsa ini akan menjadi nations of coolis and coolis among nations bila terus terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang disebabkan penjajahan gaya baru.
Oleh : Hiski Darmayana

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Nazi-Muslim

 Kesamaan pandangan tentang Yahudi dan persatuan global membuat Hitler dan Amin al-Husseini bekerjasama.

30 April 1941. Hitler mengirim surat balasan kepada Raja Farouk –raja kesepuluh dari Dinasti Muhammad Ali, yang menggantikan ayahnya, Fuad I, pada 1936– dari Mesir. Surat itu antara lain berisi pernyataan bahwa Hitler, “dengan senang hati akan mempertimbangkan satu kerjasama yang lebih erat,” sebagaimana dikutip John Roy Carlson dalam Cairo to Damascus. Hitler lalu meminta Farouk mengirim seorang agen rahasia resmi ke tempat “netral” untuk mendiskusikan kerjasama tersebut. Tempat yang disarankan Hitler: Bukares, Rumania, atau Ankara, Turki.

Saat itu Perang Dunia II sedang berlangsung. Serupa dengan masa-masa sebelumnya, persaingan antarideologi mendominasi. Ideologi pula yang melatarbelakangi kerjasama Hitler-Muslim.

Ada kesamaan pandangan antara Arab dan Nazi. Arab menganggap Inggris dan Prancis, yang menjadi penguasa di kawasan regional Arab pasca-Perjanjian Versailles, sebagai penjajah. Sedangkan Nazi membenci liberalisme yang diusung Inggris dan Prancis. Mayoritas Arab maupun Nazi anti-Yahudi. Keduanya juga mempunyai gagasan persatuan global. Klop.

Mohammad Amin al-Husseini menjembatani kedua pihak. Dia berasal dari klan Al-Husayni, yang terdiri dari orang-orang kaya pemilik tanah di selatan Palestina. Tak heran jika sebagin besar anggota klan itu menjadi walikota Yerussalem dan penentang Zionisme, termasuk ayah al-Husseine: Tahir al-Husseini.

Lulus dari studi di Universitas Al Azhar, Kairo, dan Sekolah Administrasi Istanbul, Turki, pada 1920 al-Husseini mulai aktif dalam gerakan kemerdekaan Palestina dari Inggris sambil menjadi jurnalis. Dia juga pernah menjadi serdadu Ottoman Turki Usmani pada Perang Dunia I.

“Sepanjang tahun-tahun perkembangan masa mudanya, dia mulai meneguhkan pandangan fundamental Pan-Arab yang memperhatikan otonomi bukan hanya untuk Palestina tapi juga Semenanjung Arab,” tulis Allan Bogle dalam “Haj Amin al-Husseini and Nazi Racial Policies in the Arab World” yang dimuat hubpages.com.

Pada 1921, al-Husseini diangkat menjadi Mufti Agung Yerusalem oleh Komisi Tinggi Inggris Sir Herbert Samuel dan setahun kemudian menjadi ketua Dewan Tertinggi Muslim bentukan Samuel. Namanya kian diperhitungkan ketika terjadi protes dan serangan terhadap otoritas Inggris dan Yahudi Palestina.

Ketertarikan al-Hussein terhadap Nazi muncul ketika Hitler mulai berkuasa di Jerman pada 1933. Tapi kontak langsungnya dengan Jerman terjalin tiga tahun kemudian. Nazi mengirim utusan Francois Genoud, yang dikenal sebagai seorang bankir Swiss di tubuh Third Reich dan anggota kehormatan pasukan elit Nazi Waffen SS, ke Palestina. Setahun kemudian Hauptschanfuehrer SS Nazi Adolf Eichmann dan asistennya Oberscherfuehrer H. Hagen mengunjunginya di Palestina. Selain berbincang mengenai Yahudi, al-Husseini resmi menjadi penyandang dana dan pembantu militer dalam merangkul sumber-sumber Arab.

“Selama perang, Genoud memberi bantuan kepada al-Husseini dan pemerintah Muslim-Nazi –yang bermarkas di Berlin– di pengasingannya dan secara finansial mendukung kampanye propaganda anti-Yahudi al-Husseini,” tulis Chuck Morse dalam The Nazi Connection to Islamic Terrorism: Adolf Hitler and Haj Amin Al-Husseini.

Puncak aktivitasnya menentang Inggris danYahudi adalah kekerasan terhadap Yahudi yang menewaskan 133 Yahudi dan 116 Arab tewas. Al-Husseini pun diusir dari Palestina. Dia pindah ke Lebanon, Irak, Italia, dan akhirnya Jerman. Di wilayah yang juga di bawah protektorat Inggris, al-Husseini melakukan kudeta atas pemerintahan pro-Inggris tapi gagal. Di Italia, dia bertemu Benito Mussolini, diktator Italia.

“Segera setelah kedatangannya di Jerman Nazi, al-Husseini dipuja di depan publik dalam satu resepsi penghormatan untuknya yang diberikan oleh Institut Islam Nazi "Islamische Zentralinstitut" dan resepsi itu dihadiri oleh eksil-eksil Muslim dan para pemimpin Muslim Eropa yang menggelari al-Husseini Fuhrer of the Arab World,” tulis Chuck Morse.

Pada 25 November 1941, al-Husseini rapat dengan Hitler, yang berjanji akan menjadikan al-Husseini Fuhrer atas seluruh dunia Arab segera setelah Nazi menyeberangi Pegunungan Kaukasus dan melebarkan Third Reich ke Timur Tengah. Hitler juga mendukung kedaulatan negara-negara Arab.

Dalam rapat itu pula keduanya sepakat: sesegera mungkin membentuk dan melatih legiun Arab-Nazi yang akan terdiri dari Muslim Eropa. Hubungan itu, menurut Gottlob Berger, kepala rekrutmen pasukan elit SS, didasarkan keterbukaan dan kejujuran. Itu menunjukkan hubungan darah dan ras Utara dan kebulatan ideologi spiritual dari Timur. Di mata Nazi, al Husseini merupakan, “figur yang setara dengan PM Negara Nazi Muslim di pembuangan,” tulis Chuck Morse.

Al-Husseini juga rapat dengan kepala SS Heinrich Himmler. Himmler menugaskan al-Husseini merekrut orang-orang Muslim ke dalam unit-unit elit militer yang bertugas di Balkan, Rusia, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Himmler yakin, perekrutan Muslim ke dalam SS akan membuat pasukan elit itu kian mantap. Himmler terinspirasi resimen-resimen Bosnia Herzegovina yang direkrut militer Astro-Hungaria dalam Perang Dunia I. Divisi Muslim ini ditempatkan langsung di bawah Nazi Wehrmacht (Angkatan Darat).

Tentara Muslim-Nazi ini terdiri dari sekira 100 ribu Muslim Eropa dan dibagi dalam beberapa divisi. Yang terbesar adalah Brigade Hanzar, yang oleh al-Husseini dianggap sebagai serdadu yang terbaik bagi Islam. Tugas Brigade ini awalnya menghancurkan sayap militer Partisan Tito yang beroperasi di timur laut Bosnia, terutama di Srem, lalu menggantikannya dengan pemerintahan lokal. Tiap batalion memiliki imam. Meski kesatuan Muslim, terdapat serdadu Kristiani dalam Briade Hanzar. Jumlahnya bahkan melebihi kuota 10 persen yang ditetapkan Himmler. Brigade Hanzar terlibat dalam berbagai palagan. Salah satunya dalam Operasi Wegweiser pada 1944 untuk menghancurkan Partisan yang mempertahankan sebagian kawasan Syrmia.

Pada Mei 1945, Jerman kalah perang. Berakhirlah persekutuan Nazi-Muslim. Al-Husseini ditangkap pasukan Prancis. Tapi nasib berpihak padanya. Dia tak diadili di Nuremberg seperti para pemimpin Nazi lainnya dengan dakwaan terlibat pembantaian orang-orang Yahudi di Eropa maupun menjadi otak perekrutan kaum Muslim dalam Tentara Hitler. Prancis maupun Inggris tak mau bikin masalah dengan kaum Muslim di wilayah jajahan mereka, sehingga membiarkan al-Husseini meloloskan diri ke Timur Tengah.

Al-Husseini memimpin kembali perjuangan orang Arab Palestina atas pembentukan negara Israel. Dia mendorong militer Mesir terlibat dalam Perang Arab-Israel pada 1948. Cap kolaborator Nazi dan tuduhan keterlibatannya dalam pembunuhan Raja Abdullah dari Yordania menurunkan pamornya. Perlahan dia tersingkir dari panggung politik. Al-Husseini kemudian mengasingkan diri ke Lebanon dan meninggal di Beirut pada 1974.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Hitam-Putih Rambut Gimbal

Rambut gimbal awalnya identik dengan spiritualitas. Ia lalu jadi simbol pemberontakan dan antikemapanan, sebelum luntur jadi sekadar tren fashion.

SELAIN musik, apa yang paling melekat dari sosok Bob Marley dan Mbah Surip? Rambut gimbal. Ya, rambut gimbal identik dengan kedua musisi reggae itu. Padahal lilitan rambut gimbal merentang jauh ke belakang.

Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan hingga saling membelit dan membentuk gimbal merupakan praktik spiritual sejak ribuan abad lalu. Ia juga dihubungkan dengan semua agama besar dan agama lokal di dunia. Konon, sosok Tuntankhamen, Firaun dari Mesir Kuno, memelihara rambut gimbal. Dewa Shiwa dalam agama Hindu juga berambut gimbal. Sikh, Yahudi ortodoks, biarawan Buddha, darwis atau sufi dalam Islam diidentifikasi dengan rambut gimbal. Kaum Nazaret di Barat serta para penganut Yogi, Gyani, dan Tapsvi di India bahkan menjadikannya sebagai salah satu dari jalan spiritual untuk membebaskan diri dari alam duniawi yang fana.

Rambut yang melilit dan mengunci dipercaya dapat menahan energi tubuh yang keluar melalui ubun-ubun kepala dan rambut. Ingat kisah Samson si perkasa? Kekuatannya seketika menghilang ketika Delillah memotong tujuh helai rambutnya –jangan bandingkan dengan Samson ala Benyamin Sueb. Di Indonesia, di kawasan dataran tinggi Dieng, anak-anak yang terlahir dengan rambut gimbal dipercaya sebagai karunia atau anugerah dari para dewa. Ketika beranjak remaja, rambut gimbal mereka dipotong lewat upacara adat. Rambut mereka selanjutnya disucikan dengan air dari sumur Maerokoco di kompleks Candi Dieng, yang dipercaya akan mengembalikan rambut gimbal kepada pemiliknya, Nyai Ratu Kidul (penguasa Laut Selatan).

Rambut gimbal menjadi simbol politis ketika pada 1914 Marcus Garvey, yang kelak jadi pahlawan nasional pertama Jamaika, mendirikan The Universal Negro Improvement Association (UNIA). Dia mempelopori gagasan kebanggaan kulit hitam dan memperjuangkan gerakan “Back-to-Africa”. Dia juga memperkenalkan gerakan religius dan penyadaran identitas kulit hitam yang mengadopsi aspek spritualitas dalam Alkitab tapi menganggap Ras Tafari Makonnen –Kaisar Haile Selassie, raja dari Ethiopia pada 1930– sebagai mesiah. Dari sinilah kelak gerakan ini lebih dikenal dengan Rastafaria. Mereka menyebut diri sebagai kaum “dread” untuk menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Gerakan inilah yang mempopulerkan istilah dreadlocks untuk tatanan rambut gimbal.

Pola hidup vegetarian dan membiarkan rambut tumbuh secara alami, tanpa dipotong, disisir atau ditata merupakan manifestasi dari keyakinan dalam menjalani kehidupan sealami mungkin. Gagasan alami itu juga terkait dengan penolakan terhadap definisi keindahan ala masyarakat kulit putih bahwa rambut gimbal kotor, berantakan, najis. Rambut gimbal pun tak hanya cara melihat keindahan melalui mata kulit hitam, tapi tentang menjadi lelaki atau perempuan Afrika yang penuh kebanggaan.

Rambut gimbal menjadi ekspresi pemberontakan atau reaksi terhadap masyarakat kolonial di Jamaika ketika pada 1930-an Jamaika dilanda gejolak sosial dan politik. Pengikut Rastafaria yang tak puas dengan pemerintah melakukan perlawanan simbolik dengan tinggal di dalam tenda-tenda dan memelihara rambut gimbal.

"Rambut gimbal Rasta berevolusi selama 20 tahun sebagai gerakan Rastafaria," kata Profesor Horace Campbell dari Syracuse University dan penulis Rasta And Resistance, sebagaimana dikutip The Guardian, 23 Agustus 2003. "Rastafaria hidup dalam konteks kolonial [di Jamaika] yang ingin menggambarkan diri mereka berbeda dari orang-orang Eropa. Jadi mereka mengambil bentuk fisik yang mewakili identitas mereka dengan Afrika."

Popularitas rambut gimbal mencuat pada 1970-an ketika Robert Nesta Marley, atau lebih dikenal dengan Bob Marley, meluncurkan album Catch A Fire. Rastafaria menjadi gerakan dunia. Rambut gimbal juga menjadi tren dan ikon musik reggae. "Bob Marley ditransendensikan sebagai karakteristik radikal dari Rastafaria dan merangkul semua kebudayaan dan menjadi juru bicara gerakan itu," ujar Campbell.

Tapi rambut gimbal menghadapi tantangan. Menurut The Guardian, sejumlah sekolah menolak untuk mengajar anak-anak berambut gimbal. Para Rasta di penjara harus mencukur rambut. Mereka juga sulit mendapat pekerjaan. "Saya ingat saat berada di pusat lowongan kerja dan mereka menawarkan untuk memberi saya uang saku untuk potong rambut," kata penyair kenamaan Inggris yang juga seorang Rasta, Benjamin Zephaniah.

Ketika penata rambut Inggris Simon Forbes menangkap tren rambut gimbal dengan membuka sebuah salon bernama Antenna di Kensington, London, resistensi masih terjadi, terutama rambut gimbal putih. "Saya ingat Pete Burns dan kelompok musik Dead or Alive dipukuli oleh sekelompok anak-anak hitam di Liverpool dan merengut rambut gimbal mereka," katanya. Dia juga masih dituduh rekan-rekannya, kulit hitam maupun putih, merusak budaya kulit hitam.

Titik balik Rasta muncul bersamaan dengan sound system yang disebut Soul II Soul yang kerap dimainkan di acara pesta dan klub remaja di London. Mereka menjadi dikenal sebagai “Funki Dred”, merujuk rambut gimbal mereka yang rapi. Sejumlah artis, musisi rock, dan selebritas kemudian mulai bergaya ala Bob Marley seperti grup musik KoRn, Mike Bordi (drummer Faith No More), atau Jennifer Anniston dan Christina Aguilera. Di Indonesia juga banyak artis berambut gimbal seperti Mbah Surip, Tony Q, dan Steven and The Coconut Treaz.

Rambut gimbal sudah menjadi bagian dari fashion, yang menanggalkan simbol-simbol spiritualitas dan antikemapanan. Desainer kenamaan John Galliano dari Christian Dior mengadopsinya dalam gaya rambut dan koleksi pakaian, sepatu, dan aksesoris dengan nama Rasta. Salon-salon untuk rambut gimbal mulai tersedia.

Rambut gimbal kini bisa dimiliki setiap orang. Pemiliknya bukan lagi pemrotes tapi juga profesional. Ia tak lagi menjadi sebuah sikap, mentalitas, dan cara hidup.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Dulu Soeharto, Sekarang Yudhoyono

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan kunjungannya ke Negeri Belanda pada menit-menit terakhir. Tersiar kabar aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda mengajukan gugatan ke pengadilan lokal di Den Haag atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap aktivis RMS di Indonesia. Mereka pun menuntut agar Presiden Yudhoyono ditahan demi kepentingan peradilan. Walhasil Yudhoyono membatalkan kunjungannya kendati berbagai pihak mengatakan kalau pembatalan itu malah makin membesarkan RMS saja.  

Itu bukan cerita baru. Presiden Soeharto pun pernah menunda kunjungannya ke Belanda. Seharusnya Soeharto terbang ke Belanda April 1969 dan mengundurkan jadwal kunjungannya sampai dengan tahun 1970. Ia menunda kunjungan bukan saja karena RMS yang saat itu sedang marak-maraknya menuntut kemerdekaan melainkan pula karena skandal pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kurun tahun 1965-1969 yang tercium oleh media massa asing.

Mulanya adalah Romo Wignyosumarto, pastor gereja Katolik di Purwodadi, Grobogan yang mendengar pengakuan dosa Mamik, anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang mengaku terlibat dalam pembunuhan 50 lebih anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi. Kabar itu kemudian diteruskan kepada Poncke Princen yang berkunjung ke Purwodadi bersama dua wartawan Belanda, Henk Colb dan E. van Caspel.

Berdasarkan informasi awal dari Romo Sumarto, mereka bertiga mengunjungi berbagai kamp penahanan yang ada di Purwodadi, termasuk di Kuwu, di mana mereka menemukan bukti-bukti pembantaian terhadap 860 tahanan. Poncke dan dua wartawan Belanda itu pun mengumpulkan keterangan dari warga sekitar yang memperkuat informasi tentang adanya pembunuhan massal di Purwodadi. Di antara mereka ada yang bercerita bahwa pelaku membunuh orang-orang PKI dengan cara memukul tengkuk korban dengan tongkat besi.

Kabar itu pun segera tersiar. Poncke mengadakan jumpa pers di Jakarta pada 26 Februari 1969. Berdasarkan pengakuan Poncke dalam memoarnya Kemerdekaan Memilih ia tak berencana membeberkan persoalan Purwodadi itu di hadapan wartawan nasional. Kepada Henk Colb ia berjanji untuk membiarkan berita ekslusif itu jadi milik koran De Haagsche, tempat Colb bekerja. Namun batin Poncke bergejolak. Ia memutuskan untuk membuka saja kasus itu di Jakarta betapapun sangat berbahayanya. “Kemanusiaan jauh lebih penting,” kata dia dalam bukunya. Colb pun sempat kecewa pada Poncke yang membocorkan berita ekslusifnya itu. Sementara itu Mamik, anggota Hanra yang mengaku pada Romo Sumarto, ditangkap oleh tentara dan tak jelas bagaimana nasibnya.

Sehari setelah jumpa pers media nasional memberitakan tentang peristiwa di Purwodadi. harian KAMI yang dikelola oleh para aktivis mahasiswa angkatan 1966 menurunkan headline “Purwodadi dalam Ketakutan”. Berbagai media massa yang terbit di ibukota pun segera berlomba-lomba menyiarkan kabar ihwal skandal pembunuhan massal yang dibongkar oleh Poncke. Wartawan Sinar Harapan Yopie Lasut dan wartawan Indonesia Raya Maskun Iskandar menuliskan serial laporan langsung dari Purwodadi.

Seperti disiram bensin, berita panas skandal Purwodadi pun menjalar kemana-mana. Henk Colb menurunkan tulisannya di  koran De Haagsche. Ia menyoroti soal tahanan politik di kamp Purwodadi yang memprihatinkan: berdesak-desakkan dalam kamp dan diperlakukan tidak manusiawi.  Laporan Colb membuat sejumlah kelompok di Belanda geram. Mereka pun turut menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggap menjadi dalang pembantaian massal jutaan kaum kiri.

Suratkabar Trouw, 19 April 1969 menyiarkan “surat terbuka” dari Het Comite Indonesie (Komite Indonesia) yang dipimpin oleh sosiolog terkemuka W.F. Wertheim menyebutkan bahwa kalangan rakyat Belanda merasa resah atas niat beberapa pengusaha Belanda dan pemerintahnya yang bermaksud mengadakan hubungan kerjasama ekonomi dengan Indonesia. Menurut komite tersebut, menjalin kerjasama berarti melegalkan pembunuhan massal yang telah dilakukan Indonesia.

W.F. Wertheim dalam sebuah wawancara dengan majalah Vrije Nederland juga menyatakan ketidaksetujuannya atas bantuan finansial pemerintah Belanda bagi pemerintah Soeharto. Dalam wawancara lain dengan sebuah stasiun TV di Belanda, dia kembali menegaskan, “Tidak ada kerjasama dengan rezim yang membiarkan pembunuhan massal terhadap 80.000 hingga 100.000 orang tahanan politik.”  Pemerintah Orde Baru yang dibuat berang oleh pernyataan Wertheim melarangnya mengunjungi Indonesia.

Tulisan tentang skandal Purwodadi di De Haagsche itu juga mengundang reaksi keras sekelompok mahasiswa Belanda. Kemarahan mereka tumpahkan kepada Menteri Keuangan RI Drs. Frans Seda saat datang memberi ceramah dalam rangka lustrum pada tanggal 17 April 1969 di Universitas Katolik Nijmegen. Begitu Frans Seda naik ke panggung untuk berceramah, seorang mahasiswa, Y. van Herte menyela dan bertanya perihal peristiwa pembunuhan massal anggota PKI. Frans menyanggupi untuk menjawab pertanyaan itu setelah ia diberi kesempatan untuk memberikan ceramah terlebih dahulu. Ternyata Herte menolak dan meminta pertanggungjawaban Frans atas pembunuhan massal di Indonesia. Suasana jadi kacau, bahkan mahasiswa meneriaki Frans Seda sebagai moordenaar (pembunuh) dan lafaard (pengecut). Ceramah pun dibatalkan dan Frans Seda keluar meninggalkan aula universitas lewat pintu belakang .

Melihat perkembangan situasi di Belanda dan pemberitaan yang semakin kritis kepada pemerintah Orde Baru, Soeharto memutuskan untuk membatalkan lawatannya ke Belanda dan negara Eropa lainnya yang sejatinya akan dilakukan pada medio April 1969. Kunjungan ke Belanda baru dilakukan Soeharto pada awal September 1970 dan itu pun bukan berarti sepi dari demonstrasi. Sejumlah demonstran RMS berunjukrasa setelah beberapa hari sebelumnya sempat menduduki gedung Kedutaan Besar RI di Wassenaar dan menyandera keluarga duta besar.

Dalam kunjungannya ke parlemen Belanda, Soeharto yang didampingi Menteri Luar Negeri Adam Malik pun tak lepas dari pertanyaan para anggota parlemen soal tahanan politik. Tentu saja pertanyaan itu dilontarkan setelah koran-koran Belanda ramai memberitakan temuan Poncke Princen dan dua wartawan Belanda di Purwodadi. Video kunjungan Soeharto itu masih bisa disaksikan di situs Youtube (Bezoek van President Soeharto, 1970)

Persoalannya sekarang apakah penundaan kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda akan menyurutkan langkah para aktivis RMS untuk menuntut keadilan atas kematian saudara-saudaranya di Maluku? Kita lihat saja nanti.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified