Senin, 31 Januari 2011

Pilkada: Menuju Demokrasi Substansial


"Herman Tope";
“Demokrasi, di mana pun, menderita suatu penyakit. Penyakit ini semakin parah dengan semakin banyaknya jumlah orang yang tidak terdidik di kalangan penduduk dari negara yang menerapkannya sebagai sistem politik hingga membuatnya sangat semu dan simbolis belaka.” (Daoed Joesoef, 2005)
Pasca reformasi, terjadi perubahan praksis politik dan ketatanegaraan yang amat cepat. Bahkan bisa dikatakan bahwa selama lebih dari 7 tahun ini terjadi revolusi damai, yang mengubah dengan amat radikal berbagai praksis politik dan kenegaraan yang kesemuanya dicapai lewat suatu proses demokratis. Tujuh tahun ini adalah masa metamorfosa republik dari kekuasaan otoritarian ke demokrasi.
Perubahan revolusioner tersebut antara lain terlihat pada implementasi otonomi daerah, pemilihan presiden dan wakil-presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, penerapan sistem bikameral di legislatif sehingga daerah terwakili secara lebih nyata, penguatan posisi legislatif (DPR) dihadapan eksekutif, dan terakhir pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Pilkada langsung merupakan salah satu wujud desentralisasi politik di mana setiap daerah memiliki kewenangan untuk membentuk institusi politiknya sendiri.
Berbagai perubahan tersebut memunculkan harapan akan lancarnya transisi demokrasi sehingga bangsa ini bisa mencapai konsolidasi demokrasi. Dari keempat perubahan revolusioner tersebut, pilkada langsung akan terus berproses dari satu daerah ke daerah lainnya dan menjadi penentu tercapainya konsolidasi demokrasi.
Selama tahun 2005, Indonesia melakukan 226 pemilihan kepala daerah untuk tingkat provinsi, kota dan kabupaten. Juni–Agustus 2005 merupakan aktivitas pilkada terbanyak, yakni 181 daerah. Sisanya, 45 daerah, memilih kepala daerah mereka pada September sampai Desember.
Praksis Pilkada
Idealnya, Pilkada langsung yang merupakan bagian penting dari reformasi politik dapat menjadikan transisi demokrasi sampai pada tujuan, yaitu demokrasi yang terkonsolidasi. Pentingnya pilkada langsung terlihat dari sorotan pers yang luar biasa. Pada bulan Juni 2005 paling tidak terdapat 340 berita seputar pilkada langsung yang dilansir oleh berbagai media cetak nasional. Sementara bulan Juli 2005, perhatian pers meningkat sehingga paling tidak terdapat 470 berita seputar pilkada langsung.
Dengan pilkada langsung, diharapkan dapat dicapai akuntabilitas kepala daerah dan terciptanya pelayanan publik yang lebih baik. Good governance akan lebih cepat terwujud karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan.
Dengan menerjemahkan secara bebas teori transisi demokrasi Juan J. Linz (1996), paling tidak terdapat empat prasyarat Pilkada agar momen rotasi kepemimpinan daerah ini berperan dalam berjalannya transisi menuju konsolidasi demokrasi. Keempat prasyarat tersebut adalah: para politisi dan partai politik menerapkan cara-cara yang baik dalam meraih kekuasaan, KPUD dan pelaksana di lapangan bekerja dengan baik, masyarakat dapat memilih dengan bebas sesuai hati nuraninya, dan terciptanya hukum yang tegak atas berbagai konflik yang muncul sebelum, selama, dan sesudah pilkada. Mari kita lihat satu per satu parameter tersebut, mulai dari politisi, KPUD, masyarakat, dan terakhir, hukum.
Moralis Politis
Apakah politisi kita telah menerapkan cara-cara yang baik dalam meraih kekuasaan? Apakah mereka menahan diri untuk tidak melakukan money politics? Apakah mereka menghindari perilaku curang? Apakah partai politik telah menjalankan fungsi rekrutmen politik dengan baik?
Tampaknya harapan untuk terciptanya demokrasi yang terkonsolidasi, akuntabilitas kepala daerah, pelayanan publik yang lebih baik, dan good governance masih jauh panggang daripada api. Pilkada yang telah berlangsung terlihat amat kental dengan money politics. Para politisi kita terlihat dekat dengan cara-cara kotor tersebut.
Di sisi lain, partai politik lebih terlihat hanya sebagai calo yang mengutip sejumlah dana dalam setiap rekrutmen politik di hampir semua daerah. Padahal di pilkada ini, partai politik mengemban tugas mulia untuk mencari calon-calon pemimpin alternatif yang memiliki integritas tinggi, memiliki visi yang jauh ke depan untuk membawa daerahnya pada kemajuan, dan mampu menjadi pemimpin yang negarawan.
Pilkada yang sebelumnya diharapkan dapat mengikis habis praktik politik kotor, money politics , yang marak terjadi ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD, ternyata tidak terwujud. Yang terjadi adalah pergeseran sasaran praktik money politics, yang sebelumnya terjadi antara calon kepala daerah dengan para anggota DPRD kini beralih ke partai politik dan pihak-pihak lain yang memiliki sumber daya ekonomi.
Dengan memakai istilah Immanuel Kant , para politisi kita lebih terlihat sebagai moralis politis daripada politisi moralis. Kant (1980: 37) mengatakan bahwa moralis politis adalah “one who forges a morality in such a way that it conforms to the statesman’s advantage”. Politisi yang bermental moralis politis ini selalu mereka-reka moralitas sedemikian rupa sehingga sesuai bagi keuntungan dirinya. Moralis politis ini melihat politik sebagai persoalan teknis, bagaimana mencapai kekuasaan dengan segala cara, menghalalkan segala cara. Sedangkan politisi moralis adalah politisi yang senantiasa memilih prinsip-prinsip kecerdikan bernegara sedemikian rupa sehingga sejalan dengan prinsip-prinsip moral. Kant (1980:37) mengatakan ”one who so chooses political principles that they are consistent with those of morality”. Politisi moralis melihat politik sebagai persoalan etis. Jadi, seorang politisi moralis tetap harus cerdik dalam melihat peluang politik, namun dia harus punya intensi moral.
Sayang, para politisi kita yang berlaga di pilkada adalah para moralis politis yang dalam melakukan langkah-langkah politiknya tidak lagi mengindahkan moral. Mereka bahkan mempermainkan nilai-nilai moral untuk keuntungan pribadinya. Bagi-bagi uang dan sembako menjelang pemilihan mereka katakan sebagai peduli pada orang miskin, menyebarkan alqur’an dengan foto diri di dalamnya dikatakan sebagai syiar agama, dan banyak lagi perilaku politisi yang mereka-reka moral sehingga sesuai bagi keuntungan pribadinya.
Sedikitnya terdapat dua lokus money politics yang dipraktikkan oleh para politisi yang bermental moralis politis dalam pilkada. Pertama, pada tahapan sebelum pelaksanaan pilkada. Sesuai ketentuan UU No. 32/2004 pasal 56 yang menyebutkan bahwa pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, maka pada tahap pra-penetapan calon, pasangan calon kepala daerah harus mencari partai politik sebagai kendaraan di arena kompetisi pilkada. Kondisi ini memunculkan money politics untuk “sewa perahu”.
Partai-partai tidak lagi menjaring dan menyaring calon yang kredibel, akseptabel dan kapabel. Seperti disebutkan di atas, mereka hanya berperan sebagai calo. Parahnya, ada dugaan bahwa partai politik hanya mengutip sejumlah dana tanpa memberikan dukungan yang maksimal terhadap kandidat yang dijagokannya itu. Terdapat analisa bahwa partai politik kurang berperan dalam pemenangan suatu pasangan calon yang diusungnya. Mereka hanya mengincar uang sewa perahunya saja.
Elit partai dengan leluasa dapat menerapkan praktik percaloan ini karena sistem rekrutmen politik yang oligarkis dan cenderung tertutup. Cara rekrutmen seperti ini rawan money politics. Faktor dana yang disetor kepada partai (elit partai) jauh lebih menentukan diusungnya seseorang yang melamar pada partai tersebut. Transaksi seperti ini marak di hampir seluruh partai politik menjelang pilkada. Akibatnya, calon terpilih bukan politisi yang baik, mereka adalah para moralis politis. Mereka bukan tipe pemimpin yang memiliki integritas dan komitmen tinggi untuk melayani masyarakat dan memiliki visi jauh ke depan. Tetapi mereka hanya penguasa dengan karakter individualis dan tanpa visi. Realitas banyak ”bergentayangannya” para bupati di Jakarta merupakan contoh para kepala daerah yang tidak memiliki visi jauh ke depan tersebut. Apalagi kalau alasan mereka berkeliaran di ibu kota adalah untuk ”menjemput bola” menyangkut berbagai dana bantuan pusat untuk daerah.
Di satu sisi, seringnya bupati setiap daerah hadir di Jakarta untuk kepentingan itu menunjukkan betapa administrasi pemerintahan masih sentralistik. Berbagai daerah tersebut sebenarnya belum otonom; dan melihat motif kehadiran mereka di Jakarta adalah untuk mengupayakan dana-dana pusat untuk daerahnya , maka dari sisi pembiayaan pembangunan, daerah masih sangat tergantung pada pusat. Secara objektif, mereka tidak semakin baik, dilihat dari sisi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Di sisi lain, kepala daerah yang kebanyakan merupakan produk demokrasi perwakilan (dipilih oleh DPRD) dengan aroma suap yang kental terlihat tidak punya inisiatif untuk mandiri. Inilah bukti buruknya kualitas kepala daerah yang dihasilkan dari demokrasi beraroma money politics. Jabatan kepala daerah dilihat tidak lebih sebagai mata pencaharian dan kekuasaan. Baginya, yang terpenting adalah ”kembali modal”.
Dengan pemilihan langsung, seharusnya dihasilkan kepala daerah yang kredibel dan memiliki visi jauh ke depan. Karena itu, praktik politik oligarki harus dihentikan. Hilangnya politik oligarki juga akan memunculkan aktor-aktor politik alternatif. Hal ini karena kesempatan politik menjadi terbuka lebar.
Dalam satu tulisannya, Haris (2005: 325) mengatakan “Sistem multipartai baru memberikan kontribusi dalam meramaikan proses demokrasi, sehingga para aktor politik yang terlibat di dalamnya jauh lebih beragam dibandingkan para aktor politik dalam era Orde Baru”. Namun di pilkada (yang masih kental dengan warna politik oligarki), tampaknya keberagaman aktor politik tersebut adalah semu belaka. Masyarakat tidak mendapatkan calon pemimpin daerah alternatif yang bisa dipilih. Semua kandidat adalah seragam, yaitu orang yang menghalalkan segala cara untuk dapat berlaga di pilkada, termasuk dengan menyuap partai politik (elit partai politik).
Kedua, money politics terjadi pada arena kompetisi, mulai saat kampanye sampai detik-detik menjelang pencoblosan. Karena mahalnya biaya kampanye dan iklan, setiap kontestan pilkada memerlukan kucuran dana amat besar dan tidak mungkin di dapatkan hanya dari sumbangan normal sesuai ketentuan undang-undang . Akibatnya mereka melanggar ketentuan batas sumbangan. Mereka mendapat sumbangan dari para kapitalis yang berkepentingan dengan daerah pemilihan tersebut. Anehnya, tidak ada satupun pihak yang “berteriak” melihat keadaan ini, KPUD, para pengawas, dan masyarakat diam seribu bahasa seolah tidak mengetahui akan pelanggaran yang telah dilakukan para kandidat. Kondisi ini diperparah oleh belum adanya standar audit dana kampanye.
Money politics pada tahap tersebut terjadi dalam bentuk penyuapan langsung berupa uang atau barang-barang yang bisa dikonversi ke uang kepada KPUD, pelaksana pilkada di lapangan, tokoh-tokoh masyarakat dan para pemilih. Praktik ini biasaya berlangsung pada saat menjelang pencoblosan.
Selain kental dengan money politics, pilkada juga diwarnai oleh kecurangan. Kontestan tertentu curang dengan cara memasukkan pemilih dari luar daerah pemilihan. Kecurangan salah satu kontestan ini pada akhirnya menimbulkan konflik.
Saat pentas politik sudah dipenuhi money politics, tidak ada lagi akal budi. Semuanya tenggelam dalam tumpukan dan permainan uang. Dalam kondisi tersebut, tidak ada lagi keseimbangan dalam persaingan, sifat fairness hilang dengan sendirinya. Inilah momen dimana demokrasi dikuasai oleh kekuatan kapital.
Praksis ini tentu saja menghambat proses konsolidasi demokrasi. Dampak dari money politics tersebut adalah munculnya suatu loyalitas seperti yang disebutkan Taufiq Ismail (1998: 28) dalam salah satu puisinya sebagai monoloyalitas uang. Suatu loyalitas yang hanya menghamba pada pemilik uang, bukan kepada kebaikan rakyat dan negara. Ujung dari monoloyalitas ini adalah terjadinya “perselingkuhan” antara kepala daerah terpilih dengan pemilik uang yang mendukungnya saat pilkada .
Para pemilik uang (kapitalis) menempatkan sumbangan untuk kampanye sebagai investasi yang nantinya akan memperoleh imbalan (Djani, 2004: 24). Maka tidak mengherankan jika berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan terpilih adalah untuk memenuhi kepentingan kroni politik tersebut. Jangan heran jika para kepala daerah yang merupakan produk pilkada yang penuh persekongkolan penguasa dan pengusaha ini akan dengan ganas menghisap segala sumber daya yang ada di daerahnya untuk digunakan sebagai bayar utang kepada para kroni. Mereka akan membiarkan pembalakan hutan, mark up dalam setiap proyek pembangunan, dan perilaku jahat lainnya. Pendeknya, mereka tidak akan segan-segan mengorbankan kepentingan rakyat untuk memenuhi pemberian imbalan.
Erat hubungannya dengan money politics, pilkada yang telah berlangsung juga diwarnai penyalahgunaan kekuasaan oleh calon yang masih menjabat (incumbent). Mayoritas pilkada di Kabupaten/Kota dimenangkan oleh incumbents dan bureaucrats daerah. Sulit bagi politisi pendatang baru untuk memenangkan kompetisi. Tabel 2 adalah berita di koran yang memperlihatkan betapa kuatnya para incumbent.
Tingginya angka kemenangan incumbents disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, karena banyaknya sumber daya keuangan yang dimiliki (dan minimnya kesadaran moral). Incumbents cenderung melakukan money politics. Kebanyakan incumbent memiliki sumber daya keuangan yang amat kuat, baik keuangan pribadi ataupun dari sumber keuangan lain seperti dari pengusaha lokal dan uang negara. Hal ini menyebabkan mereka terseret untuk melakukan segala cara termasuk money politics.
Kedua, incumbent memiliki peluang untuk memanfaatkan infrastruktur, jaringan birokrasi, dan berbagai sumber daya lainnya. Pemakaian berbagai infrastruktur dan jaringan birokrasi ini menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam kompetisi.
Ketiga, kemungkinan adanya dukungan dari militer setempat. TNI memiliki kecenderungan mendukung incumbent. Kemungkinan ini tidak terlepas dari pertimbangan strategis mereka di masa depan. Mereka memperhitungkan bahwa para incumbent lebih mudah memenangkan kompetisi sehingga akan menguntungkan jika memberikan dukungan terhadapnya.
Konflik

Pilkada yang telah berlangsung diwarnai berbagai konflik. Selain akibat adanya kecurangan yang dilakukan kontestan dan KPUD, konflik kadang-kadang disulut oleh kontestan yang tidak siap kalah. Setelah mengetahui dirinya kalah dalam pertarungan pilkada, dia mengerahkan para pendukungnya untuk protes ke KPUD dengan dalih ada kekeliruan dalam penghitungan atau tuduhan lainnya.
Di beberapa daerah, berbagai aksi protes dan demonstrasi seperti itu berujung pada anarkisme massa . Mereka menghancurkan berbagai sarana dan prasarana daerah, baik milik pemerintah ataupun milik perseorangan.
Kecurangan tidak hanya dilakukan oleh kontestan yang sedang bersaing dalam pilkada. KPUD dan para pelaksana di lapangan pun ditengarai berbuat curang. Tabel 4 memperlihatkan pemberitaan koran yang mempublikasi kecurangan KPUD dan para pelaksana di lapangan tersebut. Mereka tidak netral dan diam-diam memihak pada salah satu pasangan.
Kondisi ini diperparah dengan aturan yang mengatakan bahwa KPUD bertanggung jawab pada publik. Bagaimana mekanisme pertanggung jawabannya? Publik yang mana yang memiliki otoritas untuk melakukan penilaian? Hal ini tidak tertera secara jelas dalam aturan pilkada. Kondisi ini sama saja dengan tidak ada pertanggungjawaban. Artinya, KPUD dapat berbuat sewenang-wenang.
Kecurangan yang dilakukan oleh KPUD dan para pelaksananya di lapangan ini membuahkan konflik berupa amarah sebagian pemilih yang seringkali berujung pada anarki. Konflik antara pendukung salah satu calon dengan KPUD ini merupakan jenis konflik yang paling banyak muncul.
Selain itu, konflik juga terjadi akibat adanya warga tidak terdata sebagai pemilih (Kesalahan ada di Dinas Kependudukan dan KPUD). Kekisruhan pilkada akibat daftar pemilih yang bermasalah sebenarnya bisa dihindari jika KPUD secara aktif melakukan validasi data yang mereka terima dari Dinas Kependudukan.
Masyarakat dan Hukum
Dari sisi masyarakat, sebenarnya kondisi politik sekarang ini telah memungkinkan bagi masyarakat untuk memilih dengan bebas sesuai hati nuraninya. Sayangnya, masih terlihat emosi yang tinggi di masyarakat. Di beberapa tempat, terlihat masyarakat belum dewasa.
Kondisi tersebut sebenarnya dapat dimaklumi. Hal itu terjadi karena di pilkada, mereka berhadapan dengan orang-orang yang relatif dikenal secara pribadi seperti tokoh-tokoh setempat, politisi-politisi lokal yang mungkin saja tetangganya sendiri, calo-calo politik yang mungkin masih ada hubungan kekeluargaan dengannya. Jadi, dapat dikatakan bahwa pilkada merupakan medan problematik yang bersifat personal.
Selain itu, kuatnya ikatan primordial membuat para pemilih tidak mampu mengekpresikan kebebasannya. Dalam melakukan pemilihan, mereka kelihatannya masih terikat oleh aliran masing-masing. Kaum nahdliyin, misalnya, sulit untuk memilih calon yang bukan dari kalangan nahdliyin sendiri, meskipun kandidat dari kalangan lain memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menjadi pemimpin daerah. Ditinjau secara mental, pemilih belum memiliki kebebasan individu sepenuhnya.
Faktor terakhir yang menentukan bagi konsolidasi demokrasi adalah penegakkan hukum. Hal ini terkait dengan fungsi lembaga pengadilan yang merupakan lembaga tempat penyelesaian konflik yang terjadi dalam pilkada . Hal ini penting bagi penyelesaian yang adil setiap masalah-masalah yang muncul selama pilkada.
Pengadilan jangan sampai membuat putusan yang tidak adil sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Dalam kasus pilkada Depok, misalnya, pengadilan tinggi Jawa Barat membuat resah masyarakat karena terlihat sembarangan dalam memutuskan perkara. Di satu sisi masyarakat memang diminta untuk menghormati putusan pengadilan. Namun di sisi lain, pengadilan juga harus memutuskan dengan adil dan melalui penelitian yang mendalam. Hal ini untuk menghindari, seperti dikatakan Isra (Kompas, 2005), pengadilan dijadikan cara lain untuk memenangkan proses pemilihan kepala daerah.
Selain itu, penegakkan hukum penting untuk meredam money politics. Praktik money politics dilakukan oleh para calon kepala daerah adalah selain karena sanksinya ringan juga kenyataan bahwa hukum di negeri ini dapat dibeli. Otoritas hukum dan para pakar perlu memikirkan bagaimana cara menegakkan hukum dan memperberat sanksi pelanggar aturan pilkada.
Tergelincir ke Demokrasi Kulit
Realitas di atas memunculkan kekhawatiran, yaitu adanya kecenderungan praktik demokrasi hanya sebatas kulit saja. Secara prosedural, ciri-ciri praktik demokrasi telah dilakukan, proses pilkada berjalan sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan undang-undang dan peraturan lainnya. Secara prosedural pula dapat dikatakan bahwa pastisipasi masyarakat dalam proses pilkada dapat diwujudkan, meskipun terdapat angka pemilih yang tidak melakukan pemilihan (golput) yang cukup tinggi . Selain itu, dilihat dari sisi prosedur juga, distorsi aspirasi rakyat yang disebabkan oleh praktik ”dagang sapi” yang seringkali muncul di era sistem pemilihan melalui perwakilan, tidak ada lagi.
Meskipun di beberapa daerah terjadi kerusuhan dan aksi anarkis, namun bila dilihat secara keseluruhan, peristiwa yang mencoreng pilkada tidak signifikan. Secara umum, mayoritas pilkada telah berjalan dengan baik. Berbagai masalah dapat diselesaikan dengan baik sehingga bentrokan dan kekerasan tidak sampai mengancam stabilitas negara secara keseluruhan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa beberapa bentrokan tersebut hanya merupakan riak-riak kecil dari prosedur demokrasi yang sedang dijalani. Mayoritas pilkada telah melewati prosedur yang telah ditetapkan.
Namun secara substansial, mayoritas pilkada belum mencerminkan hakekat demokrasi . Proses pilkada belum memenuhi seluruh prinsip-prinsip umum pemilu yang demokratis, yaitu langsung, umum, bebas dan rahasia. Politisi dan partai politik masih menerapkan praktik politik kotor seperti money politics, kecurangan-kecurangan dan intimidasi. Di sisi lain, penyelenggara pilkada banyak yang berbuat curang. Selain itu, masyarakat masih belum sepenuhnya otonom terutama bila ditinjau secara mental dan penegakkan hukum masih patut dipertanyakan.
Parameter untuk mempermudah pencapaian demokrasi yang substansial adalah seperti yang diuraikan di atas. Pertama, politisi dan partai politik telah menerapkan cara-cara yang baik dalam meraih kekuasaan. Kedua, KPUD dan pelaksana di lapangan bekerja dengan baik. Ketiga, masyarakat dapat memilih dengan bebas sesuai hati nuraninya. Keempat, terciptanya hukum yang tegak.
Pada saat keempat parameter ini tidak ditemukan dalam praktik pilkada, maka dapat dikatakan Indonesia masih belum mencapai konsolidasi demokrasi. Demokrasi di negeri ini masih sebatas demokrasi kulit, sekedar sesuai dengan prosedur. Meskipun demokrasi terkait erat dengan prosedur dan menurut beberapa pihak parameter demokrasi memang hanya sebatas berjalannya berbagai prosedur, namun bukan berarti substansi tidak perlu diperhatikan.
Di dalam demokrasi yang hanya sebatas kulit saja, politik simulakrum menjelma menjadi strategi pemenangan yang ampuh. Masyarakat pemilih tak ubahnya seperti seorang gadis yang dibujuk rayu dan ditipu untuk menyerahkan mahkotanya dan setelah itu ditinggal begitu saja. Politik menjadi terbatas pada seduksi dan retorika, yang terpenting adalah memenangkan permainan persepsi publik.
Kondisi ini berakibat pada tidak tersentuhnya masalah-masalah riil di masyarakat. Pemimpin sibuk dengan pencitraan. Mereka sama sekali tidak peduli dengan realitas. Akhirnya terjadi degradasi kualitas pemimpin dan pemerintahan daerah. Jika hal ini terjadi maka kepentingan rakyat akan semakin terabaikan, KKN akan semakin meruyak ke seluruh sendi pemerintahan, dan kehidupan bernegara akan semakin terpuruk.
Politik Primordial dan Rasionalitas
Demokrasi semakin tergelincir karena masih tumbuh suburnya politik primordial dan belum matangnya rasionalitas masyarakat. Kedua hal ini menjadikan demokrasi hanya sekedar kulit, sesuai dengan prosedur yang tertera pada undang-undang namun kedaulatan rakyat belum benar-benar terwujud.
Karena ada ikatan primordial, rakyat tidak benar-benar bebas. Di sini, belenggu akan kebebasan tidak datang dari luar. Belenggu ini datang dari dalam diri sendiri karena merasa terikat oleh suatu aliran tertentu. Dalam pilkada, belenggu semakin kuat karena kentalnya unsur emosi. Rakyat belum hidup dalam kebebasan sebagai individu yang utuh. Mereka lebih terlihat sebagai bagian dari suatu komunitas tertentu yang terikat sepenuhnya oleh sifat primordialisme komunitas itu.
Padahal kebebasan amat penting bagi demokrasi. Terdapat hubungan timbal balik antara kebebasan dan demokrasi. Kebebasan warga negara ini menurut Robert A. Dahl merupakan salah satu elemen dasar demokrasi. Dahl (1989: 233) mengatakan bahwa suatu pemerintahan disebut demokratis apabila “Citizens have an effectively enforced right to freedom of expression, particularly political expression, including criticism of the officials…”. Dengan dijunjung tingginya kebebasan, proses demokrasi dapat berjalan menuju titik yang dituju, yaitu konsolidasi demokrasi. Keduanya saling mengandaikan. Di satu sisi kebebasan mensyaratkan demokrasi, di sisi lain demokrasi juga mensyaratkan adanya kebebasan.
Sebagai dampak dari keterikatan emosional kepada suatu aliran tertentu, terlihat gejala adanya dukungan buta para konstituen pada partai politik tertentu atau pada kandidat yang sealiran dengannya meskipun keberadaan mereka tidak membawa banyak perubahan politik ke arah yang lebih baik. Seburuk apapun kinerja suatu partai politik, jika dinilai kelahirannya berasal dari kelompoknya atau aliran kepercayaan yang sesuai dengannya, tetap akan didukung. Begitu juga dengan kandidat di arena pilkada, jika dia berasal dari kalangan sendiri, seburuk apapun track record kandidat tersebut, tetap akan dipilih.
Pemilihan para konstituen kepada kandidat tertentu tersebut lebih ditentukan oleh batasan-batasan primordial daripada oleh kebebasan dan otonomi individu. Batasan ini tentu saja tidak secara fisik, melainkan ada dalam batin para pemilih itu sendiri. Di kalangan kaum nahdliyin, misalnya, seburuk apapun kinerja PKB atau seorang nahdliyin yang sedang bersaing di pilkada, tetap akan mendapat dukungan dari mereka di pemilu atau pilkada. Orang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pengikut Soekarno tetap akan mendukung PDI-Perjuangan meskipun partai berlambang banteng gemuk itu terlihat berpaling dari konstituen. Dan berbagai partai politik aliran lainnya yang tetap saja mendapat dukungan buta dari para konstituen penganut aliran masing-masing meskipun kinerja partai tersebut patut dipertanyakan.

Kondisi tersebut membuat politik tidak cair. Hal ini berbahaya karena, seperti dikatakan Robert Dahl (2001: 134):
Tanpa kebebasan berpendapat (karena masih kuatnya batasan-batasan primordial dalam diri pemilih) warga negara akan segera kehilangan kapasitas mereka untuk mempengaruhi agenda keputusan-keputuan pemerintah. Warga negara yang diam (dalam belenggu primordialisme) mungkin merupakan warga yang sempurna bagi seorang penguasa yang otoriter; namun mereka akan menjadi bencana untuk sebuah demokrasi.
Dalam belenggu primordialisme ini, peta dukungan cenderung statis. Kalaupun ada perubahan, sulit untuk berubah secara radikal. Hal ini membuat partai politik dan para penguasa dapat berbuat sewenang-wenang . Pikirnya, toh kalaupun rakyat kecewa dengan perilaku sewenang-wenang yang sekarang mereka tunjukkan, rakyat akan kembali memilihnya di pemilu atau pilkada yang akan datang.
Dalam konteks ini, rakyat pemilih terlihat seperti individu yang belum rasional dalam memilih. Mereka masih terpasung oleh sekat-sekat primordial. Rasionalitas mereka terlihat belum berkembang menjadi dewasa sehingga tidak mampu mendobrak pasungan primordialisme tersebut.
Praktik oligarkis elit partai, masih tumbuh suburnya politik primordial, dan belum berkembang sepenuhnya rasionalitas masyarakat menjadikan pilkada tidak mampu berperan besar dalam mewujudkan demokrasi substansial. Dan pencapaian konsolidasi demokrasi pun masih sebatas angan-angan.
Menata Kembali Demokrasi Menuju Demokrasi Substansial

Paling tidak terdapat empat hal yang harus dilakukan untuk mencegah perkembangan proses pilkada langsung hanya menjadi sebatas praktik demokrasi kulit. Pertama, memperbaiki sistem rekrutmen, yaitu pada partai politik. Kedua, membangun sistem pilkada yang handal, termasuk di dalamnya adanya pemantau yang dapat diandalkan. Ketiga, revisi dan pembuatan aturan pilkada. Keempat, pendidikan politik rakyat.
Pertama, Partai Politik perlu diingatkan untuk berperan sebagai pelaku rekrutmen elit politik yang layak menjadi pemimpin bangsa. Partai politik jangan menjadi tempat “pemerasan” terhadap calon-calon kepala daerah. Faktor setoran dana dari seorang kandidat kepada partai (elit partai) yang sekarang sangat menentukan pengusungan seseorang yang melamar partai harus dihilangkan.
Untuk itu, sifat oligarkis partai politik dalam proses rekrutmen perlu dihindari. Salah satu caranya adalah dengan membuat proses rekrutmen lebih terbuka, misalnya, setiap partai politik yang ingin menjaring kandidat kepala daerah perlu melangsungkan konvensi. Di sini diperlukan pula tekanan dari seluruh simpul masyarakat agar partai politik benar-benar mau membuka diri dalam seluruh proses penjaringan, penyaringan, dan penentuan kandidat. Dengan cara itu penentuan kandidat tidak hanya diputuskan oleh pucuk pimpinan partai di daerah, melainkan oleh seluruh komponen partai di daerah tersebut dengan diawasi oleh seluruh lapisan mayarakat. Dengan demikian, praktik money politics untuk memenuhi kebutuhan ”sewa perahu” akan hilang.
Kedua, untuk mencegah pilkada hanya menjadi sebatas praktik demokrasi kulit adalah dengan cara membangun sistem pilkada yang handal. Seperti apakah sistem pilkada yang handal sehingga mampu mencegah praktik demokrasi kulit? Di sini, prinsip formal Kant yang disebutnya sebagai prinsip publisitas, yaitu, “bertindaklah sedemikian rupa sehingga kau dapat menghendaki maksimmu menjadi hukum umum”, patut dipertimbangkan sebagai kerangka filosofis yang akan membentuk isi yang harus dirumuskan lebih lanjut .
Pendeknya, sistem tersebut harus membuat semua langkah kontestan pilkada menjadi tembus pandang, tidak ada “siluman” dalam lalulintas uang politik. Sistem tersebut harus mampu menyortir dinamika politik sedemikian rupa sehingga hanya langkah politik yang bisa berlaku umum saja yang dapat dilakukan oleh setiap kontestan pilkada dalam usahanya memenangkan kompetisi. Tindakan menyogok tokoh masyarakat, misalnya, jika diketahui publik akan mendapat respon negatif. Artinya, perilaku tersebut tidak diharapkan publik sehingga dapat disimpulkan sebagai melanggar prinsip publisitas.
Yang tidak kalah pentingnya adalam peran pemantau pilkada. Pemantau harus dapat diandalkan untuk mengawasi proses sebelum, selama, dan setelah pilkada, termasuk mengawasi aliran dana kampanye. Hal ini penting untuk mewujudkan pikada yang jujur dan adil.
Ketiga, revisi dan pembuatan aturan pilkada. Revisi yang perlu dilakukan antara lain pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Antara lain buka kran calon independen (untuk mengurangi kemungkinan money politics/sewa perahu). Karena untuk memasuki arena pilkada hanya bisa dilakukan dengan menumpang partai politik yang jumlahnya terbatas, maka terjadi perebutan kendaraan politik tersebut. Biayanya pun menjadi amat mahal. Akibatnya setiap kandidat bergantung pada pemilik dana.
Satu-satunya cara untuk menghilangkan ketergantungan calon peserta pilkada pada kekuatan pemilik dana adalah dengan membuka sama sekali “kran” calon independen. Pintu masuk harus dibuka seluas-luasnya bagi calon yang tidak memiliki kendaraan politik. Dengan begitu, keperluan untuk membeli atau menyewa kendaraan politik akan hilang dengan sendirinya. Setiap pasangan calon bisa melenggang dengan “berjalan kaki”, suatu cara yang irit, bersih dan sehat.
Patut pula dipertimbangkan untuk memisahkan payung hukum pilkada dari undang-undang pemerintahan daerah. Pemilihan kepala daerah pada hakekatnya sama dengan pemilihan presiden-wakil presiden. Jika pemilihan presiden dan wakil presiden sudah memiliki payung hukumnya sendiri, yaitu UU No. 23 Tahun 2003, adalah wajar jika pemilihan kepala daerah diatur dengan undang-undang tersendiri yang terpisah dari undang-undang pemerintahan daerah. Aturan lain yang perlu ditinjau ulang adalah PP No. 6/2005 dan Permendagri, misalnya untuk mengatur jarak waktu pilkada putaran pertama dan kedua.
Kempat, untuk mencegah pilkada hanya menjadi sebatas praktik demokrasi kulit adalah dengan cara mengintensifkan pendidikan politik rakyat. Tugas ini berada di pundak partai politik. Pasal 9 UU No.31/2002 tentang partai politik disebutkan bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warganegara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kerusuhan di berbagai daerah merupakan warning bagi partai politik untuk melakukan introspeksi diri. Partai politik harus menjalankan undang-undang, yaitu melaksanakan pendidikan politik rakyat dan menjamin iklim politik yang kondusif (sugiarto, 2005).
Dengan pendidikan politik, paling tidak, rakyat diharapkan mampu mengenali calon kepala daerah dan partai politik yang baik sehingga mereka hanya akan memilih calon yang baik tersebut. Untuk itu diperlukan sosialisasi ke masyarakat, baik dilakukan oleh partai politik ataupun oleh KPUD, desk pilkada, dan pihak-pihak yang ”concern” terhadap masalah itu. Selain itu, pendidikan politik rakyat juga harus diarahkan ke pencapaian otonomi individu. Pendidikan ini harus mampu mengeluarkan rakyat dari belenggu primordial untuk kemudian berani menentukan pilihannya sendiri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. 
( T E R K A M )

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Rabu, 26 Januari 2011

Rakyat Pragmatis dalam Pemilihan

Jakarta, Kompas - Rendahnya kesejahteraan rakyat ditengarai sebagai pemicu timbulnya budaya pragmatis di masyarakat. Namun, tidak sepantasnya masyarakat yang disalahkan atas maraknya praktik politik uang dalam pemilihan umum kepala daerah, yang pada akhirnya menjerat sejumlah kepala daerah menjadi tersangka atau terdakwa kasus korupsi.

Pendapat itu dikatakan anggota Komisi II DPR, A Malik Haramain (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa) dan Arif Wibowo (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), di Jakarta, Selasa (25/1). ”Kenapa rakyat menjadi pragmatis? Itu karena kesejahteraan. Rendahnya kesejahteraan rakyat menimbulkan budaya politik yang rendah,” kata Malik.

Menurut Malik, tiga masalah yang membuat politik uang marak dalam pilkada adalah regulasi, peserta atau calon kepala daerah, dan budaya politik masyarakat. Regulasi pilkada belum mengatur secara detail dan tegas soal pelanggaran serta sanksi bagi peserta yang melanggar, termasuk politik uang.

Regulasi juga belum mengatur kewenangan lembaga pengawas pilkada untuk memberi sanksi. Selain sanksi tegas, seharusnya undang-undang juga mengatur pemberian kewenangan yang besar kepada lembaga pengawas pilkada untuk memberikan sanksi sampai pada tingkat pencabutan kepesertaan calon kepala daerah.

Kondisi itu diperparah pola pikir calon yang menghalalkan segala cara untuk memenangi pilkada. ”Mereka tidak memiliki fatsun untuk menang dengan melakukan cara strategis yang halal. Budaya politik saat ini memang transaksional sehingga mereka berpikir, uang adalah jalan untuk menang,” ujar Malik.

Masalah lain, pemilih, yang kini cenderung pragmatis, memilih seseorang bukan karena kemampuannya, melainkan karena uangnya. Rakyat tak bisa memilih secara rasional lantaran kesejahteraan mereka masih rendah.

Meski demikian, menurut Arif, masyarakat tidak seharusnya disalahkan sebagai penyebab maraknya politik uang. ”Mau dikasih uang atau tidak, rakyat tetap memilih, tetap mau berpartisipasi dalam pilkada,” katanya.

Menurut Arif, praktik politik uang bisa dihentikan apabila ada keinginan politik yang kuat dari calon kepala daerah untuk tidak memberikan materi kepada masyarakat. Calon kepala daerah cukup menawarkan program.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan mengakui, pemilih dalam pilkada semakin permisif dengan politik uang. Ini karena mereka kecewa terhadap elite politik, selain didukung kehidupan ekonomi yang tak menentu.

Kondisi itu, menurut Kacung, diawali pada Pemilu 1999 yang memunculkan kekecewaan rakyat kepada elite politik sehingga mereka menerima politik uang. Rakyat kecewa karena elite politik tak memberikan perubahan pascareformasi.

”Gejala politik uang muncul tahun 2004 dan makin kuat pada pilkada langsung dan Pemilu 2009. Pilkada memungkinkan transaksi langsung antara calon kepala daerah dan pemilih. Ada penawaran dari calon dan permintaan dari masyarakat,” katanya.

Kacung mengatakan, salah satu solusi yang bisa dilakukan dalam jangka pendek adalah mempertegas peraturan pilkada. Pendidikan politik harus diberikan kepada calon kepala daerah, partai politik, dan rakyat bahwa politik uang merusak sistem demokrasi serta merugikan rakyat.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Senin, 24 Januari 2011

Berdirinya Istana DPR: Sebuah Simbol Kejatuhan

“Kami bercita-cita, ingin agar DPR menghasilkan produk berkualitas. Kalau orang bilang, belum kerja sudah minta bangunan baru, kami berpikirnya jauh ke depan. Nilai Rp 1 triliun dibandingkan Rp 1.100 triliun yang diawasi oleh Dewan tidak ada artinya.” 
(Marzuki Alie_www.kompas.com)

 
Satu cerita lagi mampir ke gedung perwakilan rakyat akhir-akhir ini. Jika dulu para wakil kita ini merengek meminta penambahan gaji sekarang mereka menginginkan tempat kerja baru senilai 1.1 triliyun rupiah. Mereka berdalih pembangunan ini akan membantu mereka untuk meningkatkan kinerja dan pengawasan oleh dewan terhormat tersebut. 

Jika kita menilik gedung DPR saat ini, kapasitas bangunan ini hanya mencapai 800 orang tetapi gedung ini dipakai oleh 2500 orang. Jumlah penghuni DPR semakin banyak karena jumlah perwakilan dan staf dan asisten pribadi bertambah dari tahun ke tahun. 

Penambahan jumlah penghuni tersebut sayangnya tidak diikuti dengan semakin banyaknya aspirasi masyarakat yang ditangkap oleh jaring DPR. Malah yang ada adalah guyonan dari ulah tingkah laku DPR yang menjurus pada suatu tindakan yang tidak bermoral. 

Zaman dahulu pernah ada sepenggal cerita pada masa pemerintahan Sa’ad di wilayah Madain yang saat itu jatuh ke tangan orang muslim. Pada awalnya pasukan Islam merasa tidak cocok dengan wilayah yang ditempatinya. Atas ijin khalifah, maka pemimpin Sa’ad berpindah ke tempat yang lebih nyaman di daerah Kufah. Setelah memperoleh tempat yang aman mereka mendirikan bangunan agar mereka dapat tinggal dengan layak. 

Beberapa tahun kemudian terdengar cerita mengenai pemerintahan Sa’ad dan istana megahnya ke telinga khalifah. Lalu khalifah mengutus perwakilan untuk menemui Sa’ad di istananya. Utusan itu membawa surat yang berbunyi “Sudah sampai beritanya kepada saya bahwa engkau mendirikan gedung yang megah untuk dirimu sendiri. Di depannya engkau dirikan gapura yang memisahkan engkau dan rakyatmu.gedung itu bukanlah gedungmu, tetapi gedung keruntuhanmu karena telah memisahkan dirimu dengan rakyatmu”

Membaca surat itu maka Sa’ad langsung merobohkan tembok pembatas yang megah beserta istananya. 

Gedung DPR saat ini adalah gedung mewah diatas gubuk-gubuk sederhana milik rakyatnya. Di dalam gedung itu perwakilan rakyat berbicara mengenai kemiskinan dan hak-hak rakyat kecil yang terabaikan. Bagaimana mereka mampu merasakan penderitaan rakyat jika mereka terus merengek meminta tunjangan dan kenyamanan. Sungguh hal yang miris apabila pembangunan gedung ini tidak dilatarbelakangi dari pelajaran atas sejarah masa lalu. Gedung DPR yang saat ini eksklusif hanyalah pembatas antara wakil rakyat dengan rakyatnya.

Tengok saja para demonstran yang mengalami kesulitan untuk memasuki gedung itu hanya ingin menuntaskan haknya menyampaikan aspirasi rakyat. Gedung DPR adalah sebuah simbol kedaulatan rakyat. Jika pembangunan itu mudah diakses oleh rakyat maka DPR tidak akan mengulang sejarah yang berlalu. Tetapi jika gedung itu hanyalah sebuah simbol kemewahan, maka sesungguhnya itu adalah simbol kejatuhan.  
   

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Minggu, 23 Januari 2011

Konsepsi Hukum yang Ekivalen Dalam Penegakan Supremasi Hukum Bagi Masyarakat Kelas Bawah Serta Distribusi Bantuan Hukum yang Memadai

Ada yang terasa menggangu disaat kita melihat realita yang terjadi di masyarakat dewasa ini. Gaung Supremasi Hukum tak pernah terdengar. Ketimpangan hukum terjadi di mana-mana dan seolah –olah hukum merupakan hal yang abstrakis serta dapat dipelintir sesuai dengan status sosial masyarakat. Menilik beragai kasus yang muncul di media selama ini sebenarnya adalah bukti kuat bahwa pembuat hukum dan para pratiksi hukum di negara ini membutuhkan uang lebih dalam melanjutkan hidupnya sehingga siapa yang mempunyai uang lebih maka ia akan dibantu habis-habisan.

Hukum macam apa yang cocok untuk kultur bangsa ini. Semua sumber hukumnya lengkap dan memadai hasil dari padanan hukum kolonial ditambah perumusan selanjutnya yang dirumuskan putra bangsa sendiri. Ada apa gerangan jika kini hukum dinegara ini dikatakan lebih menghukum warganya sendiri sebelum ia terhukum. Luar biasa! Ini adalah pandangan yang bukan pandangan relatif di masyarakat lagi. Ini menjadi pandangan umum bahwa hukum memang telah menjadi rahasia umum bahwa ia adalah barang yang dapat dibeli dengan harga yang cocok. Bertaburan para pengacara di media masa dalam menjaalankan bisnisnya adalah hasil dari betapa kerasnya hukum di negara ini dikelola. 

Dari kebanyakan terdakwa hukum yang bisa didampingi pengacara adalah sekelompok orang yang mampu membeli jasanya? Lalu bagaimana dengan masyarakat kelas bawah dalam membela dirinya yang merupakan hak asasinya. Akankah mereka dicampakkan begitu saja dengan memberikan bantuan hukum seadanya bahkan tak bisa didampingi. Sebuah pertanyaan bergulir dalam benak kita? Untuk siapakah hukum bangsa ini ? apakah para tersangka yang ada di bui kini tak semuanya oranya yang bersalah dimata hukum namun ia adalah orang yang buta dengan hukum parahnya tak pernah ada pensehat hukum yang membantunya alih-alih dengan tak tersedianya dana untuk membeli jasa tersebut. Hukum merupakan suatu aturan yang sangat mengikat. Namun jika tali pengikat itu adalah sebuah belenggu yang rapuh akakah ia bertahan lama. Akankah hukum dibangsa ini akan terus dipertahankan, ditengah carut marut yang stabilitas politik bangsa ini sangat memungkinkan adanya praktek intervensi hukum yang sangat lazim dimasyarakat di masa lalu. Hak msyarakat untuk memdapatkan pebeleaan dalam peradilan yang seharusnya diurusi oleh para penasehatnya pun hanya angan –angan belaka terjadi di masyarakat. Dapat dibanding jika seorang pecuri ayam saja bisa terpenjara selama lima tahun jika dibandingkan dengan para koruptor yang hanya dipenjara sekitar satu sampai dua tahun. Itulah tempat dimana bergeraknya bantuan hukum yang lincah di negeri ini. 

Masyarakat di bangsa ini sangatlah rendah mutu pendidikannya sehingga dapat dimungkin jika mereka buta akan hukum yang ada dibangsa ini. Yang mereka tahu hanyalah norma-norma yang tersiar di mayarakat yang tak mengikat namun hanya memberikan sebuah perasaan di hatinya. Dalam mengetahau seberapa pahamnya masyarakat tentang hukum mereka sendiri yaiatu menjadikan pendidikan sebagai tolak ukur yang ampuh walaupun hal ini tak mutlak. Kita bericara realita sosial yang terjadi di mayarakat sekarang. Bantuan hukum terhadap mereka tak memadai. perlu sebuah aturan yang menjamin masyarakat dapat memberikan kekuatan bagi mereka untuk menggugat hukuman yang mereka terima paling kecil adalah diberikan suara untuk sedikit membela dirinya. Sehingga Supremasi hukun dapat diterima dengan lapang dada tentunya dengan harapan mereka tahu konsepsi hukumnya sendiri.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified