Senin, 29 November 2010

Merubuhkan Pragmatisme Mahasiswa

Langkah Indonesia masih tertatih-tatih akibat berbagai permasalahan yang dideranya. Mulai permasalahan yang terjadi dari faktor eksternal maupun internal dalam pemerintahan seakan-akan tidak pernah berhenti tanpa sebuah solusi yang signifikan. Akibatnya nada-nada pesimisme muncul akibat kepasrahan akan realitas sehingga mereka menjadi makhluk masokhis.

Keadaan tersebut bukannya memperbaiki masalah tetapi malah memperburuk kondisi yang ada. Di tengah carut marut tersebut diperlukan sosok pembaharu yang akan menghantarkan Indonesia menjadi lebih baik. Sosok tersebut terdapat pada diri mahasiswa yang dikenal sebagai agent of change. Sebagai bagian dari suatu negara mahasiswa berfungsi sebagai kontrol atas berbagai penyimpangan yang terjadi. Mahasiswa adalah otokritik dalam sistem check and balance dari sistem pemerintahan demokratis.

Sejarah telah membuktikan peranan mahasiswa dalam mengubah keadaan yang tidak sesuai dengan nilai demokrasi. Sebut saja reformasi 1998 sebagai aksi nyata dari peran mahasiswa sebagai kontrol dari pemerintahan Indonesia. Namun sayangnya sejarah tersebut seakan hanyalah sebuah mitos yang melekat pada sosok seorang mahasiswa.

Mahasiswa saat ini lebih disibukkan dengan berbagai kegiatan perkuliahaan dalam kehidupan sehari-harinya sehingga melupakan fungsi sosialnya. Akibatnya kontrol mahasiswa semakin terkikis karena hanya sedikit mahasiswa yang peduli. Lebih jauh lagi rakyat seakan tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol pemerintahan karena peran mahasiswa yang semakin memudar.

Apatisme mahasiswa akibat pola pikir pragmatisme nantinya juga akan merugikan bagi mahasiswa sendiri. Oleh karena itu sudah seharusnya mahasiswa mengalihkan perhatiaannya dari buku-buku teks kepada realitas yang terjadi disekitarnya.

Ilmu yang dipelajari di dalam kelas hakikatnya berasal atau tercipta dari permasalahan yang terjadi didalam masyarakat. Oleh karena itu merupakan kewajiban mahasiswa pula untuk memberikan kontribusi atas ilmu yang diperolehnya kepada masyarakat. Dalam konteks pengawasan pemerintahan setidaknya mahasiswa peduli dengan mengkritisi kehidupan politik di dalamnya.

Merubuhkan pragmatisme mahasiswa adalah sebuah langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang mahasiswa atas peran sosialnya bagi masyarakat. Mahasiswa harus memberikan kontrol yang kuat bagi pemerintahan agar jalannya pemerintahan sesuai dengan cita-cita pembangunan yang pro dengan rakyat. Harapannya penyakit-penyakit sistemik yang berakar kuat dalam pemerintahan dapat dimusnahkan dengan kontrol yang kuat dari mahasiswa. Semoga!

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Menuju Perubahan Indonesiaku

   Indonesia dan demokrasi sudah lama berkenalan sejak awal bangsa ini mendapat pengakuan kemerdekaan. Berkali-kali pula bangsa ini tidak luput dari perombakan sistem demokrasi demi membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Namun kenyataannya kita masih belum melihat bahwa bangsa ini secara jelas mengarah kepada kebaikan yang lebih baik. Nada pesimistis tersebut muncul karena semakin menurunnya tingkat partsipasi warga negara terhadap sistem demokrasi yang ada saat ini. Buktinya, jumlah golput pada pemiliha Pilkada saat ini semakin meningkat bahkan 15 daerah pada Pilkada dimenangkan oleh golput.

            Kenyataan diatas bertentangan dengan pernyataan gaffar janedjrim, Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, dalam opininya di okezone.com yang menyatakan bahwa demokratisasi telah menguat dilihat dari penataan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Ada beberapa indikator yang menjadi argumen yaitu adanya masyarakat sipil yang otonom dan diberikan jaminan hukum kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat, adanya masyarakat politik yang diberikan kesempatan untuk bersaing secara sehat mengontrol dan menjalankan kekuasaan, dianutnya ideologi supremasi hukum, adanya birokrasi yang legal-rasional, dan terciptanya masyarakat ekonomi yang menjadi perantara antara negara dan masyarakat. Namun pertanyaannya apakah indikator tersebut merupakan esensi dari demokrasi itu sendiri? Atau apakah indikator tersebut secara nyata telah dilakukan oleh pemerintah?

Substansi dari demokrasi

            Saat ini hampir seluruh negara di dunia mengaku memiliki humum yang berdasarkan warisan kuno dari Yunani maupun Romawi yang disebut dengan demokrasi. Secara epistemologi demokrasi berasal dari kata demos yang berarti masyarakat dan kata kratein, mengatur. Menurut sejarah, sistem ini tercipta karena kelemahan sistem pemerintahan pada abad ke-6 SM. Sistem demokrasi ini merupakan sebuah respon dari kebutuhan akan perubahan maka munculah Solon yang menciptakan hukum yang peduli akan kesejahteraan dan kemiskinan dalam masyarakat.

            Jadi demokrasi bukanlah tujuan dari sistem pemerintahan, tetapi demokrasi adalah sebuah sistem yang mengatur dan menunjukkan arah bagaimana pemerintah mampu mengatasi berbagai permasalahan dalam masyarakat dan mengatur masyarakat agar harmonis dan sejahtera. Seperti yang dikatakan oleh Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah dan kekuasaan merupakan suatu hal yang inheren, tetapi kekuasaan yang dimiliki pemerintah diakui dan berasal dari rakyat. Karena rakyatlah yang memberikan dan menetukan arah bagaimana kehidupan kenegaraan itu dilaksanakan disuatu negara.

            Sedangkan berdasarkan UUD 1945, sistem demokrasi tercantum pasal 1 yang menyatakan bahwa kedaulatan bedara di tangan rakyat dan dalam pasal 3 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam sistem demokrasi kedaulatan dan hukum adalah tidak bisa dipisahkan karena negara hukum harus demokratis, dan negara demokratis harus mempunyai hukum yang mengatur kehidupan bernegaranya. Bisa saja pemegang kedaulatan dalam sebuah negara bukan seorang manusia tetapi adalah hukum. Namun agar hukum tidak disalahgunakan untuk kekuasaan maka hukum harus mengakomodasi kepentingan masyarakat secara luas.

Masalah demokrasi Indonesia kini

            Lebih dari 90% negara di seluruh dunia telah menganut sistem demokrasi, termasuk negara Indonesia yang sudah berjibaku lama dengan sistem ini. Namun seperti kebanyakan negara berkembang pada umumnya, cita-cita dari demokrasi sama sekali belum tergapai bahkan mungkin ada yang mengatakan bahwa cita-cita itu semakin menjauh. Yang parah lagi, seakan bangsa ini telah puas karena tujuan dari demokrasi adalah demokrasi itu sendiri.

            Menurut survei DEMOS demokrasi yang kita menghadapi persoalan yang gawat karena berbagai upaya demokratiasi belum bisa menjamin berlakunya hukum, akses ke keadilan, hak sosial dan ekonomi dan pemerintah yang representatif dan akuntabel. Persoalan pokoknya adalah rakyat tidak mampu mengendalikan urusan publik melalui perwakilan yang sehat. Penyebab pokoknya adalah monopoli ekonomi dan politik kelompok elit yang semakin luasdan lebih lokal tetapi dominan. Padahal, gerakan pro-demokrasi masih saja terpecah belah, secara sosial “mengambang” dan secara politik terpinggirkan.[1]

            Secara nyata demokrasi di Indonesia telah dilanggar oleh pemujanya sendiri. Karena sistem yang ada saat ini tidak memiliki asas equality karena perwakilan rakyat didominasi oleh sekolmpok elit yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Kebanyakan dari mereka tidak mampu membedakan antara ruang privat dan ruang politik sehingga kita akan menemukan wajah-wajah yang ambigu. Berbagai kepentingan pribadi sering bercampur dalam kehidupan politik kenegaraan sehingga demokrasi ini seolah-olah dimiliki oleh suatu kelompok saja.

            Demokrasi yang bertujuan mengakomodasi kepentingan berbagai elemen masyarakat malah menjadi legitimasi bagi berbagai kelompok untuk saling bersaing secara tidak sehat sehingga menimbulkan disintegrasi bangsa akibat konflik dari perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakat.

            Pada tahun 2009 ini akan diselenggarakan sebuah perhelatan akbar dari demokrasi Indoensia yaitu Pemilu. Namun jika kita menyadari bahwa demokrasi Indonesia saat ini hadir disaat yang kurang tepat. Dana yang melimpah untuk pemilu yaitu sekitar 22 triliyun dirasa mubazir karena tidak sebanding dengan kualitas pemerintah saat ini. Demokrasi yang katanya memihak pada rakyat mungkinhanya baualan belaka. Miris, anggran yang dikeluarkan pemerintah untuk menuntaskan kemiskinan pada tahun 2007 saja hanya 19 triliyun, sedangkan pada tahun 2008 saja hanya naik menjadi 38 ditambah keterpurukan akibat krisi ekonomi global. Padahal tidak ada korelasi yang jelas antara dana pemilu yang tinggi dengan kualitas pemerintahan. Sejarah belum mampu membuktikan hal tersebut, justru pemborosan dan ketidak efisienanlah yang didapat.

            Sistem pemilu yang cukup rumit bagi masyarakat pada umumnya seperti yang terjadi saat ini hanya akan menciptakan kebingungan saja. Akibatnya partisipasi warga negara semakin menurun atau suara rakyat tidak mampu merepresentasikan apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh rakyat saat ini. Apakah ada kaitannyaantara sistem pemilihan ganda (presiden dan wakil presiden), atau putaran pemilu yang ketat akan menciptakan kualitas pemerintahan yang bagus?

Solusi bagi bangsa ini  

            Pro dan kontra terkait dengan sistem demokrasi sampai saat ini masih menjadi wacana hangat tanpa sebuah eksekusi yang mampu mengakomodasi kedua belah pihak tersebut. Akibatnya timbul pihak-pihak yang apatis terhadap sistem ini sehingga jumlah golput semakin meningkat. Pertanyaannya apakah golput merupakan cara yang terbaik yang dilakukan saat ini?

            Golput dalam konteks Indonesia saat ini tidak relevan karena suara rakyat masih menetukan perubahan yang diharapkan akan terjadi. Lagipula jika pemerintah sudah tidak mempunyai otoritas dari rakyat maka yang terjadi adalah pembubaran negara Indonesia.

            Walaupun saat ini banyak yang beranggapan bahwa perubahan dapat dilakukan dari luar sistem, tetapi apakah fakta telah menunjukkan perubahan itu. Grup penekan (pressure group) diluar sistem yang diharapkan mampu memberikan perubahan belum mampu melakukan hal tersebut. Oleh karena itu cara yang efektif adalah dengan mengikuti sistem yang dipakai saat ini. 

            Memang kita tidak bisa memungkiri bahwa perubahan yang terjadi akan memerlukan waktu yang lama jika dibandingkan dengan sebuah revolusi. Namun cara inilah yang terbaik jika ingin melakukannya dengan cara damai mengingat revolusi yang terjadi pasti akan bersimbah darah.

            Kenyataan yang terjadi saat ini dimana para politisi tidak mampu memberikan sebuah imajinasi sosial kepada rakyat juga merupakan tantangan yang harus dihadapi rakyat saat ini. Berbagai kebingungan akibat sistem yang rumit dan politisi busuk nan berwajah ambigu jangan sampai menghalangi rakyat untuk menyuarakan suaranya.

            Rakyat harus merubah lingkaran setan antara pejabat dan sistem, pejabat yang membuat sistem yang kurang ideal dan sistem yang membuat pejabat menjadi kurang ideal. Rakyat harus berteriak keras dengan suaranya, menggunakan hak asasinya dengan menempatkan negarawan-negarawan yang pro-rakyat sehingga mampu memberikan pengaruh yang kuat bagi sistem demokrasi Indonesia.

            Demokrasi bukan tujuan dari demokrasi itu sendiri, dan janganlah memilih politisi-politisi busuk yang semata-mata menjajakan dirinya melalui iklan-iklan yang bahkan lebih buruk dari sebuah iklan rokok.

 

“Mari bersama mencari kebenaran jika tak seorangpun dari kita memilikinya.”

–Constantin Francoius Volney (1810)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Hutang 1667 Triliun: Jejak Neoliberalisme di Indonesia

Berdasarkan data yang diperoleh departemen keuangan per akhir maret 2009, hutang yang melilit Indonesia meningkat menjadi 1667 triliun rupiah. Hutang itu meningkat sekitar 392 triliun pada zaman pemerintahan SBY. Melihat besarnya hutang yang dimiliki Indonesia saat ini, banyak pengamat menilai bahwa hutang yang dilakukan oleh pemerintah telah melampaui batas dan tidak sepadan dengan kemajuan pembangunan saat ini.

            Walaupun ada perubahan dari proporsi hutang saat ini yang didominasi dari hutang dalam negeri yaitu sekitar 70% dari total hutang Indonesia. Tetapi tetap saja Indonesia harus membayar bunga yang tinggi setiap tahunnya. Hal itu wajar karena hutang diperoleh dari pasar sehingga penentuan bunga ditentukan dengan mekanisme pasar.

            Namun hutang yang dilakukan pemerintah menimbulkan keganjilan. Dilarikan kemana dana yang sangat besar itu? Hutang yang diproyeksikan untuk membiayai pembangunan sarana prasarana seolah hanya wacana saja. Saat ini bukti riil yang kita lihat hanyalah selesainya pembangunan jembatan Suromadu yang hanya membutuhkan dana 4.5 Triliun. Pembangunan jalan-jalan tol yang dilakukan kebanyakan dimanfaatkan oleh segelintir orang saja yaitu para pengusaha, bukan rakyat pada umumnya. Seolah pembangunan hanya berpihak kepada golongan elite saja.

            Hutang yang katanya digunakan untuk pembangunan sarana kesehatan dan pendidikan tidak signifikan. Kita masih melihat kualitas buruk dari rumah sakit dan sekolah-sekolah tersebar di penjuru Indonesia. Kasus Prita dan kesenjangan pendidikan di Indonesia menjadi bukti nyata betapa penggunaaan hutang belum optimal digunakan untuk kepentingan rakyat. Lalu dikemanakan hutang itu?

Cengkraman Neoliberalisme           

            Secara rasional tentu kita bisa berpikir bahwa tidak mungkin negara-negara maju atau lembaga keuangan internasional mau memberikan pinjaman jika tidak ada kepentingan dibaliknya. Oleh karena itu dibalik hutang yang membengkak itu, disinyalir ada jejak-jejak neoliberalisme dibelakangnya. Kebanyakan hutang yang diperoleh Indonesia harus disertai dengan structural adjustment seperti privatisasi dan penghapusan subsidi. Penyesuaian tersebut merupakan pemikiran-pemikiran liberal karena berusaha menyerahkan mekanisme seluruhnya terhadap pasar.

            Pemikiran dan kenyataan tersebut tidak sesuai dengan cita-cita ekonomi Pancasila yang nasionalistik, karena dengan adanya liberaliasi maka golongan kecil yang mayoritas adalah pribumi akan tergusur di tanah airnya sendiri. Sumber daya alam yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, akan dihisap untuk kepentingan asing.

            Jelas kita melihat bahwa hutang bukan sekedar akses dana antara kreditur dan debitur dengan bunga yang menyertainya. Tetapi juga berdampak luas terhadap perekonomian Indonesia baik fiskal maupun moneter. Oleh karena itu paradima berpikir pemerintah paradigm hutang harus berubah dari yang bersifat tactical dan operational ke pemikiran yang bersifat strategic atau bersifat jangka panjang, karena hutang sendiri bersifat jangka panjang.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Hentikan Pengebirian Terhadap Alam

Pertumbuhan penduduk dan pembangunan memiliki kaitang yang sangat erat. Seperti deret hitung, kenaikan pertumbuhan penduduk juga diikuti dengan semakin pesatnya pembangunan yang dilakukan. Hal itu wajar karena sebagai manusia ia akan melakukan segala sesuatu untuk memnuhi kebutuhan dan berusaha hidup lebih baik. Salah satu caranya dilakukan dengan pembangunan sebagai penyokong kehidupan manusia.

Pertumbuhan dan pembangunan memang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan manusia. Namun jika kita menilik pembangunan yang terjadi, khususnya di Pulau Jawa kita akan melihat pengelolaan yang kurang tepat bahkan menjurus ngawur.

Salah satu indikator pengelolaan yang salah dapat kita lihat dari dampak negatif bagi kehidupan manusia. Bencana yang selalu menyapa tiap tahun di Jawa merupakan bukti bahwa manusia telah melakukan kesalahan dalam melakukan pengelolaan alam dalam rangka pembangunan. Kasus terbaru adalah kasus rob, yaitu masuknya air laut ke daratan. Pembangunan yang tidak memperhatikan AMDAL dan analisis kerawanan bencana mengakibatkan kerusakan lingkungan yang akhirnya manusia sendirilah yang menjadi korbannya.

Paradigma pembangunan saat ini sepertinya perlu dikoreksi, trade off antara kerusakan alam dan hasil eksplorasi alam harus ditinjau kembali. Melihat bencana yang terjadi akhir-akhir ini seharusnya manusia sadar bahwa paradigma pembangunan bukan semata-mata melihat pertumbuhan tetapi juga kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Percuma kita membuat tanah-tanah kita menjadi kerajaan-kerajaan megah tetapi di depan pintu, banjir, rob dan longsor mengetuk-ngetuk pintu kita dengan ancaman yang dibawanya.

Hormatilah alam!

Pembangunan yang telah lepas kendali saat ini merupakan suatu kontradiksi dari sifat manusia jawa sesungguhnya. Membuka tabir filsafat jawa yang ditabadikan dalam lagu ilir-ilir, pada bait kedua “Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore” yang merupakan simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam yang dalam kehidupannya harus diimbangi dengan tujuan di dunia dan akhirat. Seharusnya kita berpikir dalam tataran strategik dalam pembangunan yang dilakukan.

Pengebirian terhadap alam oleh hasrat keserakahan manusia harus segera dihentikan selama tanah-tanah masih tertunduk diam dibawah kaki-kaki kita. Pertumbuhan kehidupan yang menstimulus manusia menjadi consumer society harus dihentikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gandhi bahwa kebutuhan itu terbatas, tetapi keinginan manusialah yang tidak terbatas. Alam yang diturunkan oleh Tuhan untuk manusia tidak akan cukup jika manusia masih menuhankan hasratnya.

Kehidupan yang baik bukanlah kehidupan yang disesaki oleh produk yang beranekaragam, bukan juga istana-isatana megah yang mencengkeram tanah-tanah kita. Kehidupan idealnya adalah kondisi dimana setiap manusia memiliki kesempatan untuk memaknai kebahagiaan akan kehidupan, bukan keprihatinan akan bencana yang melanda akibat pembangunan yang mengebiri alam.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Posmodernisme Dalam Ekonomi Politik Media Massa

Posmodernisme adalah nama gerakan di kebudayaan kapitalis lanjut, secara khusus dalam seni. Istilah Posmodernisme muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York pada tahun 1960 dan diambil oleh para teoritikus Eropa pada tahun 1970-an. Tokoh yang sering diasosiasikan dengan Posmodernisme antara lain Derrida, Lyotard, dan Baudrillard dalam filsafat.
Menurut Jean – Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition, menyerang mitos yang melegitimasi zaman modern (narasi besar), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara universal valid untuk seluruh umat manusia. Dan banyak orang sadar dalam beberapa hal sejak Perang Dunia II masyarakat Barat mengalami perubahan sifat yang radikal. Para teoritikius sosial menggunakan berbagai macam istilah : masyarakat media, masyarakat tontonan, masyarakat konsumen, masyarakat konsumen terkendali yang birokratis serta masyarakat pascaindustri untuk mejelaskan perubahan ini. Namun penjelasan masyarakat itu yang paling populer saat ini adalah masyarakat postmodern. Lyotard adalah pemikir posstrukturalis yang mengadopsi pendirian postmodern. Di satu sisi, posmodernisme merupakan satu jenis masyarakat baru, tetapi juga, disisi lain, merupakan istilah baru bagi posstrukturalisme dalam dunia seni.
Baudrillard mendasarkan pemikirannya dalam sketsa historis transisi dari modernitas ke posmodernitas. Dalam tulisannya bahwa dunia di konstruksi dari model atau simulacra yang tidak merujuk atau mendasarkan diri pada realitas apapun selain dirinya sendiri. Tahap pertama simulacrum dapat disebut sebagai ”modernitas awal”, tahap kedua ”modernitas” dan tahap ketiga ”posmodernitas”. Tahap-tahap ini tidak dapat dikatakan atau disebut sebagai sejarah universal.
  • Modernitas awal : periode dari renaisans sampai permulaan revolusi industri.
  • Modernitas : kebangkitan revolusi industri yang membawa masuk kedalam tahap simulacrum yang kedua.
  • Posmodernisme : dalam sistem ini yang terbentuk setelah perang dunia II, landasan teoritis sistem kekuasaan telah bergeser dari ekonomi politik Marxis ke semiologi strukturalis. Apa yang dipandang Marx sebagai bagian modal yang nonesensial seperti iklan, media, informasi dan jaringankomunikasi berubah menjadi bagian esensial.
Menurut Baudrillard, media massa menyimbolkan zaman baru dimana bentuk produksi dan konsumsi lama telah memberi jalan bagi semesta komunikasi yang baru. Pemikiran serta teori Baudrillard dan Lyotard diatas akhirnya memberikan kesimpulan atau sebuah akibat positif sehubungan dengan berkembangya teori Marx. Selain itu Vincent Mosco dalam bukunya yang berjudul “The Political Economy of Communication “ menyebutkan bahwa :
Penelitian sejarah dalam ekonomi politik penyiaran dan telekomunikasi memiliki titik focus pada hubungan erat antara kekuatan politik pusat dan kekuatan pusat media (Mosco,1996:89).
Batasan-batasan posmodernisme
Gagasan bahwa media massa mengambil alih “realitas” jelas-jelas melebih-lebihkan arti pentingnya. Media massa memang penting tapi tidak sedemikian penting. Pernyataan ini agaknya lebih sejalan dengan suatu ideology media yang berasal dari berbagai kepentingan mereka yang bekerja di dalam dan mengendalikan media. Gagasan ini kurang memberikan suatu analisis serius mengenai pandangan terhadap kegagalannya mengidentifikasi secara tepat betapa pentingnya hal ini maupun memberikan landasan empiris atas pernyataan yang dibuat. Gagasan ini juga mengabaikan perihal faktor-faktor lain seperti kerja dan keluarga, yang memberikan kontribusi bagi konstruksi “realitas”. Gagasan terkait bahwa budaya media populer mengatur konsumsi bersandar pada asumsi-asumsi yang tidak disubstansikan mengenai perilaku orang-orang sebagai konsumen.
Para teoritikus yang menganggap posmodernisme muncul agaknya banyak menyuarakan kecemasan dan ketakutan yang banyak diungkapkan melalui kritikus budaya massa maupun Mazhab Frankfurt. Hal ini tampak jelas pada sejumlah argument yang dikemukakan oleh teori postmodern. Sebagai contoh, gagasan-gagasan bahwa identitas personal dan kolektif sudah terkikis, bahwa budaya populer modern adalah sebuah kebudayaan sampah, bahwa seni sedang berada dalam ancaman dan bahwa peranan media yang makin besar memberi mereka kesempatan untuk melaksanakan pengaruh ideologisnya yang kuat terhadap khalayaknya, semuanya memberikan bukti yang jelas mengenai hal ini.
Tidak hanya bahwa terlalu besar arti penting yang diberikan pada konsumerisme dan kekuatan media seperti tv, tapi juga pernyataan-pernyataan yang dibuat jarang disubstansikan dengan bukti apapun. Selain itu, tidak banyak perhatian yang diberikan pada hal-hal seperti sifat kehidupan sehari-hari orang, sikap populer terhadap konsumsi, kesinambungan identitas, dan kemungkinan berbagai identitas alternatif yang muncul dalam perjalanan waktu. Kesulitan utama lainnya dalam kaitannya dengan posmodernisme terletak pada asumsi bahwa metanarasi sudah mengalami kejatuhan.
Posmodernisme dan film
Film populer selalu berusaha memberikan tontonan kepada khalayak luas sejak masa-masa awalnya, film memikat khalayaknya berdasarkan peristiwa-peristiwa spektakuler yang bisa dihadirkannya di layar. Mengatakan bahwa posmodernisme berhubungan dengan tontonan berarti melupakan sejarah dan salah menafsirkan sifat film. Sudah jelas kiranya, tontonan yang disajikan di layer dewasa ini berbeda dengan tontonan pada masa peralihan abad ini dalam pengertian apa yang dapat dicapai. Bagaimanapun juga, dengan adanya konteks teknis maupun cultural tersebut, tidak ada alasan untuk mengandaikan bahwa sebuah era lebih memperhatikan tontonan dibandingkan dengan era yang lain. Lebih daripada itu, cerita masih menjadi salah satu aspek penting daya tarik film kontemporer. Film-film back to the futuremungkin bisa menjelaskan pernyataan-pernyataan postmodern mengenai kegamangan atas ruang dan waktu namun film-film itu juga dikukuhkan oleh narasi yang kuat dan kompleks. Demikian pula halnya dengan sebuah film spektakuler seperti Blade Runner mempunyai sebuah cerita mengenai usaha-usaha penyamaran oleh ilmu pengetahuan untuk membuat replika kehidupan manusia, dan juga kisah-kisah tragis yang dialami para replikanya, sebuah tema yang kembali pada novel Frankenstein karya Mary Shelley.
Posmodernisme dalam Ekonomi Politik Media
Vincent Mosco dalam bukunya “The Political Economi of Communication” secara tersirat menyebutkan bahwa Posmodernitas dengan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan keberadaannya. Hal tersebut terbukti dari beberapa teori dalam buku Mosco yang mengupas tentang adanya keterkaitan hal tersebut diatas. Diantara teori-teori tersebut adalah komodifikasi, spasialisasi dan strukturalisasi.
Komodifikasi menurut Karl Marx ialah kekayaan masyarakat dengan menggunakan produksi kapitalis yang berlaku dan terlihat seperti “kumpulan komoditas (barang dagangan) yang banyak sekali”; lalu komoditi milik perseorangan terlihat seperti sebuah bentuk dasar.Oleh karena itu kami mulai mengamati dengan sebuah analisis mengenai komoditi (barang-barang dagangan) (Mosco,1996:140). Komodifikasi diartikan sebagai transformasi penggunaan nilai yang dirubah ke dalam nilai yang lain. Dalam artian siapa saja yang memulai kapital dengan mendeskripsikan sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar.
Spasialisasi ialah sebuah sistem konsentrasi yang memusat. Dijelaskan jika kekuasaan tersebut memusat, maka akan terjadi hegemoni. Hegemoni itu sendiri dapat diartikan sebagai globalisasi yang terjadi karena adanya konsentrasi media. Sebagai contoh, media barat yang menyebarkan budaya mereka melalui media elektronik. Dari adanya hal tersebut memunculkan translator (orang-orang yang tidak dapat menyaring budaya) yang akirnya berakibat budaya barat menjadi budaya dunia. Dan kelompok hegemoni itu sendiri adalah kelompok yang menguasai politik, media dan teknologi sekaligus.
Strukturalisasi merupakan salah satu karakteristik yang penting dari teori struktural. Yang didalammya menggambarkan tentang keunggulan untuk memberi perubahan sosial sebagai proses yang sangat jelas mendeskripsikan bagaimana sebuah struktur diproduksi dan diproduksi ulang oleh manusia yang berperan sebagai pelaku dalam struktur ini.
Posmodernisme menurut Baudrillard ditunjukkan dengan adanya Hipperrealitas (melebihi segala sesuatu yang ada). Maka komodifikasi, spasialisasi dan strukturalisasi memang sangat erat kaitannya dengan posmodernisme yang mendasarkan segala sesuatu dengan hal-hal yang penuh dengan imajinasi dan provit oriented (orientasi pada uang). Telah dijelaskan dalam uraian diatas yang dicontohkan dengan Film Back to the Future yang laku keras dipasar karena ceritanya yang sangat imajinatif yang merupakan gambaran dari Posmodernisme itu sendiri.

Literatur:
Mosco,Vincent, The Political Economy Of Communication, SAGE Publications, London, 1996.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified