Sabtu, 18 Desember 2010

Monarki, Demokrasi dan KHILAFAH

Polemik seputar keistimewaan DIY belum berakhir. Pemerintah melalui RUUK tetap ngotot menginginkan pemilihan Gubernur DIY seperti propinsi-propinsi lainnya. Sementara pihak Kraton Yogya dan umumnya masyarakat Yogya berkeras pada opsi penetapan , bukan pemilihan. Polemik ini semakin panas ketika SBY menyatakan sistem monarki tidak mungkin diterapkan, karena akan bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values).
Beberapa catatan kritis menurut perspektif Islam perlu diberikan untuk fenomena ini. Pertama, seharusnya masing-masing pihak mempunyai satu rujukan yang sama untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang ada. Dalam Islam, setiap perselisihan wajib dikembalikan kepada rujukan wahyu, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah (QS An-Nisaa` : 59).
Semestinya masing-masing pihak merujuk pada referensi ilahi itu. Namun nampaknya hal ini tidak terjadi. Kedua pihak justru mengembalikan persoalan ini bukan pada referensi Al-Qur`an dan As-Sunnah, melainkan pada referensi-referensi lain yang ilegal menurut kacamata hukum Islam. Partai Demokrat melalui Ruhut Sitompul mengatakan dasar sikap mereka adalah survei LSI yang menemukan 71 % masyarakat Yogya setuju pemilihan Gubernur DIY(pemilu kada). Sedang pihak yang pro penetapan, di antaranya Golkar, juga menyandarkan pada survei yang konon hasilnya 70 % masyarakat Yogya pro penetapan, bukan pemilihan. Masyarakat Yogya juga menyandarkan pada referensi sejarah. Khususnya ketika Kraton Yogyakarta menggabungkan diri dengan NKRI, yang imbal baliknya Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Sesungguhnya, survei dan sejarah bukanlah rujukan normatif yang benar menurut Islam. Rujukan ini memang seakan-akan bernilai benar dengan sendirinya karena memang cara berpikir kita telah didominasi dan dikooptasi oleh perspektif Positivisme dalam filsafat hukum. Perspektif ini benar-benar telah merusak cara berpikir kita, karena ia mengajarkan bahwa hukum atau pranata hidup itu tidak perlu didasarkan pada agama (Al-Qur`an dan As-Sunnah), melainkan cukup pada fakta-fakta empiris dalam masyarakat. Esensi aliran Positivisme dalam filsafat hukum seperti kata H.L.A Hart adalah that laws are commands of human being (hukum adalah perintah dari manusia). (Prasetyo dan Barakatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, hal. 97).
Jadi hukum menurut prespektif ini adalah man made (buatan manusia). Dengan kata lain, hukum bukan berasal dari norma agama. Maka mengembalikan polemik keistimewaan DIY ini kepada argumen sejarah, atau argumen survei, atau argumen apa pun selain Al-Qur`an dan As-Sunnah, jelas merupakan kekeliruan metodologis yang parah.
Kedua,catatan berikutnya adalah mengenai pemilihan Gubernur. Dalam Islam, Gubernur (Wali) bukanlah hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh Kepala Negara (Khalifah). Dalam kitab-kitab hadits dan juga sirah dapat dibuktikan bahwa gubernur-gubernur dalam propinsi-propinsi pemerintahan Islam dulu, selalu diangkat oleh Rasulullah SAW sebagai kepala negara. Misalnya Muadz bin Jabal yang diangkat sebagai gubernur propinsi Yaman. Juga Ziyad bin Labid yang diangkat Rasulullah SAW sebagai gubernur propinsi Hadhramaut, serta Abu Musa Al-Asyari sebagai gubernur propinsi Zabid dan Aden. (Atha` bin Khalil, Ajhizah Daulah al-Khilafah, hal. 73).
Walhasil, jika diukur dengan timbangan Syariah Islam, pengangkatan gubernur itu hanyalah melalui pengangkatan oleh khalifah (kepala negara). Bukan lewat cara pemilihan (pemilu kada) oleh rakyat di propinsi yang bersangkutan, bukan pula melalui cara penetapan secara otomatis sebagai jabatan yang diwariskan secara turun temurun.
Ketiga,catatan ketiga adalah tentang pernyataan SBY bahwa sistem monarki bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values). Ini pernyataan dangkal dan menunjukkan SBY kurang membaca literatur sejarah dan ilmu politik. Karena secara faktual tak selalu sistem monarki tak bisa dikawinkan dengan demokrasi. Bahkan untuk konteks propinsi DIY, pernyataan SBY memang boleh dikatakan ngawur. Mengapa demikian? Sebab sejak bergabung dengan NKRI, berakhir sudah sistem monarki Kerajaan (Kesultanan?) Yogyakarta Hadiningrat. Setelah itu, yang ada di DIY bukan sistem monarki melainkan propinsi yang mempunyai keistimewaan, yaitu Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Jadi yang ada ialah propinsi dengan sisa-sisa sistem monarki, khususnya dalam pengangkatan eksekutif, bukan sistem monarkinya itu sendiri. Karena sistem monarki adalah sebuah istilah teknis untuk bentuk negara, bukan bentuk propinsi. (Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta : Bumi Aksara, 1990, hal. 57-58; M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Medan : Mandar Maju, hal. 54-55).
Namun harus dikatakan, bahwa pengangkatan Khalifah (Imam) sebagai kepala negara dalam Islam bukanlah melalui sistem pewarisan, melainkan harus merupakan hasil pilihan umat. Itulah yang terjadi pada empat khalifah pertama dalam Islam, yang semuanya berkuasa setelah dipilih oleh umat.
Memang dalam sejarah Islam kekhilafahan didominasi oleh suatu dinasti (bani) tertentu untuk kurun waktu tertentu. Dikenallah kemudian Khilafah Bani Umayah, Khilafah Bani Abbasiyah, dan Khilafah Bani Utsmaniyah (yang berakhir 1924). Namun kejadian sejarah ini tidaklah mewakili ajaran Islam yang murni. Fakta sejarah ini justru menunjukkan terjadinya distorsi atau bias dalam implementasi Syariah Islam di bidang kekuasaan.
Namun penyimpangan ini tidak sampai menghapuskan secara total karakter bentuk pemerintahan Khilafah. Karena bagaimanapun juga khalifah-khalifah itu tetap dibaiat, bukan semata-mata mendapat kekuasaan secara turun temurun. Maka bentuk negaranya tetap sah sebagai Khilafah, hanya saja memang terpengaruh oleh salah satu unsur sistem monarki, yaitu pewarisan kekuasaan. Karena itu, Syaikh Hisyam Al-Badrani, seorang ulama Irak kontemporer, menyebut sistem pemerintahan pasca Khulafaur Rasyidin sebagai Al-Khilafah ala Minhaj Al-Mulk (Khilafah, tapi mengikuti metode monarki dalam pengangkatan penguasanya). (Hisyam Al-Badrani, an-Nizham al-Siyasi Bada Hadmi Al-Khilafah, hal. 12.(
Karenanya memang tidak bisa dipersalahkan sepenuhnya, ketika Mataram Islam sejak Sultan Agung (w. 1646) juga mencontoh model suksesi kepemimpinan secara turun temurun. Wong yang menjadi contoh saat itu (Khilafah Utsmaniyah) memang sudah keliru dalam praktik pengangkatan Khalifah. Sejarah mencatat, pada sekitar tahun 1640 Sultan Agung telah menjalin hubungan internasional dengan Khilafah Utsmaniyah melalui Syarif Makkah (gubernur untuk wilayah Makkah dan sekitarnya). Hasilnya adalah gelar Sultan yang kemudian secara resmi disematkan di depan namanya. (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1500-2004, Jakarta : Serambi, 2005, hal. 111; Musyrifa Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 147).
Kami katakan tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, karena sistem pewarisan tahta turun temurun yang diadopsi oleh Mataram saat itu, telah mengambil model yang salah dan terdistorsi dari Khilafah Utsmaniyah. Atau bisa jadi pewarisan tahta itu sekedar meneruskan apa yang dianggap lumrah sejak era sebelumnya, misalnya sejak jaman Kesultanan Demak dan Pajang yang menjadi cikal-bakal Mataram. Jadi pengambilan cara pewarisan tahta ini barangkali terjadi di luar kesengajaan, karena saat itu memang tak ada model ideal yang betul-betul mencerminkan ajaran Islam yang murni.
Namun tegas kami nyatakan, kesalahan semacam itu tak boleh lagi diterus-teruskan. Yang sudah ya sudah. Semoga Allah SWT mengampuni kesalahan kita. Namun untuk ke depan, sesuai ajaran Islam, pemimpin haruslah hasil pilihan rakyat, bukan terangkat secara otomatis secara turun temurun.
Keempat, catatan terakhir, kami ingin menegaskan demokrasi tidak selalu identik dengan pemilihan pemimpin oleh rakyat. Maka dari itu, ketika kami menyatakan bahwa bahwa pemimpin haruslah dipilih oleh rakyat, bukan berarti kami setuju dengan demokrasi.
Mengapa demikian? Sebab esensi demokrasi sebenarnya bukan pada prinsip pemimpin adalah pilihan rakyat, melainkan pada prinsip bahwa peraturan itu adalah buatan manusia (kedaulatan rakyat). Dalam pandangan Islam, haram hukumnya manusia membuat sendiri hukum atau aturan hidup. Hanya Allah saja yang berhak menetapkan hukum (QS Al-Anaam : 57).
Jadi, Islam tidak menyalahkan demokrasi jika yang dimaksud adalah pemimpin merupakan hasil pilihan rakyat. Namun Islam juga tidak membenarkan prinsip itu sepenuhnya. Sebab meski pemimpin dipilih oleh rakyat, dalam demokrasi pemimpin pilihan rakyat itu akan menjalankan hukum buatan manusia. Sedang dalam Islam, pemimpin pilihan rakyat itu hanya menjalankan hukum Syariat Islam, bukan hukum buatan manusia.
Maka dari itu, jelas sekali SBY nampak dangkal ketika mempertentangkan monarki dengan demokrasi dalam konteks pemilihan gubernur DIY. Pendirian SBY itu mengisyaratkan bahwa esensi demokrasi dalam pikirannya hanyalah pemilihan, yakni pemimpin hendaknya hasil pilihan rakyat. Padahal, kalaupun itu dikatakan bagian demokrasi, sifatnya hanya prinsip sekunder saja dan bukan ide khas demokrasi. Prinsip primer dan ide khas dalam demokrasi justru adalah memberikan otoritas kepada manusia (bukan kepada Tuhan) hak membuat hukum. Inilah prinsip primer demokrasi yang justru terabaikan oleh SBY.
Kesimpulannya, memang sulit bagi muslim untuk menyikapi polemik keistimewaan DIY sekarang ini. Penetapan atau pemilihan, bukanlah pilihan-pilihan yang benar. Namun yang jelas, Islam mengatakan tidak untuk pemilihan (pemilu kada), karena gubernur dalam pandangan Islam bukan hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh kepala negara (khalifah). Islam juga mengatakan tidak untuk penetapan, karena Islam tidak mengenal proses pewarisan kekuasaan yang turun temurun. Islam juga mengatakan tidak untuk demokrasi, karena demokrasi memaksakan sebuah prinsip yang fatal sekali kekeliruannya menurut Islam, yaitu manusia diberi hak membuat hukum.
Yang benar, seorang gubernur (wali) dalam Islam itu diangkat oleh Khalifah (kepala negara), bukan dipilih oleh rakyat. Dan proses ini tentu harus dijalankan dalam bentuk negara yang benar sesuai ajaran Islam, yaitu sistem Khilafah, bukan sistem republik (demokrasi) seperti yang ada sekarang. Wallahu alam.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Sabtu, 04 Desember 2010

Are we equal in Democracy?

Are we equal?


(Apakah kita sama?)
 
Siapa yang tidak kenal dengan demokrasi dewasa ini. Atmosfer demokrasi sangat kuat kita rasakan dalam bidang politik saat ini. Bahkan suatu negara yang tidak menganut paham ini akan dianggap “salah”. Arus demokrasi berkembang pesat tidak hanya dibidang politik, tetapi juga ekonomi yang ditandai dengan kesempatan bagi semua orang untuk memasuki pasar dan memperoleh taraf hidup yang layak.
Konsep demokrasi diawali dengan tuntutan persamaan (egalite) dan kebebasan (liberte) pemerintah terhadap rakyatnya. Pemerintah yang dikehendaki pun berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Dijelaskan dalam Declaration of independence pada trahun 1776 bahwa untuk menjamin hak-hak rakyat, dibentuklah pemerintah-pemerintah di kalangan umat manusia, yang mendapatkan kekuasaan yang sah karena memperoleh persetujuan dari rakyat yang diperintah.  
Pemerintah memperoleh otoritas dari rakyat untuk menjamin hak-hak warganya tercapai dan terjamin. Tidak ada bentrokan kepentingan antar warga negara sehingga kehidupan masyarakat dapat terjamin.
Konsep diatas baru menjelaskan konsep demokrasi pada suatu negara. Lalu bagaimana dengan demokrasi antar warga-warga di dunia dan antar negara di dunia? Kalau kita melihat sistem pemerintah, mayoritas negara di dunia menganut demokrasi. Pertanyaannya apakah demokrasi ini mampu menjamin kesetaraan hak sesama masyarakat dunia dan mampu menjamin perdamaian dunia? Jangan-jangan saat ini kita telah dicuci otak dengan hegemoni demokrasi dan menganggap sistem inilah yang paling sempurna dan benar tanpa pikiran kritis kita.
Mengenai persamaan, dalam kitab-kitab suci tentu kita mengenal ras-ras unggul. Jadi secara lahiriah manusia secara keturunan genetik memang diciptakan berbeda dan ada yang lebih unggul dari yang lain. Jika kita membaca jurnal-jurnal yang ditulis oleh Nietzsche kita juga akan menemui manusia unggul. Dalam jurnal-jurnalnya kita akan mendapati istilah-istilah overman atau superman yang mendeskripsikan mengenai manusia unggul.
Memang Nietzsche tidak pernah mengatakan bahwa secara genetik ada suatu jenis ras tertentu yang lebih unggul dari yang lain. Ia percaya bahwa manusia unggul itu diciptakan dan ditumbuhkan dalam tiga hal yaitu kekuatan, kecerdasan dan kebanggaan.
Bagi Nietzsche demokrasi yang ada saat ini sudah menyalahi hukum alamiah manusia yang berusaha untuk lebih unggul dari yang lainnya. Tentu saja kita juga menyadari bahwa kita ingin menjadi lebih baik lagi. Kita ingin menjadi lebih unggul dari yang lain.
Kita dapat mengambil contoh dalam kehidupan bermasyarakat kita. Tentu ada semacam persaingan atau setidaknya keinginan untuk lebih unggul dalam bidang ekonomi. Dalam kehidupan antar negara, jika dunia ini hanya mengenal demokrasi kenapa ada hak veto di dalam PBB yang memberikan hak khusus bagi negera-negara tertentu. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan ketidaksamaan dalam ranah demokrasi dunia saat ini.
Memang jika kita menyinggung keadilan, ada berbagai konsep keadilan yang menjadi suatu persepsi manusia untuk mendapat hak dan menjalankan kewajibannya. Suatu dikatakan sama jika telah dianggap adil. Jadi keadilan dapat bersifat subyektif karena lebih bersifat persepsi manusia dan ada berbagai macam konsep keadilan.
Demokrasi dan konsep yang dibawanya terkait dengan persamaan sesama manusia mungkin bisa terjadi dalam suatu kondisi tertentu. Tetapi jika kita melihat berbagai fenomena sosial yang terjadi saat ini, banyak hal yang menunjukkan ketidaksamaan. Jadi demokrasi yang ada saat ini lebih terkesan tipuan saja, agar yang unggul dipersepsikan bertindak adil dan diposisikan sama dengan yang lain.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Kamis, 02 Desember 2010

Perlawanan Manusiawi ala Good Governance

Walaupun sering disingggahi oleh berbagai masalah dan bencana, perjalanan hidup Indonesia ternyata selalu bergerak kedepan. Berbagai permasalahan yang terjadi bisa saja terjadi karena efek dari proses yang selama ini berjalan. Menurut Huntington, seorang penyokong gagasan Demokrasi Scumptarian, menyebutkan bahwa untuk menilai bahwa demokrasi telah berjalan dengan baik diperlukan tes dua kali penyerahan kekuasaan yang dilakukan secara damai. Indonesia telah membuktikannya melalui dua kali penyerahan demokratis dari rezim Gus Dur hingga SBY. Padahal jika kita melirik negara adidaya seperti Amerika Serikat, mereka baru mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan politiknya pada tahun 1840.
    Saat ini Indonesia masih berada pada masa transisi, yaitu perpindahan dari masa otoriterian ke demokrasi. Berdasarkan pemikiran Huntington, ketika sebuah negara memasuki masa transisi maka akan terjadi berbagai permasalahan terkait dengan proses transisi tersebut. Huntington menggolongkan masalah tersebut menjadi masalah sistemik dan masalah kontekstual. Masalah sistemik adalah masalah yang timbul dari sistem demokrasi yang diterapkan oleh suatu negara. Masalah tersebut dapat berupa ketidakmampuan menciptakan sebuah solusi atas suatu permasalahan, mudah terpengaruh oleh demagogi, dan dominasi politik oleh golongan elite.
    Masalah kontekstual terkait dengan budaya, perekonomian dan sejarah. Masalah-masalah itu dapat terwujud dalam pemberontakan, konflik komunal, kemiskinan, ketimpangan sosial, inflasi, hutang luar negeri, laju pertumbuhan yang rendah dan korupsi. Permasalahan tersebut bersifat endemik, berakar kuat dalam kehidupan pemerintahan. Tengok saja kasus korupsi yang tidak pernah henti-hentinya memenuhi kolom-kolom dalam surat kabar. Permasalahan tersebut merupakan penyakit akut bagi Indonesia dan telah bertransformasi sebagai metode bekerja dari sistem politik. Merupakan hal yang sangat menjijikkan karena tanpa korupsi maka eksplorasi tambang, revisi undang-undang, dan pembangunan lainnya akan terhambat oleh sistem birokrasi yang rumit.
    Tetapi buat apa pembangunan yang menciptakan menara-menara megah serta lampu-lampu gemerlap jika hal tersebut diperoleh dari perbuatan yang hina. Bagaimanapun sebuah kemajuan atau perbaikan tidak akan bisa dilakukan dengan memberikan racun pada tubuh negara ini.
    Menurut Transparancy International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya .
    Konseptualisasi dari korupsi adalah menguatnya monopoli dan diskresi dalam pemerintahan yang disertai dengan menurunnya akuntabilitas. Monopoli dan diskresi yang merajalela akan menyebabkan tingkat partisipasi kompetitif menghilang. Misalnya penentuan tender yang diserahkan pada pejabat tertentu. Sistem tersebut akan memberikan peluang bagi pejabat untuk memenangkan tender bagi pihak tertentu dengan imbalan komisi yang akan diterimanya. Diskresi minus akuntabilitas akan menyebabkan kesewenang-wenangan. Misalnya adalah jual beli kebijakan.
    Salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya korupsi adalah rendahnya moralitas politisi. Dalam menjalankan pemerintahan mereka sering terlibat dalam kepentingan pribadi maupun kelompoknya sehingga mengurangi tingkat obyektivitas. Hal itu menyebabkan terjadinya disintegrasi dalam pemerintahan sehingga visi dan misi menjadi tumbal karena mereka lebih mengutamakan kepentingan mereka. Pembangunan pun mengalami disorientasi karena tidak ada kesamaan arah.
    Sistem demokrasi yang dimotori oleh modal menjadi alasan mereka untuk menumpuk kekayaan baik pribadi maupun partai. Biaya politik yang sangat besar terkait dengan kampanye atau pemilu menjadi faktor pemicu. Hal itu ditambah dengan terbatasnya suatu partai untuk memperoleh dana karena sumber keuangan hanya berasal dari pemerintah dan donatur saja. Sementara biaya untuk melakukan kampanye sangat tinggi sehingga memaksa para politikus untuk melakukan korupsi. Pemerintahan yang kotor atau korup harus segera diberantas karena sangat merugikan negara baik dari segi finansial maupun sosial.
    Akibat pemerintahan yang korup maka subsidi untuk rakyat miskin menjadi berkurang, pembangunan yang dilakukan tidak maksimal karena dana pembagunan ditilep. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tidak akan tercapai selama korupsi masih mengakar kuat di Indonesia. Menurut Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Arie Soelendro, kerugian negara akibat tindak pidana korupsi selama tahun 2004 hingga April 2005 saja mencapai Rp 3,551 triliun dan US$ 74,6 juta atau Rp 716,2 miliar (dengan kurs Rp 9.600 per US$ 1) . Sebuah angka fantastis yang ditengah jeritan rakyat yang mengalami kesusahan untuk menghidupi kehidupannya.
    Perumusan solusi atas permasalahan korupsi di indonesia tidaklah semudah membalikkan tangan. Diperlukan usaha preventif dan represif atas pemyimpangan tersebut. Tetapi selama ini upaya pemerintah untuk mengatasi korupsi hanya terfokus pada tindakan represif atau penindakan terhadap kasus korupsi. Akibatnya korupsi seakan-akan selalu muncul. Apalagi ditambah dengan sistem penindakan dan sistem sangsi yang belum optimal, maka kasus korupsi akan sulit unutk diberantas. Oleh karena itu tindakan preventif juga harus dilakukan. Salah satu solusi dan tahapan pertama yang harus dilakukan untuk memberantas korupsi adalah dengan menciptakan "good governance" dalam pemerintahan Indonesia.
 "Good Governance", Pijakan Utama
Menurut Ibnu Khaldun, kekuatan atau kelemahan suatu negara bergantung kepada para pemimpin politik atau pemerintahnya. Seharusnya, pemerintah atau penguasa politik (G) mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi keadilan pada tataran pelaksanaan (S) dengan pembangunan dan pemerataan distribusi kekayaan (W).

G=f (S,N,W, g dan j)

Persamaan diatas mencerminkan karakter interdisipliner dengan memperhatikan variabel penting yang dirumuskan. Pada persamaan tersebut G dianggap sebagai variabel terikat (dependent variable) karena salah satu tujuan utamanya adalah menjelaskan kejayaan dan keruntuhan suatu negara (Chapra, 2001:155) .
    Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat ditentukan oleh peran dominan pemerintah, walau ada beberapa faktor lainnya yaitu swasta dan masyarakat. Pemerintah sebagai regulator pembuat kebijakan adalah penentu orientasi pembangunan sehingga akan menentukan tingkat kesejahteraan rakyat. Melihat kasus korupsi yang terjadi maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan rekontruksi pemerintahan agar good governance dapat tercipta.
    Menurut LAN dan BPKP definisi dari Good Governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society).
    Merujuk pada pengalaman pembangunan di negara‐negara Afrika Sub‐Sahara, argumen‐argumen tersebut dibangun pada asumsi bahwa negara (pemerintah) menjadi sumber masalah dan sumber kegagalan pembangunan. Resep yang ditawarkan adalah dengan membangun tata pemerintahan yang baik (good governance) yang pada prinsipnya mengurangi intervensi dan peran pemerintah. Dalam pandangan ini, pemerintahan yang besar (big government) seringkali menjadi sumber bagi berkembangnya kepemerintahan yang buruk (bad governance), yang menjadi sarang bagi berbagai sumber kegagalan pembangunan. Dalam mengatasi kegagalan pembangunan ini, menurut Bank Dunia, pemerintah adalah dimensi pertama yang harus direformasi .
Prinsip dasar yang menandai good governance adalah “kepastian hukum, transparansi, partisipasi, profesionalitas, dan pertanggung jawaban (akuntabilitas)”; yang dalam konteks nasional perlu ditambahkan dengan nilai dan prinsip “daya guna, hasil guna, bersih (clean government), desentralisasi, kebijakan yang serasi dan tepat, serta daya saing”.
Untuk mewujudkan nilai dan prinsip diatas maka diperlukan reformasi birokrasi yang terfokus pada pihak eksekutif dan administrasi negara yang merupakan salah satu jalur strategis bagi tercapainya good governance. Reformasi birokrasi tersebut meliputi unsur-unsur organisasi, manajemen dan sumber daya manusia (SDM).
Ketiga unsur tersebut merupakan unsur-unsur pemerintah yang harus segera dibenahi. Tetapi jika kita berbicara mengenai prioritas maka perbaikan sumber daya manusia adalah hal yang paling utama. Manusia adalah pembuat sistem sekaligus yang akan menjalankannya. Apabila kualitas SDM rendah, maka output sistem juga memiliki kualitas yang rendah.
Memang reformasi yang harus dilakukan tidak boleh dilakukan secara parsial. Namun dalam merencanakan sebuah reformasi prioritas merupakan hal yang penting karena diharapkan pemerintah akan mengetahui tingkat urgensinya. Melihat sejarah bangsa ini kita juga bisa mengamati bahwa perbaikan SDM harus menjadi prioritas utama. Berbagi modifikasi kebijakan yang saat ini pernah dilakukan belum mampu mencapai hasil yang maksimal dikarenakan kualitas dan keahlian SDM di pemerintah yang kurang kompeten.
Emosi, Yang Terlupakan
    Pemerintah Indonesia ibarat sebuah organisasi besar yang terdiri atas berbagai macam fungsi-fungsi yang saling berkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai sebuah organisasi, pemerintah juga tidak luput dari berbagai macam permasalahan yang diakibatkan dari faktor internal maupun eksternal. Permasalahan akut yang dihadapi oleh Indonesia saat ini muncul dari dalam internal pemerintahan sendiri.
    Hal tersebut dapat terjadi karena manusia-manusia yang mengisi pemerintahan saat ini belum memiliki kualifikasi layak menjadi seorang representator rakyat yang menjalankan fungsinya untuk menyejahterakan rakyat. Akibatnya permasalahan seperti konflik kepentingan, material oriented, dan yang paling parah “korupsi” masih memenuhi daftar koreksi pemerintah saat ini.
    Berbagai kebijakan atau program-program telah ditelurkan untuk memecahkan masalah tersebut, khususnya korupsi. Tetapi faktanya korupsi tetap terjadi dan menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Walaupun ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun keberadaannya yang lebih fokus sebagai lembaga penyelidik tidak akan mampu mengurangi korupsi secara signifikan karena sangsi yang diberikan pada para koruptor sangatlah ringan jika dibandingkan negara lain seperti China yang berani menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor. Sistem sangsi yang ringan tidak akan mampu memberikan efek jera sehingga seseorang tidak takut untuk melakukan pelanggaran tersebut.
    Selama ini pemerintah terlalu fokus dengan usaha represi dan kurang memperhatikan upaya preventif, akibatnya masalah tersebut selalu muncul. Oleh karena itu pemerintah harus merubah paradigma penyelesaian masalah korupsi. Salah satu usaha preventif dapat dilakukan dengan menciptakan good governance.  Sebenarnya pemerintah telah mengenalkan sistem ini sudah cukup lama, namun belum secara optimal dilaksanakan.
“There is nothing more difficult to take in hand, more perilous to conduct, or more uncertain in the success, than to take the lead in the introduction of a new order of things” (Machiavelli). Good Governance adalah sebuah tatanan baru bagi pemerintah sehingga wajar jika sulit untuk diterapkan. Namun pemerintah juga harus mengoreksi pendekatan implementasi yang digunakan, karena sistem tersebut sudah cukup lama didengungkan.
Selama ini kajian-kajian tentang perubahan dalam organisasi lebih banyak berada pada tataran rasional. Pandangan bahwa individu akan mudah menerima perubahan apabila ada penjelasan rasional merupakan pandangan umum dalam perubahan organisasi sehingga strategi perubahan organisasi mengikuti pola rasional (Bennis & Chin, 1997).
Manusia adalah faktor penting dalam perubahan suatu organisasi. Pendekatan rasional yang dilakukan saat ini bukan merupakan pendekatan yang terbaik karena belum memandang manusia secara untuh. Manusia bukan hanya sosok rasional tetapi juga sosok emosional yang melekat dalam dirinya dan mempengaruhi pola tingkah lakunya.
Implementasi tatanan baru yang tidak memandang manusia secara utuh akan mengakibatkan resistensi dalam tubuh organisasi. Resistensi yang tidak dikelola maka akan mengakibatkan kegagalan dalam implementasi tatanan baru, bahkan kegagalan organisasi. Jika melihat resistensi yang dilakukan maka kita juga akan mendapati bahwa resistensi juga melibatkan emosi, sehingga pendekatan juga harus mempertimbangkan faktor emosi.
Emosi adalah adalah istilah yang digunakan untuk keadaan mental dan fisiologis yang berhubungan dengan beragam perasaan, pikiran, dan perilaku. Emosi adalah pengalaman yang bersifat subjektif, atau dialami berdasarkan sudut pandang individu. Emosi berhubungan dengan konsep psikologi lain seperti suasana hati, temperamen, kepribadian, dan disposisi .
Untuk dapat memahami emosi sebagai bagian integral dalam perubahan organisasi, maka beberapa hal mengenai peran emosi dalam organisasi perlu diperjelas. Emosi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pemaknaan dalam proses keorganisasian, termasuk perubahan organisasi. Ketika terjadi perubahan dalam organisasi, maka akan terjadi hal-hal diluar kebiasaan organisasi, sehingga para anggota organisasi merasa terkejut /surprise, shock, bahkan merasa terancam. Emosi merupakan reaksi yang wajar secara psikologis terhadap kejadian-kejadian tersebut, dan individu akan berusaha memberikan makna terhadap kejadian tersebut, yang diluar kebiasaan. Pemaknaan ini tidak meliputi proses kognitif saja, tapi juga melibatkan emosi individu, dan kedua proses ini saling terjalin.
Emosi merupakan bagian integral dari proses adaptasi dan motivasi. Dalam kajian psikologi, emosi terutama dilihat sebagai fungsi adaptif ketika terjadi sesuatu yang mengancam individu, yang membantu penyesuaian individu terhadap situasi tertentu (flight or fight reaction). Sebagian ahli mengatakan emosi merupakan komponen penting dari motivasi individu, karena emosi akan mendorong individu untuk berperilaku tertentu (Frijda, 1993; Fineman, 2001) .
    Emosi merupakan faktor yang penting dalam sebuah organisasi. Sifat emosi dapat bersifat positif dan negatif tergantung bagaimana manajemen mengelolanya, dalam hal ini pemerintah. Oleh karena itu untuk menerapkan suatu tatanan baru pemerintah dapat melakukan rekontruksi pada level organisasi.
    Pada level organisasi pengelolaan emosi dapat dilakukan dengan memberikan ruang bagi seseorang untuk mengekspresikan emosi yang terkait dengan perubahan, menerima emosi sebagai bagian integral dari perubahan, menghargai individu yang mengalami dampak perubahan, dan memberikan penjelasan bahwa manajemen bukanlah pihak yang eksploitator atau semata-mata ditujukan bagi kepentingan kelompok tertentu.
    Keberhasilan menerapkan suatu tatanan baru, dalam hal ini terkait dengan penerapan sistem good governance, terletak pada upaya pengelolaan resistensi yang timbul akibat perubahan yang terjadi. Sistem good governance sebagai solusi atas kasus korupsi yang menjangkiti kinerja pemerintahan tidak hanya akan berakhir dalam sebuah harapan atau wacana bagi rakyat Indonesia. Semoga dengan pengelolaan emosi maka pemerintah mampu mewujudkan good governance.
Ketika Good Governance Melawan Korupsi
    Seperti yang dijelaskan diatas, dampak korupsi bagi negara dan rakyat sangat merugikan baik dari segi material maupun non material. Korupsi dapat terjadi karena dua hal. Yang pertama karena niat jahat dari pelaku untuk korupsi. Sedangkan yang kedua karena sistem pemerintahan yang memberikan celah bagi pelaku untuk melakukan korupsi.
    Tetapi jika dicermati, masalah utama yang menyebabkan terjadinya korupsi disebabkan karena terdapat celah dari sistem pemerintahan untuk melakukan korupsi. Keinginan jahat dari pelaku tidak akan menjadi sebuah kasus korupsi jika suatu sistem tidak memberikan celah untuk melakukan korupsi. Good Governance adalah sebuah sistem yang dapat menjadi suatu upaya preventif terhadap korupsi di Indonesia.
Berdasarkan prinsip Good Governance model UNDP, Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I Lembaga Administrasi Negara (PKP2A I LAN) telah mengonsep pengukuran Good Governance untuk Pemerintahan yang meliputi 8 dimensi dan 16 indikator, yaitu:
Asas Good Governance    Indikator
Taat Hukum    Kualitas pelaksanaan penegakan hukum.
Ketersediaan dasar hukum.
Partisipasi    Intensitas dan kualitas keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan.
Keterlibatan masyarakat dalam memonitor penyelenggaraan pemerintahan.
Daya Tanggap    Ketersediaan dan kejelasan mekanisme dan prosedur pengaduan
Kecepatan dan ketepatan Pemda dalam menanggapai pengaduan.
Transparansi    Ketersediaan mekanisme bagi publik untuk mengakses informasi publik.
Kecepatan dan kemudahan mendapatkan informasi
Akuntabilitas    Akuntabel pengelolaan anggaran yang dikeluarkan.
Pertanggungjawaban kinerja.
Kesetaraan    Ketersediaan jaminan semua orang untuk mendapatkan pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan.
Kualitas pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan yang tidak diskriminatif.
Efektivitas dan Efisiensi    Tingkat ketepatan pemberian pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat.
Tingkat efisiensi jalannya pemerintahan.
Visi strategik    Kejelasan arah pembangunan daerah yang direncanakan.
Konsistensi kebijakan untuk mewujudkan visi dan misi.

Apabila Indonesia telah mampu menciptakan good governance di dalam pemerintahan maka tingkat kebocoran anggaran dari kasus korupsi dapat dikurangi secara signifikan. Hal itu berdampak dengan meningkatkannya tingkat kesejahteraan rakyat karena proses pembangunan dapat dilakukan dengan optimal tanpa adanya korupsi. Tidak ada lagi dana pembangunan yang bocor atau diselewengkan yang akan membuat proses pembangunan tidak optimal.
    KPK sebagai salah satu lembaga yang memfokuskan diri pada upaya penindakan atau represif saja mampu menyelamatkan aset negara mencapai 4 Triliyun sampai tahun 2009 ini. Apalagi jika hal itu disertai dengan upaya preventif terhadap kasus korupsi. Saya kira kelak korupsi hanya akan menjadi dongeng bagi anak cucu kita.
    Dana kesejahteraan rakyat yang masih kalah besar jika dibandingkan dengan dana pemilihan umum dapat ditingkatkan atau digunakan secara optimal karena sudah seharusnya kebijakan pemerintah selalu mengedepankan kepentingan rakyat banyak. Jadi inilah perlawanan ala Good Governance yang menjadi sebuah upaya preventif dan bagi kasus korupsi di Indonesia. Semoga pijakan uatam inilah yang akan menghapuskan korupsi di Indonesia sehingga kesejahteraan menaungi setiap pelosok di negara besar ini.
 

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Selasa, 30 November 2010

Melahirkan UMKM “Pemberontak” di Era Pasar Bebas

(Memanfaatkan Peluang di Tengah Terpaan Krisis Ekonomi Global)
Krisis ekonomi global yang melanda pada tahun 2007 diawali dengan krisis perbankan di Amerika Serikat. Krisis tersebut diakibatkan karena kredit macet untuk perumahan menengah bawah atau lebih dikenal dengan subprime mortgage. Masalah tersebut kemudian menjadi pemicu timbulnya krisis perbankan di Amerika. Krisis yang terjadi di Amerika kemudian meluas ke negara-negara dunia terutama Eropa karena mayoritas negara tersebut terintegrasi dengan sistem yang sama, yaitu “pasar bebas”.
Di kawasan Asia Pasifik sendiri krisis ekonomi menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun, banyak institusi keuangan yang bangkrut, inflasi meningkat dan indeks bursa mengalami koreksi. Sebagai contoh adalah negara Singapura, pertumbuhan ekonomi Singapura mengalami penurunan akibat menurunya intensitas ekspor ke Amerika Serikat. Bahkan China yang diyakini tidak akan terganggu dengan adanya krisis, diluar dugaan juga harus merasakan efek tersebut akibat intensitas ekspor ke negara-negara di Amerika dan Eropa menurun.
Walaupun jarak antara Indonesia dan Amerika sangat jauh, namun imbas dari krisis tersebut secara nyata turut dirasakan oleh Indonesia. Petumbuhan Domestik Produk yang pada tahun 2006 mencapai 6.3 %,akibat krisis pada tahun 2009 ini hanya mencapai 6 % saja. Salah satu fakfor yang mempengaruhi PDB adalah penurunan jumlah ekspor produk Indonesia. Pada tahun 2007 net ekspor Indonesia 26.5miliar USD, sedangkan pada tahun 2008 menurun menjadi 22,3 miliar USD.
Penurunan ekpor tersebut diakibatkan karena pembatalan kontrak ekspor dari negara Amerika dan Eropa yang notabene adalah negara tujuan ekspor Indonesia. Selain itu menurunnya nilai mata uang rupiah juga mengakibatkan perusahaan eksportir harus mengeluarkan biaya lebih karena sebagian bahan baku produksi diperoleh dari impor. Pendapatan perusahaan dari ekspor pun menurun karena menurunnya nilai rupiah. Akibatnya perusahaan terpaksa melakukan efisiensi tenaga kerja agar dapat bertahan di tengah deraan krisis global saat ini.
Namun ditengah terpaan badai krisis global, tidak semerta-merta memporak-porandakan perekonomian Indonesia. Indonesia masih memiliki UMKM yang mampu tetap bertahan dari terpaan badai tersebut. Berdasarkan data UMKM pada tahun 2007 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan usaha menengah mencapai 6, 84% sedangkan usaha kecil mencapai 6, 34 %. Kontribusi terhadap ekspor juga cukup tinggi pada tahun 2007 yaitu sebesar sebesar 20,02% dari total ekspor non-migas Indonesia, sedangkan ekspor Usaha Besar (UB) masih menjadi dominasi utama bagi ekspor non-migas Indonesia sebesar 79,98%.
Namun demikian sektor UMKM juga tidak luput dari berbagai masalah. Mengingat basis usahanya adalah dari kalangan masyarakat sendiri atau lokal, industri ini masih memiliki batasan-batasan yang membuatnya sulit untuk berkembang, bahkan sulit untuk mempertahankan diri jika terjadi suatu permasalahan. Apalagi saat ini Indonesia telah memasuki pasar bebas, mau tidak mau persaingan usaha tidak hanya dalam ruang lingkup negara Indonesia tetapi seluruh dunia.
Melihat kondisi perekonomian Indonesia yang sedang didera krisis, ada berbagai masalah yang harus dihadapi oleh UMKM. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih terhadap UMKM karena mereka adalah mayoritas industri di Indonesia yang berkontribusi besar bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2008 Kontribusi UMKM terhadap PDB sebesar Rp 1.778 triliun (53,3 persen), UMKM juga mampu menyerap 96% dari tenaga kerja Indonesia. Oleh karena itu tidak ada dalih bagi pemerintah untuk mengesampingkan sektor ini.
Sebuah krisis membuat semua negara di dunia terutama di Indonesia terjun bebas dan ambruk, tetapi dibalik kejatuhan itu pasti akan ada sebuah momentum “tinggal landas” bagi perekonomian kita. Tentu saja momen itu tidak bisa ditunggu, tetapi harus diadakan atau diusahan. Melihat potensi yang dimiliki Indonesia, UMKM adalah salah satu jalan untuk meninggalkan krisis tersebut. Jika UMKM telah membuktikan eksistensinya pada krisis 1998, maka kita harus optimis terhadap sektor ini. Tetapi hal itu tidak mudah, karena diperlukan berbagai usaha untuk menciptakan UMKM yang mampu memberontak di tengah krisis dan pasar bebas ini.

Hambatan-hambatan UMKM
Krisis yang terjadi pada tahun 1998 memberikan suatu bukti bahwa UMKM mampu tetap bertahan walaupun sektor perbankan porak-poranda akibat badai krisis tersebut. Hal itu disebabkan karena UMKM tidak banyak menggunakan utang dari perbankan atau utang luar negeri, keseluruhan modal menggunakan input lokal dan orientasi produk adalah luar negeri.
Namun faktanya UMKM sering tidak mampu bertahan pada permasalahan yang terjadi akibat instabilitas perekonomian dalam negeri. Survei terhadap pelaku UMKM di DI Yogyakarta menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM menyebabkan 18.734 pelaku usaha tersebut di daerah ini semakin terpuruk, bahkan kreditnya terancam macet. Berdasarkan pengakuan UMKM, sebanyak 73% dari total responden mengatakan usaha mereka terpengaruh oleh dampak kenaikan harga BBM. Survei ini sejalan dengan survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap kenaikan biaya produksi usaha mikro sebesar 34%, usaha kecil 24,6%, dan usaha menengah 129,6%1.
Oleh karena itu diperlukan suatu analisis terhadap permasalahan yang dihadapi agar UMKM mampu bertahan dan berkembang semakin baik. Secara garis besar ada dua hambatan utama yang dihadapi oleh UMKM, yaitu dari sisi internal dan eksternal.
Faktor internal dilihat dari kacamata internal organisasi UMKM sendiri. Kebanyakan UMKM masih dikelola secara tradisional dan sederhana karena basis SDM berasal dari orang lokal dengan kualitas yang pas-pasan. Akibatnya manajemen usaha dan resiko dilakukan dengan kurang baik. Terbatasnya modal juga sering menjadi kendala bagi UMKM. Modal menjadi hal yang penting karena berpengaruh signifikan dalam proses produksi. Selain itu UMKM sering mengalami kesulitan untuk mengembangkan usaha akibat minimnya modal yang dimiliki sehingga perkembangannya stagnan. Lemahnya jaringan dan penetrasi pasar juga menjadi kendala dalam memasarkan produknya. Apalagi saat ini UMKM bersaing keras di tengah pasar bebas.
Hambatan kedua berasal dari faktor eksternal atau diluar organisasi UMKM. Hambatan itu meliputi iklim usaha yang masih labil, seperti adanya kenaikan BBM yang terjadi pada tahun 2008. Masuknya bisnis-bisnis besar ke daerah juga menambah tingkat persaingan lokal. Jika melihat faktor modal dan pengelolaanya maka UMKM tertinggal jauh dengan industri besar tersebut. Membanjirnya produk-produk luar negeri juga menjadi hambatan UMKM, karena biasanya harga produk mereka lebih murah dan berkualitas. Contohnya saat ini UMKM harus bersaing dengan produk-produk dari China dan Thailand yang terpaksa mengalihakan orientasi produknya ke pasar regional Asia akibat adanya krisis global.

Peluang UMKM di Tengah Krisis dan Pasar Bebas
Permasalahan yang terjadi akibat adanya krisis global ini dapat ditanggapi dengan berbagai macam respon. Krisis global menimbulkan efek negatif tetapi di sisi lain krisis juga mampu dipandang sebagai peluang untuk berusaha. Krisis 1998 memberikan bukti bahwa dibalik muramnya atmosfer yang kelam, sosok seorang Sandiaga S. Uno mampu memanfaatkan peluang di tengah celah-celah langit kelam itu sehingga lahirlah Recapital Advisor dan Saratoga Investama yang dapat kita lihat eksistensinya sampai saat ini.
Setiap krisis pasti memiliki periode titik tinggal landas dimana perekonomian akan membaik. Namun pertanyaannya apakah sektor usaha harus menunggu ataukah membuat peluang itu? Terkait dengan UMKM, dibalik krisis global yang menimpa Indonesia saat ini ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan.
Pada tahun 2007 pemerintah menerbitkan paket kebijakan baru sebagai tindaklanjut Instruksi Presiden No. 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembagan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Kebijakan yang ditempuh adalah penyediaan dukungan dan kemudahan untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif berskala mikro/ informal, terutama di kalangan keluarga miskin, di daerah tertinggal dan kantong-kantong kemiskinan. Pengembangan UMKM tersebut dilaksanakan melalui peningkatan kapasitas usaha dan keterampilan pengelelolaan usaha, peningkatan akses kelembagaan keuangan mikro, serta sekaligus meningkatkan kepastian dan perlindungan usahanya sehingga menjadi unit usaha yang lebih mandiri, berkelanjutan dan siap untuk tumbuh dan bersaing2. Dengan adanya kebijakan tersebut maka UMKM diharapkan akan siap bersaing dengan pesaingnya karena kemudahan-kemudahan yang diperoleh dari kebijakan tersebut.
Saat ini negara-negara di Asean dihadapkan pada perdagangan global yang syarat dengan nuansa persaingan. Untuk melindungi industri-industri di negara ASEAN maka dibentuk Asean Economic Community (AEC). Tujuan dari AEC seperti yang digariskan dalam Visi ASEAN 2020, yaitu menciptakan sebuah kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan kompetitif, yang dibarengi dengan terdapatnya kebebasan arus barang, jasa, investasi dan pekerja terampil serta arus modal yang lebih bebas, pembangunan ekonomi yang sederajat dan pengurangan tingkat kemiskinan serta perbedaan tingkat sosial ekonomi.
Pada waktu KTT ASEAN ke 12 di Cebu pada tahun 2007 menyepakati adanya percepatan AEC yaitu pada tahun 2015 dan salah satu isinya adalah meningkatkan daya saing sektor UMKM. Dengan adanya AEC tidak hanya memberikan manfaat berupa perluasan pasar namun juga perluasan kerjasama yang dapat terjalin antar negara tetangga. Kerja sama tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar ketimbang sebelum dilangsungkannya AEC.
Selain itu penemuan-penemuan dalam bidang teknologi juga dapat dijadikan peluang. Dengan adanya penemuan-penemuan baru maka UMKM dapat memanfaatkannya untuk membuat suatu produk yang baru dan unik. Penemuan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku, misalnya penemuan bahan bakar alternatif sebagai substitusi BBM.
Peluang-peluang diatas terbuka lebar bagi UMKM, tinggal bagaimana pemerintah sebagai regulator dan UMKM peka dalam memanfaatkan peluang tersebut karena mau tidak mau UMKM harus bersaing di dalam pasar global. Namun diperlukan suatu proses perbaikan UMKM agar menjadi sosok pemberontak yang kuat.

Menciptakan UMKM “pemberontak”
Badai krisis jika ditilik lebih lanjut juga memiliki celah sempit untuk berinovasi atau berusaha. Namun melihat kondisi UMKM saat ini diperlukan berbagai usaha agar UMKM siap tinggal landas dari krisis menuju pasar bebas. Apalagi saat ini UMKM sering diperlakukan sebagai anak tiri padahal UMKM memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Oleh karena itu sudah merupakan tanggung jawab kita untuk menciptakan UMKM pemberontak.
Ada beberapa komponen pemberdayaan UMKM yaitu pemerintah, perbankan, UMKM sendiri dan masyarakat. Dari sisi pemerintah, ia harus menciptakan lingkungan usaha yang kondusif sehingga UMKM dapat berusaha dengan aman. Misalnya dengan penyederhanaan perijinan usaha, peringanan pajak, atau subsidi terhadap bahan baku. Selain itu perbaikan fasilitas penunjang juga harus dilakukan secara bertahap. Tanpa adanya fasilitas penunjang yang baik, misalnya ketersediaan energi dan sarana transportasi maka UMKM akan mengalami kesulitan untuk berusaha.
Selain itu masalah permodalan yang dihadapi saat ini juga perlu diperhatikan. Walaupun saat ini perbankan sudah mulai memberi perhatian pada UMKM tetapi diperlukan regulasi dari pemerintah sebagai jaminan ketersediaan modal bagi UMKM. Progam-progam kredit lunak seperti P3KUM, SUP005, DNS-LH, KUR, SP3-Deptan perlu dilanjutkan dan disebarluaskan. Tentu saja selain pemberian kredit lunak, pemerintah juga harus memberikan pengawasan agar modal itu dapat digunakan dengan baik.
Perdagangan bebas yang mulai meluas ke seluruh penjuru dunia sering membuat UMKM kalah bersaing. Oleh karena itu pemerintah harus membuat undang-undang proteksi bagi UMKM. Jika kita melihat di pasar dalam negeri saja, kita dapat melihat UMKM kalah bersaing dengan bisnis waralaba. Jika tidak ada undang-undang proteksi, jangankan bersaing di kancah global, di pasar lokal pun meraka harus berusaha keras untuk mempertahankan industrinya.
Pemerintah juga perlu melakukan publikasi masif terhadap produk-produk UMKM di luar negeri. Publikasi diperlukan sebagai pembuka jalan bagi produk-produk tersebut ke pasaran dan untuk menarik permintaan.
Sektor perbankan tidak bisa lepas dari permberdayaan terhadap UMKM. Melihat hambatan-hambatan yang dihadapi saat ini perbankan memberikan perhatian atau hak khusus bagi UMKM. Pertama, perbankan harus membuat prosedur khusus untuk memudahkan UMKM memperoleh bantuan modal. Kedua, meningkatkan jaringan pelayanan dan SDM agar progam-progam khusus dapat disebarluaskan dan dijalankan dengan baik.
UMKM sebagai subyek utama dari permberdayaan tersebut perlu melakukan reformasi besar-besaran. Pertama, UMKM harus memperbaiki sistem kelembagaannya. Jika masih dikelola secara tradisional maka UMKM tidak akan mampu mengimbangi perubahan zaman yang sangat dinamis sehingga akan terjadi shock akibat culture lag. Akibatnya akan timbul berbagai permasalahan, misalnya masalah teknologi dan efisiensi.
Kedua, peningkatan SDM. Hal itu dapat dilakukan dengan cara mengikuti atau mengadakan pelatihan-pelatihan berkala. Pelatihan tersebut dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pemerintah atau lembaga-lembaga terkait. Dengan demikian biaya pelatihan dapat direduksi dan pelatihan tersebut dilakukan secara tersistem.
Ketiga, membuat asosiasi perkumpulan usaha sejenis. Saat ini banyak terdapat UMKM yang memiliki usaha yang sama atau sejenis. Akibatnya sering timbul persaingan dari UMKM sendiri. Oleh karena itu diperlukan asosiasi perkumpulan usaha sejenis untuk menghindari persaingan tersebut.
Keempat, menciptakan kemitraan. Selama ini kegiatan ekpor yang dilakukan oleh pihak ketiga sehingga perolehan laba UMKM menjadi berkurang dan harga produk semakin mahal karena pihak ketiga juga menginginkan laba. Jika hubungan itu dapat diubah menjadi kemitraan maka harga produk akan dapat diminimalisir.
Komponen terakhir dalam permberdayaan UMKM adalah masyarakat. Usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah dengan membeli dan menggunakan produk UMKM. Saat ini kecintaan terhadap produk dalam negeri masih rendah akibatnya UMKM sering kalah bersaing karena masyarakat lebih menyukai produk luar negeri. Diperlukan suatu gerakan dari masyarakat untuk mencintai produk dalam negeri sehingga UMKM dapat berkembang dan memberontak di era pasar bebas ini.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Hak Asasi Manusia di Indonesia: Konsepi dan Fakta Penegakan

Ketika manusia dilahirkan ia dinisbatkan menjadi seorang manusia individu dan sosial. Dibalik seorang manusia sosial ia mempunyai kewajiban sebagai bagian dari masyarakat sedangkan sebagai manusia individu ia memiliki hak-hak. Walaupun secara individual ia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri tetapi penekanan dari tanggung jawab disebabkan karena sifat manusia yang saling berinteraksi dengan yang lain sehingga dibutuhkan sebuah aturan dimana kepentingan mereka dapat terlindungi.

 Dibalik kewajiban, manusia juga memiliki hak yang harus dipenuhi. Hak adalah segala sesuatu yang berupa milik, kewenangan atau kekuasaan yang dilindungi oleh hukum. Hak tersebut melekat kepada semua manusia sehingga kita sering mengenal sebuah konsepsi mengenai hak asasi manusia.

Di dalam dimensi sebuah negara manusia yang memiliki kedudukan sebagai warga negara juga memiliki hak dan kewajiban. Kedua hal tersebut dilindungi oleh negara sebagai organisasi yang memiliki kekuasaan tertinggi. Negara mengatur hak dan kewajiban dengan norma dan nilai atau kebijakan lain yang akan menjaga warga negaranya dari perselisihan akibat bentrokan atau perbedaan kepentingan. Mungkin bisa dikatakan bahwa berdirinya sebuah negara adalah untuk melindungi kepentingan atau hak dari warga negaranya.

Kita bisa melihat bahwa setiap negara memiliki tujuan yang berbeda-beda, termasuk indonesia. Tujuan negara adalah sebuah konsep ideal yang akan memberikan arah perjalanan baginya. Di dalam tujuan tersebut pula secara tersirat maupun langsung kita akan melihat bagaimana suatu negara melihat hak-hak warga negaranya. Penulis rasa di dunia ini tidak ada satu negara pun yang memiliki tujuan yang merugikan hak-hak atau kepentingan warga negaranya karena sebuah negara tercipta karena keinginan bersama atau konsensus dari warga negeranya untuk menciptakan sebuah organisasi yang mampu menjaga kepentingannya.

Walaupun sampai saat ini kita masih banyak menemukan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh suatu negara. Di dalam ruang lingkup Indonesia baru-baru ini kita masih melihat banyak hak-hak warga negara yang dilanggar oleh negara. Hak-hak dasar yang seharusnya dijamin oleh pemerintah sampai saat ini masih belum bisa dirasakan oleh rakyat pada umumnya.

Jika kita melihat Indonesia saat ini, penulis kira perhatian pemerintah terhadap perlindungan HAM sudah semakin baik. Pembentukan komisi hak asasi manusia (Komnasham) adalah sebuah bukti bahwa pemerintah mulai lebih memerhatikan hak-hak warga negaranya. Walaupun kita masih banyak menemukan berbagai kekurangan tetapi setidaknya Indonesia saat ini masih berada dalam tahap penyesuaian dari zaman orde baru dimana persepsi otoritarianin dan pelanggaran ham melekat di zaman ini menuju sebuah negara demokrasi yang sesungguhnya.
           Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah menguraikan konsepsi HAM yang dianut oleh Indonesia dan konsepsi HAM secara internasional. Makalah ini membahas kedua konsepsi tersebut karena HAM merupakan bagian dari hukum internasional sedangkan Indonesia adalah bagian dari pemerintah dunia. Selain itu juga akan dibahas mengenai praktek perlindungan HAM di Indonesia sebagai implementasi dari konsep tersebut. Harapannya kita dapat melihat apakah Indonesia telah berada pada jalur yang tepat untuk mewujudkan tujuan nasionalnya.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Senin, 29 November 2010

Merubuhkan Pragmatisme Mahasiswa

Langkah Indonesia masih tertatih-tatih akibat berbagai permasalahan yang dideranya. Mulai permasalahan yang terjadi dari faktor eksternal maupun internal dalam pemerintahan seakan-akan tidak pernah berhenti tanpa sebuah solusi yang signifikan. Akibatnya nada-nada pesimisme muncul akibat kepasrahan akan realitas sehingga mereka menjadi makhluk masokhis.

Keadaan tersebut bukannya memperbaiki masalah tetapi malah memperburuk kondisi yang ada. Di tengah carut marut tersebut diperlukan sosok pembaharu yang akan menghantarkan Indonesia menjadi lebih baik. Sosok tersebut terdapat pada diri mahasiswa yang dikenal sebagai agent of change. Sebagai bagian dari suatu negara mahasiswa berfungsi sebagai kontrol atas berbagai penyimpangan yang terjadi. Mahasiswa adalah otokritik dalam sistem check and balance dari sistem pemerintahan demokratis.

Sejarah telah membuktikan peranan mahasiswa dalam mengubah keadaan yang tidak sesuai dengan nilai demokrasi. Sebut saja reformasi 1998 sebagai aksi nyata dari peran mahasiswa sebagai kontrol dari pemerintahan Indonesia. Namun sayangnya sejarah tersebut seakan hanyalah sebuah mitos yang melekat pada sosok seorang mahasiswa.

Mahasiswa saat ini lebih disibukkan dengan berbagai kegiatan perkuliahaan dalam kehidupan sehari-harinya sehingga melupakan fungsi sosialnya. Akibatnya kontrol mahasiswa semakin terkikis karena hanya sedikit mahasiswa yang peduli. Lebih jauh lagi rakyat seakan tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol pemerintahan karena peran mahasiswa yang semakin memudar.

Apatisme mahasiswa akibat pola pikir pragmatisme nantinya juga akan merugikan bagi mahasiswa sendiri. Oleh karena itu sudah seharusnya mahasiswa mengalihkan perhatiaannya dari buku-buku teks kepada realitas yang terjadi disekitarnya.

Ilmu yang dipelajari di dalam kelas hakikatnya berasal atau tercipta dari permasalahan yang terjadi didalam masyarakat. Oleh karena itu merupakan kewajiban mahasiswa pula untuk memberikan kontribusi atas ilmu yang diperolehnya kepada masyarakat. Dalam konteks pengawasan pemerintahan setidaknya mahasiswa peduli dengan mengkritisi kehidupan politik di dalamnya.

Merubuhkan pragmatisme mahasiswa adalah sebuah langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang mahasiswa atas peran sosialnya bagi masyarakat. Mahasiswa harus memberikan kontrol yang kuat bagi pemerintahan agar jalannya pemerintahan sesuai dengan cita-cita pembangunan yang pro dengan rakyat. Harapannya penyakit-penyakit sistemik yang berakar kuat dalam pemerintahan dapat dimusnahkan dengan kontrol yang kuat dari mahasiswa. Semoga!

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Menuju Perubahan Indonesiaku

   Indonesia dan demokrasi sudah lama berkenalan sejak awal bangsa ini mendapat pengakuan kemerdekaan. Berkali-kali pula bangsa ini tidak luput dari perombakan sistem demokrasi demi membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Namun kenyataannya kita masih belum melihat bahwa bangsa ini secara jelas mengarah kepada kebaikan yang lebih baik. Nada pesimistis tersebut muncul karena semakin menurunnya tingkat partsipasi warga negara terhadap sistem demokrasi yang ada saat ini. Buktinya, jumlah golput pada pemiliha Pilkada saat ini semakin meningkat bahkan 15 daerah pada Pilkada dimenangkan oleh golput.

            Kenyataan diatas bertentangan dengan pernyataan gaffar janedjrim, Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, dalam opininya di okezone.com yang menyatakan bahwa demokratisasi telah menguat dilihat dari penataan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Ada beberapa indikator yang menjadi argumen yaitu adanya masyarakat sipil yang otonom dan diberikan jaminan hukum kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat, adanya masyarakat politik yang diberikan kesempatan untuk bersaing secara sehat mengontrol dan menjalankan kekuasaan, dianutnya ideologi supremasi hukum, adanya birokrasi yang legal-rasional, dan terciptanya masyarakat ekonomi yang menjadi perantara antara negara dan masyarakat. Namun pertanyaannya apakah indikator tersebut merupakan esensi dari demokrasi itu sendiri? Atau apakah indikator tersebut secara nyata telah dilakukan oleh pemerintah?

Substansi dari demokrasi

            Saat ini hampir seluruh negara di dunia mengaku memiliki humum yang berdasarkan warisan kuno dari Yunani maupun Romawi yang disebut dengan demokrasi. Secara epistemologi demokrasi berasal dari kata demos yang berarti masyarakat dan kata kratein, mengatur. Menurut sejarah, sistem ini tercipta karena kelemahan sistem pemerintahan pada abad ke-6 SM. Sistem demokrasi ini merupakan sebuah respon dari kebutuhan akan perubahan maka munculah Solon yang menciptakan hukum yang peduli akan kesejahteraan dan kemiskinan dalam masyarakat.

            Jadi demokrasi bukanlah tujuan dari sistem pemerintahan, tetapi demokrasi adalah sebuah sistem yang mengatur dan menunjukkan arah bagaimana pemerintah mampu mengatasi berbagai permasalahan dalam masyarakat dan mengatur masyarakat agar harmonis dan sejahtera. Seperti yang dikatakan oleh Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah dan kekuasaan merupakan suatu hal yang inheren, tetapi kekuasaan yang dimiliki pemerintah diakui dan berasal dari rakyat. Karena rakyatlah yang memberikan dan menetukan arah bagaimana kehidupan kenegaraan itu dilaksanakan disuatu negara.

            Sedangkan berdasarkan UUD 1945, sistem demokrasi tercantum pasal 1 yang menyatakan bahwa kedaulatan bedara di tangan rakyat dan dalam pasal 3 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam sistem demokrasi kedaulatan dan hukum adalah tidak bisa dipisahkan karena negara hukum harus demokratis, dan negara demokratis harus mempunyai hukum yang mengatur kehidupan bernegaranya. Bisa saja pemegang kedaulatan dalam sebuah negara bukan seorang manusia tetapi adalah hukum. Namun agar hukum tidak disalahgunakan untuk kekuasaan maka hukum harus mengakomodasi kepentingan masyarakat secara luas.

Masalah demokrasi Indonesia kini

            Lebih dari 90% negara di seluruh dunia telah menganut sistem demokrasi, termasuk negara Indonesia yang sudah berjibaku lama dengan sistem ini. Namun seperti kebanyakan negara berkembang pada umumnya, cita-cita dari demokrasi sama sekali belum tergapai bahkan mungkin ada yang mengatakan bahwa cita-cita itu semakin menjauh. Yang parah lagi, seakan bangsa ini telah puas karena tujuan dari demokrasi adalah demokrasi itu sendiri.

            Menurut survei DEMOS demokrasi yang kita menghadapi persoalan yang gawat karena berbagai upaya demokratiasi belum bisa menjamin berlakunya hukum, akses ke keadilan, hak sosial dan ekonomi dan pemerintah yang representatif dan akuntabel. Persoalan pokoknya adalah rakyat tidak mampu mengendalikan urusan publik melalui perwakilan yang sehat. Penyebab pokoknya adalah monopoli ekonomi dan politik kelompok elit yang semakin luasdan lebih lokal tetapi dominan. Padahal, gerakan pro-demokrasi masih saja terpecah belah, secara sosial “mengambang” dan secara politik terpinggirkan.[1]

            Secara nyata demokrasi di Indonesia telah dilanggar oleh pemujanya sendiri. Karena sistem yang ada saat ini tidak memiliki asas equality karena perwakilan rakyat didominasi oleh sekolmpok elit yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Kebanyakan dari mereka tidak mampu membedakan antara ruang privat dan ruang politik sehingga kita akan menemukan wajah-wajah yang ambigu. Berbagai kepentingan pribadi sering bercampur dalam kehidupan politik kenegaraan sehingga demokrasi ini seolah-olah dimiliki oleh suatu kelompok saja.

            Demokrasi yang bertujuan mengakomodasi kepentingan berbagai elemen masyarakat malah menjadi legitimasi bagi berbagai kelompok untuk saling bersaing secara tidak sehat sehingga menimbulkan disintegrasi bangsa akibat konflik dari perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakat.

            Pada tahun 2009 ini akan diselenggarakan sebuah perhelatan akbar dari demokrasi Indoensia yaitu Pemilu. Namun jika kita menyadari bahwa demokrasi Indonesia saat ini hadir disaat yang kurang tepat. Dana yang melimpah untuk pemilu yaitu sekitar 22 triliyun dirasa mubazir karena tidak sebanding dengan kualitas pemerintah saat ini. Demokrasi yang katanya memihak pada rakyat mungkinhanya baualan belaka. Miris, anggran yang dikeluarkan pemerintah untuk menuntaskan kemiskinan pada tahun 2007 saja hanya 19 triliyun, sedangkan pada tahun 2008 saja hanya naik menjadi 38 ditambah keterpurukan akibat krisi ekonomi global. Padahal tidak ada korelasi yang jelas antara dana pemilu yang tinggi dengan kualitas pemerintahan. Sejarah belum mampu membuktikan hal tersebut, justru pemborosan dan ketidak efisienanlah yang didapat.

            Sistem pemilu yang cukup rumit bagi masyarakat pada umumnya seperti yang terjadi saat ini hanya akan menciptakan kebingungan saja. Akibatnya partisipasi warga negara semakin menurun atau suara rakyat tidak mampu merepresentasikan apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh rakyat saat ini. Apakah ada kaitannyaantara sistem pemilihan ganda (presiden dan wakil presiden), atau putaran pemilu yang ketat akan menciptakan kualitas pemerintahan yang bagus?

Solusi bagi bangsa ini  

            Pro dan kontra terkait dengan sistem demokrasi sampai saat ini masih menjadi wacana hangat tanpa sebuah eksekusi yang mampu mengakomodasi kedua belah pihak tersebut. Akibatnya timbul pihak-pihak yang apatis terhadap sistem ini sehingga jumlah golput semakin meningkat. Pertanyaannya apakah golput merupakan cara yang terbaik yang dilakukan saat ini?

            Golput dalam konteks Indonesia saat ini tidak relevan karena suara rakyat masih menetukan perubahan yang diharapkan akan terjadi. Lagipula jika pemerintah sudah tidak mempunyai otoritas dari rakyat maka yang terjadi adalah pembubaran negara Indonesia.

            Walaupun saat ini banyak yang beranggapan bahwa perubahan dapat dilakukan dari luar sistem, tetapi apakah fakta telah menunjukkan perubahan itu. Grup penekan (pressure group) diluar sistem yang diharapkan mampu memberikan perubahan belum mampu melakukan hal tersebut. Oleh karena itu cara yang efektif adalah dengan mengikuti sistem yang dipakai saat ini. 

            Memang kita tidak bisa memungkiri bahwa perubahan yang terjadi akan memerlukan waktu yang lama jika dibandingkan dengan sebuah revolusi. Namun cara inilah yang terbaik jika ingin melakukannya dengan cara damai mengingat revolusi yang terjadi pasti akan bersimbah darah.

            Kenyataan yang terjadi saat ini dimana para politisi tidak mampu memberikan sebuah imajinasi sosial kepada rakyat juga merupakan tantangan yang harus dihadapi rakyat saat ini. Berbagai kebingungan akibat sistem yang rumit dan politisi busuk nan berwajah ambigu jangan sampai menghalangi rakyat untuk menyuarakan suaranya.

            Rakyat harus merubah lingkaran setan antara pejabat dan sistem, pejabat yang membuat sistem yang kurang ideal dan sistem yang membuat pejabat menjadi kurang ideal. Rakyat harus berteriak keras dengan suaranya, menggunakan hak asasinya dengan menempatkan negarawan-negarawan yang pro-rakyat sehingga mampu memberikan pengaruh yang kuat bagi sistem demokrasi Indonesia.

            Demokrasi bukan tujuan dari demokrasi itu sendiri, dan janganlah memilih politisi-politisi busuk yang semata-mata menjajakan dirinya melalui iklan-iklan yang bahkan lebih buruk dari sebuah iklan rokok.

 

“Mari bersama mencari kebenaran jika tak seorangpun dari kita memilikinya.”

–Constantin Francoius Volney (1810)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Hutang 1667 Triliun: Jejak Neoliberalisme di Indonesia

Berdasarkan data yang diperoleh departemen keuangan per akhir maret 2009, hutang yang melilit Indonesia meningkat menjadi 1667 triliun rupiah. Hutang itu meningkat sekitar 392 triliun pada zaman pemerintahan SBY. Melihat besarnya hutang yang dimiliki Indonesia saat ini, banyak pengamat menilai bahwa hutang yang dilakukan oleh pemerintah telah melampaui batas dan tidak sepadan dengan kemajuan pembangunan saat ini.

            Walaupun ada perubahan dari proporsi hutang saat ini yang didominasi dari hutang dalam negeri yaitu sekitar 70% dari total hutang Indonesia. Tetapi tetap saja Indonesia harus membayar bunga yang tinggi setiap tahunnya. Hal itu wajar karena hutang diperoleh dari pasar sehingga penentuan bunga ditentukan dengan mekanisme pasar.

            Namun hutang yang dilakukan pemerintah menimbulkan keganjilan. Dilarikan kemana dana yang sangat besar itu? Hutang yang diproyeksikan untuk membiayai pembangunan sarana prasarana seolah hanya wacana saja. Saat ini bukti riil yang kita lihat hanyalah selesainya pembangunan jembatan Suromadu yang hanya membutuhkan dana 4.5 Triliun. Pembangunan jalan-jalan tol yang dilakukan kebanyakan dimanfaatkan oleh segelintir orang saja yaitu para pengusaha, bukan rakyat pada umumnya. Seolah pembangunan hanya berpihak kepada golongan elite saja.

            Hutang yang katanya digunakan untuk pembangunan sarana kesehatan dan pendidikan tidak signifikan. Kita masih melihat kualitas buruk dari rumah sakit dan sekolah-sekolah tersebar di penjuru Indonesia. Kasus Prita dan kesenjangan pendidikan di Indonesia menjadi bukti nyata betapa penggunaaan hutang belum optimal digunakan untuk kepentingan rakyat. Lalu dikemanakan hutang itu?

Cengkraman Neoliberalisme           

            Secara rasional tentu kita bisa berpikir bahwa tidak mungkin negara-negara maju atau lembaga keuangan internasional mau memberikan pinjaman jika tidak ada kepentingan dibaliknya. Oleh karena itu dibalik hutang yang membengkak itu, disinyalir ada jejak-jejak neoliberalisme dibelakangnya. Kebanyakan hutang yang diperoleh Indonesia harus disertai dengan structural adjustment seperti privatisasi dan penghapusan subsidi. Penyesuaian tersebut merupakan pemikiran-pemikiran liberal karena berusaha menyerahkan mekanisme seluruhnya terhadap pasar.

            Pemikiran dan kenyataan tersebut tidak sesuai dengan cita-cita ekonomi Pancasila yang nasionalistik, karena dengan adanya liberaliasi maka golongan kecil yang mayoritas adalah pribumi akan tergusur di tanah airnya sendiri. Sumber daya alam yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, akan dihisap untuk kepentingan asing.

            Jelas kita melihat bahwa hutang bukan sekedar akses dana antara kreditur dan debitur dengan bunga yang menyertainya. Tetapi juga berdampak luas terhadap perekonomian Indonesia baik fiskal maupun moneter. Oleh karena itu paradima berpikir pemerintah paradigm hutang harus berubah dari yang bersifat tactical dan operational ke pemikiran yang bersifat strategic atau bersifat jangka panjang, karena hutang sendiri bersifat jangka panjang.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Hentikan Pengebirian Terhadap Alam

Pertumbuhan penduduk dan pembangunan memiliki kaitang yang sangat erat. Seperti deret hitung, kenaikan pertumbuhan penduduk juga diikuti dengan semakin pesatnya pembangunan yang dilakukan. Hal itu wajar karena sebagai manusia ia akan melakukan segala sesuatu untuk memnuhi kebutuhan dan berusaha hidup lebih baik. Salah satu caranya dilakukan dengan pembangunan sebagai penyokong kehidupan manusia.

Pertumbuhan dan pembangunan memang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan manusia. Namun jika kita menilik pembangunan yang terjadi, khususnya di Pulau Jawa kita akan melihat pengelolaan yang kurang tepat bahkan menjurus ngawur.

Salah satu indikator pengelolaan yang salah dapat kita lihat dari dampak negatif bagi kehidupan manusia. Bencana yang selalu menyapa tiap tahun di Jawa merupakan bukti bahwa manusia telah melakukan kesalahan dalam melakukan pengelolaan alam dalam rangka pembangunan. Kasus terbaru adalah kasus rob, yaitu masuknya air laut ke daratan. Pembangunan yang tidak memperhatikan AMDAL dan analisis kerawanan bencana mengakibatkan kerusakan lingkungan yang akhirnya manusia sendirilah yang menjadi korbannya.

Paradigma pembangunan saat ini sepertinya perlu dikoreksi, trade off antara kerusakan alam dan hasil eksplorasi alam harus ditinjau kembali. Melihat bencana yang terjadi akhir-akhir ini seharusnya manusia sadar bahwa paradigma pembangunan bukan semata-mata melihat pertumbuhan tetapi juga kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Percuma kita membuat tanah-tanah kita menjadi kerajaan-kerajaan megah tetapi di depan pintu, banjir, rob dan longsor mengetuk-ngetuk pintu kita dengan ancaman yang dibawanya.

Hormatilah alam!

Pembangunan yang telah lepas kendali saat ini merupakan suatu kontradiksi dari sifat manusia jawa sesungguhnya. Membuka tabir filsafat jawa yang ditabadikan dalam lagu ilir-ilir, pada bait kedua “Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore” yang merupakan simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam yang dalam kehidupannya harus diimbangi dengan tujuan di dunia dan akhirat. Seharusnya kita berpikir dalam tataran strategik dalam pembangunan yang dilakukan.

Pengebirian terhadap alam oleh hasrat keserakahan manusia harus segera dihentikan selama tanah-tanah masih tertunduk diam dibawah kaki-kaki kita. Pertumbuhan kehidupan yang menstimulus manusia menjadi consumer society harus dihentikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gandhi bahwa kebutuhan itu terbatas, tetapi keinginan manusialah yang tidak terbatas. Alam yang diturunkan oleh Tuhan untuk manusia tidak akan cukup jika manusia masih menuhankan hasratnya.

Kehidupan yang baik bukanlah kehidupan yang disesaki oleh produk yang beranekaragam, bukan juga istana-isatana megah yang mencengkeram tanah-tanah kita. Kehidupan idealnya adalah kondisi dimana setiap manusia memiliki kesempatan untuk memaknai kebahagiaan akan kehidupan, bukan keprihatinan akan bencana yang melanda akibat pembangunan yang mengebiri alam.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Posmodernisme Dalam Ekonomi Politik Media Massa

Posmodernisme adalah nama gerakan di kebudayaan kapitalis lanjut, secara khusus dalam seni. Istilah Posmodernisme muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York pada tahun 1960 dan diambil oleh para teoritikus Eropa pada tahun 1970-an. Tokoh yang sering diasosiasikan dengan Posmodernisme antara lain Derrida, Lyotard, dan Baudrillard dalam filsafat.
Menurut Jean – Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition, menyerang mitos yang melegitimasi zaman modern (narasi besar), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara universal valid untuk seluruh umat manusia. Dan banyak orang sadar dalam beberapa hal sejak Perang Dunia II masyarakat Barat mengalami perubahan sifat yang radikal. Para teoritikius sosial menggunakan berbagai macam istilah : masyarakat media, masyarakat tontonan, masyarakat konsumen, masyarakat konsumen terkendali yang birokratis serta masyarakat pascaindustri untuk mejelaskan perubahan ini. Namun penjelasan masyarakat itu yang paling populer saat ini adalah masyarakat postmodern. Lyotard adalah pemikir posstrukturalis yang mengadopsi pendirian postmodern. Di satu sisi, posmodernisme merupakan satu jenis masyarakat baru, tetapi juga, disisi lain, merupakan istilah baru bagi posstrukturalisme dalam dunia seni.
Baudrillard mendasarkan pemikirannya dalam sketsa historis transisi dari modernitas ke posmodernitas. Dalam tulisannya bahwa dunia di konstruksi dari model atau simulacra yang tidak merujuk atau mendasarkan diri pada realitas apapun selain dirinya sendiri. Tahap pertama simulacrum dapat disebut sebagai ”modernitas awal”, tahap kedua ”modernitas” dan tahap ketiga ”posmodernitas”. Tahap-tahap ini tidak dapat dikatakan atau disebut sebagai sejarah universal.
  • Modernitas awal : periode dari renaisans sampai permulaan revolusi industri.
  • Modernitas : kebangkitan revolusi industri yang membawa masuk kedalam tahap simulacrum yang kedua.
  • Posmodernisme : dalam sistem ini yang terbentuk setelah perang dunia II, landasan teoritis sistem kekuasaan telah bergeser dari ekonomi politik Marxis ke semiologi strukturalis. Apa yang dipandang Marx sebagai bagian modal yang nonesensial seperti iklan, media, informasi dan jaringankomunikasi berubah menjadi bagian esensial.
Menurut Baudrillard, media massa menyimbolkan zaman baru dimana bentuk produksi dan konsumsi lama telah memberi jalan bagi semesta komunikasi yang baru. Pemikiran serta teori Baudrillard dan Lyotard diatas akhirnya memberikan kesimpulan atau sebuah akibat positif sehubungan dengan berkembangya teori Marx. Selain itu Vincent Mosco dalam bukunya yang berjudul “The Political Economy of Communication “ menyebutkan bahwa :
Penelitian sejarah dalam ekonomi politik penyiaran dan telekomunikasi memiliki titik focus pada hubungan erat antara kekuatan politik pusat dan kekuatan pusat media (Mosco,1996:89).
Batasan-batasan posmodernisme
Gagasan bahwa media massa mengambil alih “realitas” jelas-jelas melebih-lebihkan arti pentingnya. Media massa memang penting tapi tidak sedemikian penting. Pernyataan ini agaknya lebih sejalan dengan suatu ideology media yang berasal dari berbagai kepentingan mereka yang bekerja di dalam dan mengendalikan media. Gagasan ini kurang memberikan suatu analisis serius mengenai pandangan terhadap kegagalannya mengidentifikasi secara tepat betapa pentingnya hal ini maupun memberikan landasan empiris atas pernyataan yang dibuat. Gagasan ini juga mengabaikan perihal faktor-faktor lain seperti kerja dan keluarga, yang memberikan kontribusi bagi konstruksi “realitas”. Gagasan terkait bahwa budaya media populer mengatur konsumsi bersandar pada asumsi-asumsi yang tidak disubstansikan mengenai perilaku orang-orang sebagai konsumen.
Para teoritikus yang menganggap posmodernisme muncul agaknya banyak menyuarakan kecemasan dan ketakutan yang banyak diungkapkan melalui kritikus budaya massa maupun Mazhab Frankfurt. Hal ini tampak jelas pada sejumlah argument yang dikemukakan oleh teori postmodern. Sebagai contoh, gagasan-gagasan bahwa identitas personal dan kolektif sudah terkikis, bahwa budaya populer modern adalah sebuah kebudayaan sampah, bahwa seni sedang berada dalam ancaman dan bahwa peranan media yang makin besar memberi mereka kesempatan untuk melaksanakan pengaruh ideologisnya yang kuat terhadap khalayaknya, semuanya memberikan bukti yang jelas mengenai hal ini.
Tidak hanya bahwa terlalu besar arti penting yang diberikan pada konsumerisme dan kekuatan media seperti tv, tapi juga pernyataan-pernyataan yang dibuat jarang disubstansikan dengan bukti apapun. Selain itu, tidak banyak perhatian yang diberikan pada hal-hal seperti sifat kehidupan sehari-hari orang, sikap populer terhadap konsumsi, kesinambungan identitas, dan kemungkinan berbagai identitas alternatif yang muncul dalam perjalanan waktu. Kesulitan utama lainnya dalam kaitannya dengan posmodernisme terletak pada asumsi bahwa metanarasi sudah mengalami kejatuhan.
Posmodernisme dan film
Film populer selalu berusaha memberikan tontonan kepada khalayak luas sejak masa-masa awalnya, film memikat khalayaknya berdasarkan peristiwa-peristiwa spektakuler yang bisa dihadirkannya di layar. Mengatakan bahwa posmodernisme berhubungan dengan tontonan berarti melupakan sejarah dan salah menafsirkan sifat film. Sudah jelas kiranya, tontonan yang disajikan di layer dewasa ini berbeda dengan tontonan pada masa peralihan abad ini dalam pengertian apa yang dapat dicapai. Bagaimanapun juga, dengan adanya konteks teknis maupun cultural tersebut, tidak ada alasan untuk mengandaikan bahwa sebuah era lebih memperhatikan tontonan dibandingkan dengan era yang lain. Lebih daripada itu, cerita masih menjadi salah satu aspek penting daya tarik film kontemporer. Film-film back to the futuremungkin bisa menjelaskan pernyataan-pernyataan postmodern mengenai kegamangan atas ruang dan waktu namun film-film itu juga dikukuhkan oleh narasi yang kuat dan kompleks. Demikian pula halnya dengan sebuah film spektakuler seperti Blade Runner mempunyai sebuah cerita mengenai usaha-usaha penyamaran oleh ilmu pengetahuan untuk membuat replika kehidupan manusia, dan juga kisah-kisah tragis yang dialami para replikanya, sebuah tema yang kembali pada novel Frankenstein karya Mary Shelley.
Posmodernisme dalam Ekonomi Politik Media
Vincent Mosco dalam bukunya “The Political Economi of Communication” secara tersirat menyebutkan bahwa Posmodernitas dengan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan keberadaannya. Hal tersebut terbukti dari beberapa teori dalam buku Mosco yang mengupas tentang adanya keterkaitan hal tersebut diatas. Diantara teori-teori tersebut adalah komodifikasi, spasialisasi dan strukturalisasi.
Komodifikasi menurut Karl Marx ialah kekayaan masyarakat dengan menggunakan produksi kapitalis yang berlaku dan terlihat seperti “kumpulan komoditas (barang dagangan) yang banyak sekali”; lalu komoditi milik perseorangan terlihat seperti sebuah bentuk dasar.Oleh karena itu kami mulai mengamati dengan sebuah analisis mengenai komoditi (barang-barang dagangan) (Mosco,1996:140). Komodifikasi diartikan sebagai transformasi penggunaan nilai yang dirubah ke dalam nilai yang lain. Dalam artian siapa saja yang memulai kapital dengan mendeskripsikan sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar.
Spasialisasi ialah sebuah sistem konsentrasi yang memusat. Dijelaskan jika kekuasaan tersebut memusat, maka akan terjadi hegemoni. Hegemoni itu sendiri dapat diartikan sebagai globalisasi yang terjadi karena adanya konsentrasi media. Sebagai contoh, media barat yang menyebarkan budaya mereka melalui media elektronik. Dari adanya hal tersebut memunculkan translator (orang-orang yang tidak dapat menyaring budaya) yang akirnya berakibat budaya barat menjadi budaya dunia. Dan kelompok hegemoni itu sendiri adalah kelompok yang menguasai politik, media dan teknologi sekaligus.
Strukturalisasi merupakan salah satu karakteristik yang penting dari teori struktural. Yang didalammya menggambarkan tentang keunggulan untuk memberi perubahan sosial sebagai proses yang sangat jelas mendeskripsikan bagaimana sebuah struktur diproduksi dan diproduksi ulang oleh manusia yang berperan sebagai pelaku dalam struktur ini.
Posmodernisme menurut Baudrillard ditunjukkan dengan adanya Hipperrealitas (melebihi segala sesuatu yang ada). Maka komodifikasi, spasialisasi dan strukturalisasi memang sangat erat kaitannya dengan posmodernisme yang mendasarkan segala sesuatu dengan hal-hal yang penuh dengan imajinasi dan provit oriented (orientasi pada uang). Telah dijelaskan dalam uraian diatas yang dicontohkan dengan Film Back to the Future yang laku keras dipasar karena ceritanya yang sangat imajinatif yang merupakan gambaran dari Posmodernisme itu sendiri.

Literatur:
Mosco,Vincent, The Political Economy Of Communication, SAGE Publications, London, 1996.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Jumat, 19 November 2010

MENGAPA "INCUMBENT" SERING MENANG DALAM PILKADA ?

Awalnya, incumbent memang diharuskan mundur bila mencalonkan diri lagi. Pasal 58 UU Nomor 12 Tahun 2008 mensyaratkan hal itu. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 yang membatalkan pasal tersebut. Pascaputusan MK itu, perangkat hukum pilkada (semakin) memberikan kontribusi yang besar kepada incumbent dibandingkan dengan bakal calon yang bukan incumbent dan para pejabat negara lainnya.

Besarnya peluang incumbent tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah yang sedang menjabat, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung adalah dalam bentuk popularitas. Keuntungan tidak langsung diperoleh dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah masyarakat hingga meresmikan projek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampanye.

Sebelum Putusan MK keluar, debat soal incumbent pernah memasuki arena hukum. Pada 21 November 2006, melalui Putusan Nomor 41/P/HUM/2006, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materiil atas Pasal 40 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Awalnya, Pasal 40 ayat 1 itu berbunyi ”Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang dicalonkan parpol atau gabungan parpol menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah di daerah lain wajib mengundurkan diri dari jabatannya ketika mulai mendaftar”.

MA memandang adanya klausul di daerah lain dalam pasal tersebut cenderung bersifat diskriminatif. Kewajiban mengundurkan diri dari jabatannya hanya berlaku apabila calon incumbent bersangkutan menjadi calon di daerah lain atau di luar daerah yang dipimpinnya. Bila mencalonkan di daerahnya atau daerah di mana calon incumbent itu masih aktif menjabat, kewajiban itu tidak berlaku.

Imbas lain dengan keluarnya putusan MA itu, pemerintah merevisi PP Nomor 6 Tahun 2005 dengan mengeluarkan PP baru. Pemerintah menerbitkan PP Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 6 Tahun 2005, yang berlaku 18 April 2007. Pasal 40 ayat 1 dan 2 PP Nomor 25 Tahun 2007 menyatakan, Kepala Daerah harus cuti di luar tanggungan negara saat kampanye. PP tersebut kembali memberikan ruang gerak yang amat luas bagi incumbent untuk berkompetisi dalam pilkada yang kemudian dikuatkan dengan putusan MK tersebut.

Menghadapi agenda Pemilukada 2011, prinsip political equality (persamaan kesempatan untuk berkompetisi) akan terwujud dalam setiap tahapan pemilukada dengan terobosan berikut:

Pertama, panitia pengawas (panwas) semestinya sudah bekerja sejak KPUD menetapkan calon kepala daerah. Praktiknya, panwas baru bekerja pada tahap kampanye semata sehingga, amat sulit mendeteksi pelanggaran oleh incumbent.

Kedua, harus ada aturan KPUD yang membatasi ruang gerak incumbent dalam penggunaan fasilitas negara. Ketiga, penting bagi Presiden Yudhoyono mengeluarkan regulasi pascaputusan MK yang mengharuskan incumbent untuk mempercepat penyampaian laporan pertanggungjawabannya dan memberikan tafsiran yang jelas atas makna ”cuti sementara”. Regulasi amat mendesak karena menyangkut hak dan kewajiban serta fasilitas dan kekuasaan lain yang dimiliki sang incumbent yang berpotensi menodai pesta demokrasi.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified