Minggu, 26 September 2010

Kawasan Jalur Hijau Segera Ditertibkan

BANGGAI,MERCUSUAR - Pemukiman penduduk yang terletak di Jln Sutarjo atau sekitar Pelabuhan Luwuk (Pelabuhan Feri) Luwuk dan yang berada di sekitar kawasan Gudang Dolog, telah ditetapkan sebagai jalur hijau.

Namun yang terjadi saat ini, kawasan tersebut sudah berdiri berbagai jenis bangunan, mulai bangunan darurat hingga bangunan permanen.
Kepala Bidang (Kabid) Penataan Kota dan Perdesaan, Baharuddin SP MSi di kantornya, kemarin (11/3) mengatakan, sekitar pelabuhan Luwuk dan Gudang Dolog adalah kawasan jalur hijau yang sudah tidak diizinkan mendirikan bangunan. "Itu kawasan jalur hijau, bila ada yang mendirikan bangunan berarti harus menerima resiko," tuturnya kepada Mercusuar.
Kawasan jalur hijau di perkotaan telah ditetapkan jalur hijau untuk wilayah terbuka adalah 20 persen, dan 10 lainnya berada di halaman setiap rumah. Telah banyak kawasan yang telah ditetapkan jalur hijau yang salah satunya adalah di sekitar Tanjung Sari.
"Bangunan yang terletak di kawasan itu, tidak memiliki izin membangun, dan apabila suatu saat diminta meninggalkan tempat itu, jangan salahkan pemerintah," imbuhnya.
Menurutnya, beberapa kawasan yang telah ditetapkan jalur hijau, telah dilakukan sosialisasi. "Jauh sebelumnya sudah diberitahu, sehingga jangan menyesal bila nanti ditertibkan," kata Baharuddin.
Baharuddin menambahkan, seharusnya pihak kelurahan dan kecamatan lebih berperan untuk mengawasi pembangunan, khususnya yang tepat berada kawasan jalur hijau guna menghindari semakin banyaknya bangunan yang akan berdiri. Sehingga akan menyulitkan pemerintah ketika membutuhkan tempat tersebut. "Bila nanti ditertibkan, masyarakat menuding pemerintah arogan, tidak berpihak pada rakyat. Padahal sejak dahulu sudah dilarang membangun. Masyarakat harusnya bisa memahami,"

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Sudarto Paling Berpeluang (PEMILUKADA SULTENG 2011)

PALU, MERCUSUAR- Tiga nama mulai menguat untuk menjadi calon Wakil Gubernur (Cawagub) mendampingi Longki Djanggola. Tiga figur yang menguat dalam survey yang dilakukan tim independen tersebut yakni, Sudarto, Karim Hanggi, dan Nurmawati Bantilan.
Namun informasi yang dihimpun Mercusuar menyebutkan, dari tiga figur tersebut, Sudarto yang memiliki peluang paling besar untuk menjadi pendamping Longki Djanggola dalam Pemilukada Sulteng 2011.
Selain alasan popularitas dan tingkat elektabilitas yang tinggi, Sudarto yang pernah menjabat sebagai Bupati Banggai selama dua periode itu, memiliki peluang besar untuk menjadi Cawagub yang diusung salah satu partai politik calon koalisi Gerindra. Partai politik ini yang juga akan menentukan lengkapnya jumlah kursi koalisi partai politik pengusung Longki dalam Pemilukada Sulteng.
Ketua DPD Gerindra Sulteng, Longki Djanggola saat dikonfirmasi menyatakan, pihaknya belum bisa merilis hasil survey untuk menentukan Cawagub. Saat ini, data-data menyangkut survey tersebut masih dalam proses finalisasi. “Yang pasti saat ini ada empat nominator yang Cawagub yang menguat dalam survey. Saya belum bisa mempublikasikan itu. Tunggu saja saat deklarasi nanti,” kata Longki kepada wartawan usai acara pelantikan pengurus DPC Gerindra Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, dan Buol, di Palu, Jumat (24/9).
Menyangkut koalisi partai politik pengusung, selain Partai Gerindra, partai lainnya yang sudah pasti mengusung Longki adalah PKPB dan PDP. Sementara, Partai Hanura yang memiliki tiga kursi di DPRD Sulteng, hampir dipastikan pula mengusung Longki.
“Saat ini pihak DPD Hanura Sulteng sedang mengajukan hasil rekrutmen calon gubernur dan wakil gubernur ke DPP Hanura di Jakarta. Saya pendaftar tunggal calon gubernur di Hanura, sedangkan salah satu Cawagub yang mendaftar adalah Sudarto,” kata Longki.
Selain Partai Hanura, salah satu partai politik yang dinanti kepastian dukungannya oleh Longki Djanggola adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). “Tinggal dua Partai Hanura dan PPP yang kami tunggu keputusan dan rekomendasinya sebelum deklarasi. Kita lihat saja yang mana lebih dulu menerbitkan rekomendasi,” ujar Longki. OTR

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Setengah Abad UUPA 1960: Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati..!!

Lima puluh tahun yang lalu, Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria (UUPA) disahkan sebagai payung hukum agraria di Indonesia dalam merombak ketidakadilan struktur agraria warisan pemerintah kolonial. UUPA 1960 adalah realisasi dari UUD 1945 pasal 33 yang mengamanatkan kekayaan alam dan cabang produksi yang terkait hajat hidup orang banyak dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun demikian, 50 tahun sejak UUPA diundangkan, nasib petani di Indonesia tetap dalam keadaan terpuruk. Kepemilikan lahan yang sempit (< 0,2 ha) ditambah dengan jatuhnya harga-harga disaat panen menjadikan petani hidup dalam keadaan tidak layak. Berbagai usaha petani untuk mendapatkan hak atas tanah seringkali berhadapan dengan kriminalasi.

 Data BPS menunjukkan luas lahan pertanian padi di Indonesia hingga tahun 2010 tinggal 12,870 ha menyusut 0,1 % dari tahun sebelumnya 12,883 ha. Konversi lahan pertanian ke non pertanian yang semakin besar ini jika dibiarkan akan menjadikan kerawan pangan pada masa yang akan datang, bahkan kelaparan pun akan semakin menggejala. Hal ini ditambah dengan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tentang Gabah dan Beras sebagai mekanisme perlindungan terhadap nasib rumah tangga petani sawah yang tidak efektif. HPP masih menguntungkan segelintir pedagang, mekanisme pengawasan masih sangat lemah.

Pemerintah Indonesia dalam APBN 2010 telah mengalokasikan subsidi pupuk sebesar Rp 14,8 triliun. Angka subsidi itu terdiri atas subsidi harga pupuk sebesar Rp 11,3 triliun turun dari yang seharusnya 17,5 triliun, bantuan langsung pupuk (BLP) Rp 1,6 triliun dan subsidi unit pengolahan pupuk organik sebesar Rp 105 milliar.Pengurangan subsidi ini akan memberikan dampak yang nyata bagi rumah tangga petani, sebab harga eceran tertinggi pupuk dipastikan akan naik. Pengalaman menunjukkan, dengan adanya kelangkaan pupuk dan disertai dengan mahalnya harga menyebabkan turunnya produktifitas tanaman padi dan pada gilirannya akan mengakibatkan turunnya kesejahteraan petani.

Melihat fakta diatas, kami yang merupakan bagian dari Panitia Peringatan Hari Tani Nasional Ke-50 menuntut  kepada pemerintah Indonesia dalam ini Presiden Republik Indonesia, DPR RI, Kementrian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional dan Kepolisian :
  1. Redistribusikan segera 9,6 juta ha tanah kepada rakyat tani
  2. Tertibkan dan dayagunakan tanah terlantar untuk reforma agraria
  3. Bentuk Komisi Adhoc Penyelesaian konflik agraria dan Pelaksana Reforma Agraria
  4. Cabut UU Sektoral ( Perkebunan, Kehutanan, Sumber Daya Air,  Pangan, Pertambangan, Penanaman Modal, Sistem Budidaya Tanaman, Perlindungan Varietas Tanaman,dan lainnya) karena bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan  UUPA 1960
  5. Tolak Kriminalisasi Petani dalam penyelesaian konflik agraria dan buat UU Hak Asasi Petani
  6. Naikkan HPP Gabah dan Beras sebesar 20%, Bulog harus membeli langsung ke petani
  7. Jadikan tanggal 24 september sebagai Hari Tani Nasional

Jakarta, 22 September 2010

Aliansi Petani Indonesia (API), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)  Solidaritas Anak Jalanan Untuk Demokrasi (SALUD)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

PENUHI KETAHANAN PANGAN MELALUI TIGA ASPEK

Sebagai sebuah negara besar dengan jumlah penduduk yang besar, permasalahan ketahanan pangan di Indonesia menjadi hal yang krusial. Diperlukan langkah yang komprehensif dan konsisten dalam menciptakan kondisi yang ideal.
Terkait dengan ketahanan pangan, menurut Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi, Agroindustri dan Biomedika (TAB) BPPT, Listyani Wijayanti (8/09), dapat dilihat dari tiga aspek penting. “Aspek ketersediaan, aspek aksesibilitas dan aspek konsumsi merupakan aspek yang harus dipenuhi. Misalnya aspek ketersedian, artinya jumlah produksi harus stabil, ajeg. Sedangkan aspek aksesibilitas berhubungan dengan bagaimana masyarakat dapat menjangkau pangan tersebut, kemudahan dalam mendapatkan ketersediaan pangan tersebut”, jelasnya

Untuk aspek konsumsi, Listyani mengatakan bahwa diversifikasi atau penganekaragaman pangan penting untuk menciptakan keamanan pangan. “Kita, masyarakat Indonesia selalu merasa tidak pernah puas apabila belum makan nasi dari beras. Padahal dulu kita mengenal adanya sumber-sumber lain yang sama bagusnya dengan beras, seperti jagung dan sagu”.

Seperti yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat Kerja Nasional di Tampak Siring Bali beberapa waktu lalu, bahwa Presiden menaruh perhatian besar terhadap ketahanan pangan dengan menetapkan Ketahanan Pangan sebagai salah satu dari 10 Arah Pembangunan Ekonomi Nasional sampai lima tahun mendatang.
“Kami dari Kedeputian TAB akan mendukung program prioritas nasional tersebut, misalnya yang terkait dengan produksi pertanian. Selain itu kami juga akan menggencarkan promosi hasil rekayasa Kedeputian TAB, yakni Ikan Nila Gesit yang memiliki keunggulan dapat menghasilkan anakan berupa benih unggul yang sekitar 96-100% adalah monosex jantan GMT (Genetically Male Tilapia). Anakan ini memiliki ukuran seragam dan akan tumbuh lebih cepat dibandingkan populasi ikan Nila biasa”, terang Listyani lanjut. (YRA/humas)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Pentingnya Konsep Keseimbangan Di Sektor Pertanian

Rinaldi Nursatria Ananda Persoalan substansi dalam sektor pertanian adalah terletak pada orang-orang yang berada dalam lingkup sektor tersebut. sejauh mana tingkat kepekaan mereka dalam mengeluarkan kebijakan dalam pengambilan keputusan yang bermafaat bagi sektor pertanian secara luas. Disinilah peran pemangku kepentingan (stake holder) sangat dibutuhkan dalam memberikan kontribusinya dalam pembangunan di sektor yang terbilang andalan ini. Salah satunya tidak terlepas dari kapasitas dan kapabilitas dalam memaknai aktifitasnya masing-masing. Mulai dari kegiatan hulu (on farm), sampai kepada hilir (off farm).

Dalam mata rantai kegiatan sistem pertanian tersebut tentunya terkait erat bagaimana menyelaraskan kegiatan-kegiatan tersebut ke dalam konsep kaidah-kaidah alam agar tidak berdampak negatif pada ekosistem yang ada. Salah satunya adalah keseimbangan yang harus dipahami oleh semua pelaku pertanian. Konsep keseimbangan inilah yang bisa memberikan semua jawaban atas berbagai ketidak semibangan yang terjadi selama ini yang menyebabkan sektor pertanian terus mengalami keterpurukan. Letaknya sejauh mana tingkat kesadaran dan kepekaan mereka untuk memahami bahwa usaha pertanian tidak lepas dari alam, dan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Jika direnungi lebih dalam, bahwa berbagai kebijakan di sektor pertanian yang telah di gelontorkan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian adalah hasil dari pemikiran-pemikiran yang rasional dan intelektual dari pejabat pertanian itu sendiri. Mereka masih berkutat pada rasionalitas dibanding dengan kecerdasan spiritual mereka. Di akui disinilah letak sulitnya jika kita analisa secara holistik kekeliruan dan kekisruhan yang terjadi pada sektor pertanian khususnya.

Makanya alam semesta dan sektor pertanian terasa sulit untuk bangkit karena persoalan yang sangat substansial ini belum di temukan pemecehannya. Meskipun para pejabat di lingkup pertanian mulai dari tingkat Kementerian Pertanian hingga ke tingkat desa, syukur sekali jika ada yang paham persoalan yang tengah saya bahas ini. Sekali lagi persoalannya memang sangat kompleks. Karena menyangkut sumberdaya manusia yang berkepentingan dalam sektor pertanian ini.

Sumberdaya manusia pertanian beragam kapasitas dan kapabilitasnya. Termasuk visi misi dan motifnya. Namun mereka semua akan bertemu di satu titik nantinya. Yakni hasil. Tetapi apakah hasil itu nantinya sudah memberikan keseimbangan dalam kehidupan? Sejauhmana manfaat dari hasil tersebut baik itu positif maupun negatif. Misal kita ambil contoh beberapa waktu lalu : Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian) mengeluarkan kebijakan nasional “Peningkatan Produksi Beras Nasional” (P2BN), yang telah dicanangkan di beberapa daerah propinsi di Negeri kita. Jika program nasional ini di analisa memang sangat layak (feasible) bagi peningkatan kesejahteraan petani sekaligus bisa memenuhi kebutuhan pangan nasional. Namun faktanya, setelah program tersebut berjalan dan selesai dilakukan yang ada hanyalah kerugian para petani bahkan berimbas pada kerusakan lahan, tanah dan air.

Belum lagi dana yang digunakan berasal dari hasil uang rakyat. Mereka hanya berkutat pada kemauan yang emosional (ego intelektual) dengan hitungan di atas kertas. Tanpa mempertimbangkan hitungan dampak alam atau keseimbangan. Lantas pertanyaannya : Beginikah kualitas kerja para pejabat atau pengambil kebijakan di lingkup pertanian yang rata-rata lulusan Doktor dan sebagian Professor?

Artinya pola pikir dan paradigma pejabat pertanian mulai dari tingkat pusat (Kementerian) sampai tingkat daerah (Dinas Propinsi, Kab/kota) adalah sama dan terstruktur secara hirarki yakni tidak memikirkan dampak apa yang terjadi setelah program gerakan ini dicanangkan olehnya. Bukan jaminan bahwa mereka telah melakukan studi sampai S3 sekalipun tanpa pernah menemukan konsep keseimbangan dalam dirinya.

Sekarang kita kembali ke masalah anggaran dalam program heboh itu. Lalu, berapa uang yang habis digunakan dalam pembelian sarana produksi pertanian “saprodi”, seperti : pupuk, pestisida, alsintan, dsb. Ironisnya, malah petani mendera kerugian dalam program ini dikarenakan berbagai masalah iklim seperti banjir, hama tikus, penyakit tanaman, yang berakibat petani mengalami gagal panen. Disinilah letak rumitnya jika mengandalkan kebijakan pemerintah hasil dari ego intelektual tanpa dilandasi kecerdasan spiritual. Semakin rumit dan kusut jika tidak ada upaya dan kemauan yang keras dari pihak pemerintah untuk menemukan inti permasalahan yang mendera sektor pertanian selama ini.

Jika pemerintah mau jujur dan terbuka, ada sebuah konsep yang bisa untuk menemukan penyelasaian permasalahan tersebut agar tidak berlarut-larut. Konsep tesebut berada dalam program pemberdayaan petani yang akan di gagas (LSM Petani Center) kedepan. Konsep ini sangat jelas dimana kita melakukan pembekalan kepada para petani sebagai pelaku langsung di lapangan. Yakni bagaimana mereka melakukan usahatani atau bercocok tanam dengan memahami kaidah-kaidah alam. Termasuk perlakuan penggunaan pupuk dan pestisida yang selaras dengan alam. Ringkasnya bagaimana memberikan metode pemahaman dalam usaha taninya dengan sebuah metode keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual para petani. Jika para petani telah memahami konsep keseimbangan tersebut, saya yakin program kebijakan yang ditawarkan pemerintah setidaknya bisa dilakukan dengan baik tentunta dengan ramah lingkungan. Ada semacam posisi tawar yang interaktif antara petani dan pemerintah dan begitupula antara petani dan alam semesta.

Selanjutnya konsep inilah yang bisa mengantisipasi tantangan global dalam sektor pertanian di Negara kita. Ketika kedaulatan pangan menjadi sebuah isu global sangat menghawatirkan, dimana Negara-negara di dunia termasuk Indonesia melalui para ahli pertaniannya yang khusus menangangi masalah pangan, terus berpikir bagaimana mengantisipasi kekurangan pangan dengan pertambahan penduduk dunia yang terus meningkat tidak berbanding lurus dengan tingkat konsumsi. Mereka terus mengulir otak untuk menemukan format dan konsep yang akan di jadikan sebuah “blue print” dalam menjawab tantangan globaliasasi tersebut. Semua itu adalah akumulatif dari hasil pemikiran kecerdasan intelektual mereka. Tanpa ada pemahaman keseimbangan di dalam hasil pemikiran tersebut. Semua kembali ke dalam konsep keseimbangan yang ada dalam diri manusia, yakni kecerdasan spiritual.

Terkadang saya merenung cenung, mengapa mereka sejauh itu untuk mencari dan menemukan konsep keseimbangan itu? apakah mungkin karena mereka tak paham ataukah sudah saatnya dunia dan alam semesta (mutlak) melewati sebuah involusi akibat dari ulah manusia sendiri? Semuanya bisa terjawab dengan melakukan hasil ekperimen di laboratorium yang ada dalam diri kita masing-masing. Selanjutnya hasil eksperimen tersebut adalah hasil temuan yang sangat empirik tentunya di topang oleh kaidah-kaidah ilmiah yang ada. Itulah yang akan memberikan keseimbangan dalam sektor pertanian yang telah terjerumus ke dalam berbagai kerusakan akibat kebijakan yang tidak tepat. Bagi saya, tak ada kata terlambat untuk memulai. Dan saat ini konsep tersebut telah dipraktikkan secara parsial di beberapa titik lokasi di Sulsel dan terbukti secara signifikan bisa memberikan keseimbangan dalam ekosistem pertanian yang ada di areal lahan pertanian tersebut.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified