Sabtu, 18 Desember 2010

Monarki, Demokrasi dan KHILAFAH

Polemik seputar keistimewaan DIY belum berakhir. Pemerintah melalui RUUK tetap ngotot menginginkan pemilihan Gubernur DIY seperti propinsi-propinsi lainnya. Sementara pihak Kraton Yogya dan umumnya masyarakat Yogya berkeras pada opsi penetapan , bukan pemilihan. Polemik ini semakin panas ketika SBY menyatakan sistem monarki tidak mungkin diterapkan, karena akan bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values).
Beberapa catatan kritis menurut perspektif Islam perlu diberikan untuk fenomena ini. Pertama, seharusnya masing-masing pihak mempunyai satu rujukan yang sama untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang ada. Dalam Islam, setiap perselisihan wajib dikembalikan kepada rujukan wahyu, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah (QS An-Nisaa` : 59).
Semestinya masing-masing pihak merujuk pada referensi ilahi itu. Namun nampaknya hal ini tidak terjadi. Kedua pihak justru mengembalikan persoalan ini bukan pada referensi Al-Qur`an dan As-Sunnah, melainkan pada referensi-referensi lain yang ilegal menurut kacamata hukum Islam. Partai Demokrat melalui Ruhut Sitompul mengatakan dasar sikap mereka adalah survei LSI yang menemukan 71 % masyarakat Yogya setuju pemilihan Gubernur DIY(pemilu kada). Sedang pihak yang pro penetapan, di antaranya Golkar, juga menyandarkan pada survei yang konon hasilnya 70 % masyarakat Yogya pro penetapan, bukan pemilihan. Masyarakat Yogya juga menyandarkan pada referensi sejarah. Khususnya ketika Kraton Yogyakarta menggabungkan diri dengan NKRI, yang imbal baliknya Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Sesungguhnya, survei dan sejarah bukanlah rujukan normatif yang benar menurut Islam. Rujukan ini memang seakan-akan bernilai benar dengan sendirinya karena memang cara berpikir kita telah didominasi dan dikooptasi oleh perspektif Positivisme dalam filsafat hukum. Perspektif ini benar-benar telah merusak cara berpikir kita, karena ia mengajarkan bahwa hukum atau pranata hidup itu tidak perlu didasarkan pada agama (Al-Qur`an dan As-Sunnah), melainkan cukup pada fakta-fakta empiris dalam masyarakat. Esensi aliran Positivisme dalam filsafat hukum seperti kata H.L.A Hart adalah that laws are commands of human being (hukum adalah perintah dari manusia). (Prasetyo dan Barakatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, hal. 97).
Jadi hukum menurut prespektif ini adalah man made (buatan manusia). Dengan kata lain, hukum bukan berasal dari norma agama. Maka mengembalikan polemik keistimewaan DIY ini kepada argumen sejarah, atau argumen survei, atau argumen apa pun selain Al-Qur`an dan As-Sunnah, jelas merupakan kekeliruan metodologis yang parah.
Kedua,catatan berikutnya adalah mengenai pemilihan Gubernur. Dalam Islam, Gubernur (Wali) bukanlah hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh Kepala Negara (Khalifah). Dalam kitab-kitab hadits dan juga sirah dapat dibuktikan bahwa gubernur-gubernur dalam propinsi-propinsi pemerintahan Islam dulu, selalu diangkat oleh Rasulullah SAW sebagai kepala negara. Misalnya Muadz bin Jabal yang diangkat sebagai gubernur propinsi Yaman. Juga Ziyad bin Labid yang diangkat Rasulullah SAW sebagai gubernur propinsi Hadhramaut, serta Abu Musa Al-Asyari sebagai gubernur propinsi Zabid dan Aden. (Atha` bin Khalil, Ajhizah Daulah al-Khilafah, hal. 73).
Walhasil, jika diukur dengan timbangan Syariah Islam, pengangkatan gubernur itu hanyalah melalui pengangkatan oleh khalifah (kepala negara). Bukan lewat cara pemilihan (pemilu kada) oleh rakyat di propinsi yang bersangkutan, bukan pula melalui cara penetapan secara otomatis sebagai jabatan yang diwariskan secara turun temurun.
Ketiga,catatan ketiga adalah tentang pernyataan SBY bahwa sistem monarki bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values). Ini pernyataan dangkal dan menunjukkan SBY kurang membaca literatur sejarah dan ilmu politik. Karena secara faktual tak selalu sistem monarki tak bisa dikawinkan dengan demokrasi. Bahkan untuk konteks propinsi DIY, pernyataan SBY memang boleh dikatakan ngawur. Mengapa demikian? Sebab sejak bergabung dengan NKRI, berakhir sudah sistem monarki Kerajaan (Kesultanan?) Yogyakarta Hadiningrat. Setelah itu, yang ada di DIY bukan sistem monarki melainkan propinsi yang mempunyai keistimewaan, yaitu Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Jadi yang ada ialah propinsi dengan sisa-sisa sistem monarki, khususnya dalam pengangkatan eksekutif, bukan sistem monarkinya itu sendiri. Karena sistem monarki adalah sebuah istilah teknis untuk bentuk negara, bukan bentuk propinsi. (Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta : Bumi Aksara, 1990, hal. 57-58; M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Medan : Mandar Maju, hal. 54-55).
Namun harus dikatakan, bahwa pengangkatan Khalifah (Imam) sebagai kepala negara dalam Islam bukanlah melalui sistem pewarisan, melainkan harus merupakan hasil pilihan umat. Itulah yang terjadi pada empat khalifah pertama dalam Islam, yang semuanya berkuasa setelah dipilih oleh umat.
Memang dalam sejarah Islam kekhilafahan didominasi oleh suatu dinasti (bani) tertentu untuk kurun waktu tertentu. Dikenallah kemudian Khilafah Bani Umayah, Khilafah Bani Abbasiyah, dan Khilafah Bani Utsmaniyah (yang berakhir 1924). Namun kejadian sejarah ini tidaklah mewakili ajaran Islam yang murni. Fakta sejarah ini justru menunjukkan terjadinya distorsi atau bias dalam implementasi Syariah Islam di bidang kekuasaan.
Namun penyimpangan ini tidak sampai menghapuskan secara total karakter bentuk pemerintahan Khilafah. Karena bagaimanapun juga khalifah-khalifah itu tetap dibaiat, bukan semata-mata mendapat kekuasaan secara turun temurun. Maka bentuk negaranya tetap sah sebagai Khilafah, hanya saja memang terpengaruh oleh salah satu unsur sistem monarki, yaitu pewarisan kekuasaan. Karena itu, Syaikh Hisyam Al-Badrani, seorang ulama Irak kontemporer, menyebut sistem pemerintahan pasca Khulafaur Rasyidin sebagai Al-Khilafah ala Minhaj Al-Mulk (Khilafah, tapi mengikuti metode monarki dalam pengangkatan penguasanya). (Hisyam Al-Badrani, an-Nizham al-Siyasi Bada Hadmi Al-Khilafah, hal. 12.(
Karenanya memang tidak bisa dipersalahkan sepenuhnya, ketika Mataram Islam sejak Sultan Agung (w. 1646) juga mencontoh model suksesi kepemimpinan secara turun temurun. Wong yang menjadi contoh saat itu (Khilafah Utsmaniyah) memang sudah keliru dalam praktik pengangkatan Khalifah. Sejarah mencatat, pada sekitar tahun 1640 Sultan Agung telah menjalin hubungan internasional dengan Khilafah Utsmaniyah melalui Syarif Makkah (gubernur untuk wilayah Makkah dan sekitarnya). Hasilnya adalah gelar Sultan yang kemudian secara resmi disematkan di depan namanya. (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1500-2004, Jakarta : Serambi, 2005, hal. 111; Musyrifa Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 147).
Kami katakan tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, karena sistem pewarisan tahta turun temurun yang diadopsi oleh Mataram saat itu, telah mengambil model yang salah dan terdistorsi dari Khilafah Utsmaniyah. Atau bisa jadi pewarisan tahta itu sekedar meneruskan apa yang dianggap lumrah sejak era sebelumnya, misalnya sejak jaman Kesultanan Demak dan Pajang yang menjadi cikal-bakal Mataram. Jadi pengambilan cara pewarisan tahta ini barangkali terjadi di luar kesengajaan, karena saat itu memang tak ada model ideal yang betul-betul mencerminkan ajaran Islam yang murni.
Namun tegas kami nyatakan, kesalahan semacam itu tak boleh lagi diterus-teruskan. Yang sudah ya sudah. Semoga Allah SWT mengampuni kesalahan kita. Namun untuk ke depan, sesuai ajaran Islam, pemimpin haruslah hasil pilihan rakyat, bukan terangkat secara otomatis secara turun temurun.
Keempat, catatan terakhir, kami ingin menegaskan demokrasi tidak selalu identik dengan pemilihan pemimpin oleh rakyat. Maka dari itu, ketika kami menyatakan bahwa bahwa pemimpin haruslah dipilih oleh rakyat, bukan berarti kami setuju dengan demokrasi.
Mengapa demikian? Sebab esensi demokrasi sebenarnya bukan pada prinsip pemimpin adalah pilihan rakyat, melainkan pada prinsip bahwa peraturan itu adalah buatan manusia (kedaulatan rakyat). Dalam pandangan Islam, haram hukumnya manusia membuat sendiri hukum atau aturan hidup. Hanya Allah saja yang berhak menetapkan hukum (QS Al-Anaam : 57).
Jadi, Islam tidak menyalahkan demokrasi jika yang dimaksud adalah pemimpin merupakan hasil pilihan rakyat. Namun Islam juga tidak membenarkan prinsip itu sepenuhnya. Sebab meski pemimpin dipilih oleh rakyat, dalam demokrasi pemimpin pilihan rakyat itu akan menjalankan hukum buatan manusia. Sedang dalam Islam, pemimpin pilihan rakyat itu hanya menjalankan hukum Syariat Islam, bukan hukum buatan manusia.
Maka dari itu, jelas sekali SBY nampak dangkal ketika mempertentangkan monarki dengan demokrasi dalam konteks pemilihan gubernur DIY. Pendirian SBY itu mengisyaratkan bahwa esensi demokrasi dalam pikirannya hanyalah pemilihan, yakni pemimpin hendaknya hasil pilihan rakyat. Padahal, kalaupun itu dikatakan bagian demokrasi, sifatnya hanya prinsip sekunder saja dan bukan ide khas demokrasi. Prinsip primer dan ide khas dalam demokrasi justru adalah memberikan otoritas kepada manusia (bukan kepada Tuhan) hak membuat hukum. Inilah prinsip primer demokrasi yang justru terabaikan oleh SBY.
Kesimpulannya, memang sulit bagi muslim untuk menyikapi polemik keistimewaan DIY sekarang ini. Penetapan atau pemilihan, bukanlah pilihan-pilihan yang benar. Namun yang jelas, Islam mengatakan tidak untuk pemilihan (pemilu kada), karena gubernur dalam pandangan Islam bukan hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh kepala negara (khalifah). Islam juga mengatakan tidak untuk penetapan, karena Islam tidak mengenal proses pewarisan kekuasaan yang turun temurun. Islam juga mengatakan tidak untuk demokrasi, karena demokrasi memaksakan sebuah prinsip yang fatal sekali kekeliruannya menurut Islam, yaitu manusia diberi hak membuat hukum.
Yang benar, seorang gubernur (wali) dalam Islam itu diangkat oleh Khalifah (kepala negara), bukan dipilih oleh rakyat. Dan proses ini tentu harus dijalankan dalam bentuk negara yang benar sesuai ajaran Islam, yaitu sistem Khilafah, bukan sistem republik (demokrasi) seperti yang ada sekarang. Wallahu alam.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Sabtu, 04 Desember 2010

Are we equal in Democracy?

Are we equal?


(Apakah kita sama?)
 
Siapa yang tidak kenal dengan demokrasi dewasa ini. Atmosfer demokrasi sangat kuat kita rasakan dalam bidang politik saat ini. Bahkan suatu negara yang tidak menganut paham ini akan dianggap “salah”. Arus demokrasi berkembang pesat tidak hanya dibidang politik, tetapi juga ekonomi yang ditandai dengan kesempatan bagi semua orang untuk memasuki pasar dan memperoleh taraf hidup yang layak.
Konsep demokrasi diawali dengan tuntutan persamaan (egalite) dan kebebasan (liberte) pemerintah terhadap rakyatnya. Pemerintah yang dikehendaki pun berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Dijelaskan dalam Declaration of independence pada trahun 1776 bahwa untuk menjamin hak-hak rakyat, dibentuklah pemerintah-pemerintah di kalangan umat manusia, yang mendapatkan kekuasaan yang sah karena memperoleh persetujuan dari rakyat yang diperintah.  
Pemerintah memperoleh otoritas dari rakyat untuk menjamin hak-hak warganya tercapai dan terjamin. Tidak ada bentrokan kepentingan antar warga negara sehingga kehidupan masyarakat dapat terjamin.
Konsep diatas baru menjelaskan konsep demokrasi pada suatu negara. Lalu bagaimana dengan demokrasi antar warga-warga di dunia dan antar negara di dunia? Kalau kita melihat sistem pemerintah, mayoritas negara di dunia menganut demokrasi. Pertanyaannya apakah demokrasi ini mampu menjamin kesetaraan hak sesama masyarakat dunia dan mampu menjamin perdamaian dunia? Jangan-jangan saat ini kita telah dicuci otak dengan hegemoni demokrasi dan menganggap sistem inilah yang paling sempurna dan benar tanpa pikiran kritis kita.
Mengenai persamaan, dalam kitab-kitab suci tentu kita mengenal ras-ras unggul. Jadi secara lahiriah manusia secara keturunan genetik memang diciptakan berbeda dan ada yang lebih unggul dari yang lain. Jika kita membaca jurnal-jurnal yang ditulis oleh Nietzsche kita juga akan menemui manusia unggul. Dalam jurnal-jurnalnya kita akan mendapati istilah-istilah overman atau superman yang mendeskripsikan mengenai manusia unggul.
Memang Nietzsche tidak pernah mengatakan bahwa secara genetik ada suatu jenis ras tertentu yang lebih unggul dari yang lain. Ia percaya bahwa manusia unggul itu diciptakan dan ditumbuhkan dalam tiga hal yaitu kekuatan, kecerdasan dan kebanggaan.
Bagi Nietzsche demokrasi yang ada saat ini sudah menyalahi hukum alamiah manusia yang berusaha untuk lebih unggul dari yang lainnya. Tentu saja kita juga menyadari bahwa kita ingin menjadi lebih baik lagi. Kita ingin menjadi lebih unggul dari yang lain.
Kita dapat mengambil contoh dalam kehidupan bermasyarakat kita. Tentu ada semacam persaingan atau setidaknya keinginan untuk lebih unggul dalam bidang ekonomi. Dalam kehidupan antar negara, jika dunia ini hanya mengenal demokrasi kenapa ada hak veto di dalam PBB yang memberikan hak khusus bagi negera-negara tertentu. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan ketidaksamaan dalam ranah demokrasi dunia saat ini.
Memang jika kita menyinggung keadilan, ada berbagai konsep keadilan yang menjadi suatu persepsi manusia untuk mendapat hak dan menjalankan kewajibannya. Suatu dikatakan sama jika telah dianggap adil. Jadi keadilan dapat bersifat subyektif karena lebih bersifat persepsi manusia dan ada berbagai macam konsep keadilan.
Demokrasi dan konsep yang dibawanya terkait dengan persamaan sesama manusia mungkin bisa terjadi dalam suatu kondisi tertentu. Tetapi jika kita melihat berbagai fenomena sosial yang terjadi saat ini, banyak hal yang menunjukkan ketidaksamaan. Jadi demokrasi yang ada saat ini lebih terkesan tipuan saja, agar yang unggul dipersepsikan bertindak adil dan diposisikan sama dengan yang lain.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

Kamis, 02 Desember 2010

Perlawanan Manusiawi ala Good Governance

Walaupun sering disingggahi oleh berbagai masalah dan bencana, perjalanan hidup Indonesia ternyata selalu bergerak kedepan. Berbagai permasalahan yang terjadi bisa saja terjadi karena efek dari proses yang selama ini berjalan. Menurut Huntington, seorang penyokong gagasan Demokrasi Scumptarian, menyebutkan bahwa untuk menilai bahwa demokrasi telah berjalan dengan baik diperlukan tes dua kali penyerahan kekuasaan yang dilakukan secara damai. Indonesia telah membuktikannya melalui dua kali penyerahan demokratis dari rezim Gus Dur hingga SBY. Padahal jika kita melirik negara adidaya seperti Amerika Serikat, mereka baru mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan politiknya pada tahun 1840.
    Saat ini Indonesia masih berada pada masa transisi, yaitu perpindahan dari masa otoriterian ke demokrasi. Berdasarkan pemikiran Huntington, ketika sebuah negara memasuki masa transisi maka akan terjadi berbagai permasalahan terkait dengan proses transisi tersebut. Huntington menggolongkan masalah tersebut menjadi masalah sistemik dan masalah kontekstual. Masalah sistemik adalah masalah yang timbul dari sistem demokrasi yang diterapkan oleh suatu negara. Masalah tersebut dapat berupa ketidakmampuan menciptakan sebuah solusi atas suatu permasalahan, mudah terpengaruh oleh demagogi, dan dominasi politik oleh golongan elite.
    Masalah kontekstual terkait dengan budaya, perekonomian dan sejarah. Masalah-masalah itu dapat terwujud dalam pemberontakan, konflik komunal, kemiskinan, ketimpangan sosial, inflasi, hutang luar negeri, laju pertumbuhan yang rendah dan korupsi. Permasalahan tersebut bersifat endemik, berakar kuat dalam kehidupan pemerintahan. Tengok saja kasus korupsi yang tidak pernah henti-hentinya memenuhi kolom-kolom dalam surat kabar. Permasalahan tersebut merupakan penyakit akut bagi Indonesia dan telah bertransformasi sebagai metode bekerja dari sistem politik. Merupakan hal yang sangat menjijikkan karena tanpa korupsi maka eksplorasi tambang, revisi undang-undang, dan pembangunan lainnya akan terhambat oleh sistem birokrasi yang rumit.
    Tetapi buat apa pembangunan yang menciptakan menara-menara megah serta lampu-lampu gemerlap jika hal tersebut diperoleh dari perbuatan yang hina. Bagaimanapun sebuah kemajuan atau perbaikan tidak akan bisa dilakukan dengan memberikan racun pada tubuh negara ini.
    Menurut Transparancy International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya .
    Konseptualisasi dari korupsi adalah menguatnya monopoli dan diskresi dalam pemerintahan yang disertai dengan menurunnya akuntabilitas. Monopoli dan diskresi yang merajalela akan menyebabkan tingkat partisipasi kompetitif menghilang. Misalnya penentuan tender yang diserahkan pada pejabat tertentu. Sistem tersebut akan memberikan peluang bagi pejabat untuk memenangkan tender bagi pihak tertentu dengan imbalan komisi yang akan diterimanya. Diskresi minus akuntabilitas akan menyebabkan kesewenang-wenangan. Misalnya adalah jual beli kebijakan.
    Salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya korupsi adalah rendahnya moralitas politisi. Dalam menjalankan pemerintahan mereka sering terlibat dalam kepentingan pribadi maupun kelompoknya sehingga mengurangi tingkat obyektivitas. Hal itu menyebabkan terjadinya disintegrasi dalam pemerintahan sehingga visi dan misi menjadi tumbal karena mereka lebih mengutamakan kepentingan mereka. Pembangunan pun mengalami disorientasi karena tidak ada kesamaan arah.
    Sistem demokrasi yang dimotori oleh modal menjadi alasan mereka untuk menumpuk kekayaan baik pribadi maupun partai. Biaya politik yang sangat besar terkait dengan kampanye atau pemilu menjadi faktor pemicu. Hal itu ditambah dengan terbatasnya suatu partai untuk memperoleh dana karena sumber keuangan hanya berasal dari pemerintah dan donatur saja. Sementara biaya untuk melakukan kampanye sangat tinggi sehingga memaksa para politikus untuk melakukan korupsi. Pemerintahan yang kotor atau korup harus segera diberantas karena sangat merugikan negara baik dari segi finansial maupun sosial.
    Akibat pemerintahan yang korup maka subsidi untuk rakyat miskin menjadi berkurang, pembangunan yang dilakukan tidak maksimal karena dana pembagunan ditilep. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tidak akan tercapai selama korupsi masih mengakar kuat di Indonesia. Menurut Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Arie Soelendro, kerugian negara akibat tindak pidana korupsi selama tahun 2004 hingga April 2005 saja mencapai Rp 3,551 triliun dan US$ 74,6 juta atau Rp 716,2 miliar (dengan kurs Rp 9.600 per US$ 1) . Sebuah angka fantastis yang ditengah jeritan rakyat yang mengalami kesusahan untuk menghidupi kehidupannya.
    Perumusan solusi atas permasalahan korupsi di indonesia tidaklah semudah membalikkan tangan. Diperlukan usaha preventif dan represif atas pemyimpangan tersebut. Tetapi selama ini upaya pemerintah untuk mengatasi korupsi hanya terfokus pada tindakan represif atau penindakan terhadap kasus korupsi. Akibatnya korupsi seakan-akan selalu muncul. Apalagi ditambah dengan sistem penindakan dan sistem sangsi yang belum optimal, maka kasus korupsi akan sulit unutk diberantas. Oleh karena itu tindakan preventif juga harus dilakukan. Salah satu solusi dan tahapan pertama yang harus dilakukan untuk memberantas korupsi adalah dengan menciptakan "good governance" dalam pemerintahan Indonesia.
 "Good Governance", Pijakan Utama
Menurut Ibnu Khaldun, kekuatan atau kelemahan suatu negara bergantung kepada para pemimpin politik atau pemerintahnya. Seharusnya, pemerintah atau penguasa politik (G) mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi keadilan pada tataran pelaksanaan (S) dengan pembangunan dan pemerataan distribusi kekayaan (W).

G=f (S,N,W, g dan j)

Persamaan diatas mencerminkan karakter interdisipliner dengan memperhatikan variabel penting yang dirumuskan. Pada persamaan tersebut G dianggap sebagai variabel terikat (dependent variable) karena salah satu tujuan utamanya adalah menjelaskan kejayaan dan keruntuhan suatu negara (Chapra, 2001:155) .
    Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat ditentukan oleh peran dominan pemerintah, walau ada beberapa faktor lainnya yaitu swasta dan masyarakat. Pemerintah sebagai regulator pembuat kebijakan adalah penentu orientasi pembangunan sehingga akan menentukan tingkat kesejahteraan rakyat. Melihat kasus korupsi yang terjadi maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan rekontruksi pemerintahan agar good governance dapat tercipta.
    Menurut LAN dan BPKP definisi dari Good Governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society).
    Merujuk pada pengalaman pembangunan di negara‐negara Afrika Sub‐Sahara, argumen‐argumen tersebut dibangun pada asumsi bahwa negara (pemerintah) menjadi sumber masalah dan sumber kegagalan pembangunan. Resep yang ditawarkan adalah dengan membangun tata pemerintahan yang baik (good governance) yang pada prinsipnya mengurangi intervensi dan peran pemerintah. Dalam pandangan ini, pemerintahan yang besar (big government) seringkali menjadi sumber bagi berkembangnya kepemerintahan yang buruk (bad governance), yang menjadi sarang bagi berbagai sumber kegagalan pembangunan. Dalam mengatasi kegagalan pembangunan ini, menurut Bank Dunia, pemerintah adalah dimensi pertama yang harus direformasi .
Prinsip dasar yang menandai good governance adalah “kepastian hukum, transparansi, partisipasi, profesionalitas, dan pertanggung jawaban (akuntabilitas)”; yang dalam konteks nasional perlu ditambahkan dengan nilai dan prinsip “daya guna, hasil guna, bersih (clean government), desentralisasi, kebijakan yang serasi dan tepat, serta daya saing”.
Untuk mewujudkan nilai dan prinsip diatas maka diperlukan reformasi birokrasi yang terfokus pada pihak eksekutif dan administrasi negara yang merupakan salah satu jalur strategis bagi tercapainya good governance. Reformasi birokrasi tersebut meliputi unsur-unsur organisasi, manajemen dan sumber daya manusia (SDM).
Ketiga unsur tersebut merupakan unsur-unsur pemerintah yang harus segera dibenahi. Tetapi jika kita berbicara mengenai prioritas maka perbaikan sumber daya manusia adalah hal yang paling utama. Manusia adalah pembuat sistem sekaligus yang akan menjalankannya. Apabila kualitas SDM rendah, maka output sistem juga memiliki kualitas yang rendah.
Memang reformasi yang harus dilakukan tidak boleh dilakukan secara parsial. Namun dalam merencanakan sebuah reformasi prioritas merupakan hal yang penting karena diharapkan pemerintah akan mengetahui tingkat urgensinya. Melihat sejarah bangsa ini kita juga bisa mengamati bahwa perbaikan SDM harus menjadi prioritas utama. Berbagi modifikasi kebijakan yang saat ini pernah dilakukan belum mampu mencapai hasil yang maksimal dikarenakan kualitas dan keahlian SDM di pemerintah yang kurang kompeten.
Emosi, Yang Terlupakan
    Pemerintah Indonesia ibarat sebuah organisasi besar yang terdiri atas berbagai macam fungsi-fungsi yang saling berkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai sebuah organisasi, pemerintah juga tidak luput dari berbagai macam permasalahan yang diakibatkan dari faktor internal maupun eksternal. Permasalahan akut yang dihadapi oleh Indonesia saat ini muncul dari dalam internal pemerintahan sendiri.
    Hal tersebut dapat terjadi karena manusia-manusia yang mengisi pemerintahan saat ini belum memiliki kualifikasi layak menjadi seorang representator rakyat yang menjalankan fungsinya untuk menyejahterakan rakyat. Akibatnya permasalahan seperti konflik kepentingan, material oriented, dan yang paling parah “korupsi” masih memenuhi daftar koreksi pemerintah saat ini.
    Berbagai kebijakan atau program-program telah ditelurkan untuk memecahkan masalah tersebut, khususnya korupsi. Tetapi faktanya korupsi tetap terjadi dan menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Walaupun ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun keberadaannya yang lebih fokus sebagai lembaga penyelidik tidak akan mampu mengurangi korupsi secara signifikan karena sangsi yang diberikan pada para koruptor sangatlah ringan jika dibandingkan negara lain seperti China yang berani menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor. Sistem sangsi yang ringan tidak akan mampu memberikan efek jera sehingga seseorang tidak takut untuk melakukan pelanggaran tersebut.
    Selama ini pemerintah terlalu fokus dengan usaha represi dan kurang memperhatikan upaya preventif, akibatnya masalah tersebut selalu muncul. Oleh karena itu pemerintah harus merubah paradigma penyelesaian masalah korupsi. Salah satu usaha preventif dapat dilakukan dengan menciptakan good governance.  Sebenarnya pemerintah telah mengenalkan sistem ini sudah cukup lama, namun belum secara optimal dilaksanakan.
“There is nothing more difficult to take in hand, more perilous to conduct, or more uncertain in the success, than to take the lead in the introduction of a new order of things” (Machiavelli). Good Governance adalah sebuah tatanan baru bagi pemerintah sehingga wajar jika sulit untuk diterapkan. Namun pemerintah juga harus mengoreksi pendekatan implementasi yang digunakan, karena sistem tersebut sudah cukup lama didengungkan.
Selama ini kajian-kajian tentang perubahan dalam organisasi lebih banyak berada pada tataran rasional. Pandangan bahwa individu akan mudah menerima perubahan apabila ada penjelasan rasional merupakan pandangan umum dalam perubahan organisasi sehingga strategi perubahan organisasi mengikuti pola rasional (Bennis & Chin, 1997).
Manusia adalah faktor penting dalam perubahan suatu organisasi. Pendekatan rasional yang dilakukan saat ini bukan merupakan pendekatan yang terbaik karena belum memandang manusia secara untuh. Manusia bukan hanya sosok rasional tetapi juga sosok emosional yang melekat dalam dirinya dan mempengaruhi pola tingkah lakunya.
Implementasi tatanan baru yang tidak memandang manusia secara utuh akan mengakibatkan resistensi dalam tubuh organisasi. Resistensi yang tidak dikelola maka akan mengakibatkan kegagalan dalam implementasi tatanan baru, bahkan kegagalan organisasi. Jika melihat resistensi yang dilakukan maka kita juga akan mendapati bahwa resistensi juga melibatkan emosi, sehingga pendekatan juga harus mempertimbangkan faktor emosi.
Emosi adalah adalah istilah yang digunakan untuk keadaan mental dan fisiologis yang berhubungan dengan beragam perasaan, pikiran, dan perilaku. Emosi adalah pengalaman yang bersifat subjektif, atau dialami berdasarkan sudut pandang individu. Emosi berhubungan dengan konsep psikologi lain seperti suasana hati, temperamen, kepribadian, dan disposisi .
Untuk dapat memahami emosi sebagai bagian integral dalam perubahan organisasi, maka beberapa hal mengenai peran emosi dalam organisasi perlu diperjelas. Emosi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pemaknaan dalam proses keorganisasian, termasuk perubahan organisasi. Ketika terjadi perubahan dalam organisasi, maka akan terjadi hal-hal diluar kebiasaan organisasi, sehingga para anggota organisasi merasa terkejut /surprise, shock, bahkan merasa terancam. Emosi merupakan reaksi yang wajar secara psikologis terhadap kejadian-kejadian tersebut, dan individu akan berusaha memberikan makna terhadap kejadian tersebut, yang diluar kebiasaan. Pemaknaan ini tidak meliputi proses kognitif saja, tapi juga melibatkan emosi individu, dan kedua proses ini saling terjalin.
Emosi merupakan bagian integral dari proses adaptasi dan motivasi. Dalam kajian psikologi, emosi terutama dilihat sebagai fungsi adaptif ketika terjadi sesuatu yang mengancam individu, yang membantu penyesuaian individu terhadap situasi tertentu (flight or fight reaction). Sebagian ahli mengatakan emosi merupakan komponen penting dari motivasi individu, karena emosi akan mendorong individu untuk berperilaku tertentu (Frijda, 1993; Fineman, 2001) .
    Emosi merupakan faktor yang penting dalam sebuah organisasi. Sifat emosi dapat bersifat positif dan negatif tergantung bagaimana manajemen mengelolanya, dalam hal ini pemerintah. Oleh karena itu untuk menerapkan suatu tatanan baru pemerintah dapat melakukan rekontruksi pada level organisasi.
    Pada level organisasi pengelolaan emosi dapat dilakukan dengan memberikan ruang bagi seseorang untuk mengekspresikan emosi yang terkait dengan perubahan, menerima emosi sebagai bagian integral dari perubahan, menghargai individu yang mengalami dampak perubahan, dan memberikan penjelasan bahwa manajemen bukanlah pihak yang eksploitator atau semata-mata ditujukan bagi kepentingan kelompok tertentu.
    Keberhasilan menerapkan suatu tatanan baru, dalam hal ini terkait dengan penerapan sistem good governance, terletak pada upaya pengelolaan resistensi yang timbul akibat perubahan yang terjadi. Sistem good governance sebagai solusi atas kasus korupsi yang menjangkiti kinerja pemerintahan tidak hanya akan berakhir dalam sebuah harapan atau wacana bagi rakyat Indonesia. Semoga dengan pengelolaan emosi maka pemerintah mampu mewujudkan good governance.
Ketika Good Governance Melawan Korupsi
    Seperti yang dijelaskan diatas, dampak korupsi bagi negara dan rakyat sangat merugikan baik dari segi material maupun non material. Korupsi dapat terjadi karena dua hal. Yang pertama karena niat jahat dari pelaku untuk korupsi. Sedangkan yang kedua karena sistem pemerintahan yang memberikan celah bagi pelaku untuk melakukan korupsi.
    Tetapi jika dicermati, masalah utama yang menyebabkan terjadinya korupsi disebabkan karena terdapat celah dari sistem pemerintahan untuk melakukan korupsi. Keinginan jahat dari pelaku tidak akan menjadi sebuah kasus korupsi jika suatu sistem tidak memberikan celah untuk melakukan korupsi. Good Governance adalah sebuah sistem yang dapat menjadi suatu upaya preventif terhadap korupsi di Indonesia.
Berdasarkan prinsip Good Governance model UNDP, Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I Lembaga Administrasi Negara (PKP2A I LAN) telah mengonsep pengukuran Good Governance untuk Pemerintahan yang meliputi 8 dimensi dan 16 indikator, yaitu:
Asas Good Governance    Indikator
Taat Hukum    Kualitas pelaksanaan penegakan hukum.
Ketersediaan dasar hukum.
Partisipasi    Intensitas dan kualitas keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan.
Keterlibatan masyarakat dalam memonitor penyelenggaraan pemerintahan.
Daya Tanggap    Ketersediaan dan kejelasan mekanisme dan prosedur pengaduan
Kecepatan dan ketepatan Pemda dalam menanggapai pengaduan.
Transparansi    Ketersediaan mekanisme bagi publik untuk mengakses informasi publik.
Kecepatan dan kemudahan mendapatkan informasi
Akuntabilitas    Akuntabel pengelolaan anggaran yang dikeluarkan.
Pertanggungjawaban kinerja.
Kesetaraan    Ketersediaan jaminan semua orang untuk mendapatkan pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan.
Kualitas pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan yang tidak diskriminatif.
Efektivitas dan Efisiensi    Tingkat ketepatan pemberian pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat.
Tingkat efisiensi jalannya pemerintahan.
Visi strategik    Kejelasan arah pembangunan daerah yang direncanakan.
Konsistensi kebijakan untuk mewujudkan visi dan misi.

Apabila Indonesia telah mampu menciptakan good governance di dalam pemerintahan maka tingkat kebocoran anggaran dari kasus korupsi dapat dikurangi secara signifikan. Hal itu berdampak dengan meningkatkannya tingkat kesejahteraan rakyat karena proses pembangunan dapat dilakukan dengan optimal tanpa adanya korupsi. Tidak ada lagi dana pembangunan yang bocor atau diselewengkan yang akan membuat proses pembangunan tidak optimal.
    KPK sebagai salah satu lembaga yang memfokuskan diri pada upaya penindakan atau represif saja mampu menyelamatkan aset negara mencapai 4 Triliyun sampai tahun 2009 ini. Apalagi jika hal itu disertai dengan upaya preventif terhadap kasus korupsi. Saya kira kelak korupsi hanya akan menjadi dongeng bagi anak cucu kita.
    Dana kesejahteraan rakyat yang masih kalah besar jika dibandingkan dengan dana pemilihan umum dapat ditingkatkan atau digunakan secara optimal karena sudah seharusnya kebijakan pemerintah selalu mengedepankan kepentingan rakyat banyak. Jadi inilah perlawanan ala Good Governance yang menjadi sebuah upaya preventif dan bagi kasus korupsi di Indonesia. Semoga pijakan uatam inilah yang akan menghapuskan korupsi di Indonesia sehingga kesejahteraan menaungi setiap pelosok di negara besar ini.
 

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified