Jumat, 15 April 2011

MENGGUGAT DEMOKRASI PROSEDURAL DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA


Demokrasi adalah ide besar yang mengubah wajah perpolitikan dunia. Munculnya demokrasi memberi harapan baru terhadap kedaulatan rakyat. Ketika sistem politik dunia masih bersifat monarki apalagi monarki absolut, kekuasaan mutlak ada di tangan raja. Kekuasaan menjadi tersentralisasi di satu tangan yaitu di tangan para raja. Sebaliknya, rakyat telah dijadikan sebagai obyek kekuasaan yang tak jarang selalu dieksploitasi, ditindas dan dikebiri hak-haknya.
Ketika demokrasi hadir sebagai konsep yang baru dalam sistem perpolitikan, maka disitulah secara eksplisit telah terjadi peralihan kekuasaan. Kekuasaan yang sebelumnya mutlak ada di tangan raja, maka untuk selanjutnya berada di tangan rakyat. Raja atau presiden bukan lagi sebagai titisan dewa atau mahluk suci yang berhak bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, tetapi sebaliknya ia adalah abdi rakyat, pelayan rakyat. Keseluruhan kebijakan yang dijalankannya harus sesuai dengan hatu nirani dan aspirasi rakyatnya.
Dalam konteks demokrasi yang berlaku adalah suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi vox dei), dan bukan sebaliknya. Ini artinya rakyat adalah pemegang penuh kekuasaan, rakyatlah pemegang kedaulatan, sementara pemimpin atau presiden adalah pelaksana dari kekuasaan yang diamanahkan oleh rakyat kepadanya. Ini mengindikasikan bahwa keharusan adanya control dan kroitik dari rakyat untuk para pemimpin. Kalau seandainya ditemukan adanya penyelwengan yang dilakukan oleh para pemimpin, maka rakyat berhak dan bahkan harus mengkiritik terhadap pemimpin tersebut. Pemimpin yang di era monarchi dianggap tidak boleh krikitk dan pengawasan dari rakyat, di era demokrasi justru menjadi sebuah keharusan.
Konsep cek and balance (kontrol dan keseimbangan) dalam sistem demokrasi adalah keniscayaan. Partai oposisi harus diadakan. Karena tanpa itu semua, kekuasaan akan cenderung mengental pada satu pusat sehingga yang ada adalah otoritarianisme baru. Inilah yang terjadi di Indonesia ketika rezim Orde Baru masih berkuasa. Karena tidak adanya sistem kontrol dan keseimbangan kekuasaan, maka kekuasaan hanya terpusat pada rezim ORBA yang pada waktu itu diekndalikan oleh Soeharto dan kawan-kawan. Dan efeknya jelas, banyak hak-hak rakyat yang diabaikan dabhkan dilupakan dan diinjak-injak oleh penguasa. Kebbeasan pers dibrangus, gerakan massa diawasi, nalar kritis dicurigai dan sebagainya.
Selanjutnya, dengan dilegalkannya sistem kontrol dan keseimbangan dalam demokrasi, hal itu menandakan perlunya ruang kebebasan bagi rakyat. Demokrasi mengamanahkan adanya kebebasan yang seluas-luasnya untuk masyarakat. Kebebasan berpendapat, kebebasan mendapatkan penghidupan yang layak, kebebasan memperoleh asks pendidikan dan sebagainya adalah sasaran demokrasi. Namun meskipun demikian, kebebasan dalam demokrasi bukan berarti kebebasan yang tanpa batas dan cenderung anarki[1]. Sebab, kebebasan seperti itu cenderung tidak mematuhi supremasi hukum.
Padahal yang namanya demokrasi sarat utama adalah ia harus berdiri di atas supremasi hukum. Demokrasi tanpa hukum sama halnya bohong karena yang terjadi nantinya adalah pola kehidupan rimba. Sehingga yang kuatlah yang berkuasa. Padahal dengan mengalihkan kekuasan dari tangan penguasa ke tangan rakyat adalah upaya untuk mengeakkan keadilan, menciptakan kesejahteraan , kemakmuran dan kebaikan sosial. Semua tujuan itu kalau tanpa ditopang oleh sistem hukum yang memadahi.
Indonesia adalah salah satiu negara yang sekarang masih dalam era transisi demokrasi. Paska pemilu 1999 hingga sekarang, dalam bahasanya Lutfi Assyaukani adalah bisa digolongkan sebagai era konsolidasi demokrasi. Di era transisi demokrasi ini, demokrasi masih mengalami banyak kendala. Sehingga demokrasi sebagai sistem yang ideal untuk membangun masa depan Indonesia belum bisa membuahkan hasil yang memuaskan. Karena realitasnya sekarang masih banyak dijumpai berbagai kesenjangan ekonomi, KKN yang merajalela, kemiskinan yang terus meningkat, pengangguran yang membludak dan sebagainya. Semua ini menunjukkan bahwa demokrasi yang berlaku di Indoensia sekarang hanyalah demokrasi prosedural, demokrasi formal-legal namun belum mennyentuh pada aspek substansialnya. Tulisan ini sebenarnya hendak menyoroti sistem demokrasi prosedural tersebut yang sekarang tengah berjalan di Indonesia.

B. DEMOKRASI DALAM IDIOLOGI PANCASILA
Istilah demokrasi secara literal dan eksplisit memang tidak disebutkan dalam sila-sila Pancasila sebagai dasar negara Indoensia. Namun secara substansial dan implisit, Pancasila telah mengamanahkan untuk diterapkannya sistem demokrasi dalam tata laksana perpolitikan dan pemerintahan di Indonesia. Sila ke 4 dari Pancasila yang menyatakan bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan merupakan dasar idiologis-legal yang dijadikan bangsa Indonesia untuk menerapkan demokrasi.
Sistem demokrasi secara konstitusioanl di setiap negara demokrasi dicerminkan oleh terpisahnya lembaga kekuasaan ke dalam tiga institusi: eksekutif, legislative dan yudikatif. Pola ini adalah lebih mengacu pada konsep Montesquie tentang trias politika. Konsep pemisahan kekuasaan ini merupakan usaha untuk menyemibnagkan kekuasaan ke dalam berbagai segi kekuatan politik. Montesquieu merasa bahwa penyelwengan kekuasaan hanya bisa dihindari dengan pola konstitusional di mana masing-masing unsur tunduk pada batas-batas demi keseimbangan kekuasaan. Dengan meletakkan setiap kategori fungsional pada lembaga pemerintah yang berbeda, monopoli otoritas satu orang atau satu kelompok bisa dihindari, dari kondisi kebebasan politik bisa dijamin leboih baik karena:
Ketika kekuasaan legislative dan eksekutif berada pada orang yang sama, atau ada pada lembaga kehakiman, tidak bisa ada kemerdekaan;juga ttidak ada kemerdekaan jika kekuasaan kehakiman tidak dipisah dari legislatif dan eksekutif. Jika kehakiman dan legilsatif digabung maka kehidupan dan kebebasan subyek akan berada di bawah kontrol yang sewenang-wenang karena hakim juga akan menjadi legislator (pembuat undang-undang). Jika ia digabung dengan kekuasaan eksekutif, hakim akan bertindak dengan kekerasan.[2]

Oleh karena itu, demokrasi sebenarnya bukan hal baru bagi bangsa Indoensia. Meskipun sebelum tanggal 17 Agustus 1945 di Indoensia belum pernah ada pemerintahan yang bersifat demokratik seperti sekarang, namun sebenarnya unsur-unsurnya sudah ada, yang selama itu tidak pernah dimanfaatkan secara nasional formal.[3]
Demokrasi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu demosyang berarti rakyat dan cratos yang berarti pemerintahan. Dengan demikian demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat. Dalam istilah ringkasnya demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini kata rakyat yang disandingkan dengan kekuasaan atau kedaulatan dalam sistem demokrasi adalah kunci pokoknya. Sehingga ketika kata demokrasi diucapakan atau dituliskan maka yang tergambar dalam imajinasi adalah kekuasaan yang berada di bawah otoritas rakyat. Unsur rakyat dalam sistem kekuasaan demokrasi merupakan hal penting dan sekaligus menjadi karakter khas sistem tersebut. Ini artinya bahwa ketika ada pemerintahan yang menafikan dan  memarginalkan keterlibatan masyarakat dalam mengambil keputusan maka pemerintahan tersebut tidak bisa disebut demokratis.
Dalam pandangan Arsitoteles[4], demokrasi mempunyai wajah dua yaitu demokrasi moderat dan demokrasi ekstrim. Ini sesuai dengan penggambarannya mengenai enam bentuk pemerintahan yang ternama. Di sini Aristoteles membedakan sistem demokrasi dengan sistem oligarki. Pola pembedaan ini ia dasarkan pada kelas ekonomi. Oligarki, menurutnya, adalah , merupakan pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang kaya, sementara demokrasi adalah diekndalikan oleh orang-orang miskin. Oleh karena itu, distingsi pokok antara keduanya adalah kekayaan dan kemiskinan yang merupakan cermin dari unsure ekonomi.
Kalau ditelaah lebih jauh, mengapa demokrasi secara ekonomi disimbolkan sebagai pemerintahan yang berada di tangan orang-orang miskin. Ini menandakan bahwa demokrasi merupakan jenis pemerintahan yang memang dijalankan oleh seluruh masyarakat bawah, yang berusaha meneguhkan kedaulatan wong cilik, berusaha mengakui hak-hak orang kecil. Oleh karena itu sangat wajar kalau demokrasi itu memang akrab dan identik dengan masayarakat bawah. Karena keberadaan sistem ini memang berorientasi untuk mengapresiasi setinggi-tingginya kehidupan rakyat.
Di dalam sila ke empat dalam Pancasila, disebutkan dengan jelas tentang istilah kerakyatan. Bahkan kalau di analisis lebih dalam, sila ke empat dalam Pancasila tersebut mengandung tiga unsur utama yaitu: kerakyatan, permusyawaratan dan kedaulatan rakyat.[5] Ketiga unsur tersebut adalah unsur utama dan ciri khas sistem demokrasi.
Selain itu ciri khas demokrasi lainnya adalah adanya sistem musyawarah untuk mencapai keputusan. Hal ini karena sistem demokrasi berusaha untuk mencapai kebaikan bersama , maka semua itu harus dibicarakan yang melibatkan seluruh indifidu. Hal ini sebagai anitesis sistem monraki yang memutuskan sesuatu dari satu pihak, yakni dari pihak penguasa atau kalau dalam sistem aristokrasi dan oligarki keputusan yang menyangkut urusan publik hanya ditentukan oleh pihak bangsawan atau orang kaya. Unsur musyawarah dalam demokrasi inilah yang pernah disinggung oleh Presiden Indonesia pertama, Ir. Soekarno. Pada 1 Juni 1945 di tengah sidang Dokuritsu Zyumbi Tyosakai, yang pada waktu itu sedang membahas tentang dasar negara Indonesia yang baru berdiri, Bung Karno menyatakan bahwa negara Indoensia bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya.  Selanjutnya ia berkata bahwa….. kita mendirikan negara “semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.” Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negraa Indoensia ialah permusyawaratan, perwakilan[6]. Dari sini maka sebuah demokrasi tidak bisa menafikan unsure musyawarah dalam memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan persoalan publik. Unsur musyawarah ini menandakan bahwa pola komunikasi tidak berjalan satu arah, bukan vertikal dari atas ke bawah yang sifatnya instruksionis, tetapi lebih bersifat horisontal yang melibatkan dan mengakomodir seluruh aspirasi dan pendapat masyarakat yang berbeda-beda.
Makna sila ke empat Pancasila yang menyiratkan adanya sistem demokrasi, kalau diperinci lebih dalam dan lebih luas lagi, maka unsur-unsur demokrasi : kerakyatan, permusyawaratan dan kedaulatan rakyat, menurut Drs. Kaelan[7] bisa diformulasikan sebagai berikut:
  1. Arti yang terkandung dalam pengertian “kerakyatan” adalah bersifat cita-cita kefilsafatan, yaitu bahwa negara adalah untuk keperluan rakyat. Oleh karena itu maka sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat. Jadi “kerakyatan” pada hakekatnya lebih luas pengertiannya dibanding dengan pengertian demokrasi, terutama demokrasi politik.
  2. Pengertian demokrasi pada hakekatnya terikat dengan kata-kata permusyawaratan/perwakilan. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam sila keempat Pancasila. Hal ini merupakan suatu cita-cita kefilsafatan demokrasi. Terutama dalam kaitannya dengan demokrasi politik, karena cita-cita kefilsafatan demokrasi politik ini, merupakan syarat mutlak bagi tercapainya maksud kerakyatan.
  3. Dalam pengertian “kerakyatan” terkandung pula cita-cita kefilsafatan demokrasi sosial-ekonomi. Demokrasi sosial -ekonomi adalah untuk pelaksanaan persamaan dalam lapangan kemasyarakatan (social) dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraaan bersama dengan sebaik-baiknya. Adapun untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi tersebut harus dengan syarat demokrasi politik.
  4. Dengan demikian maka dalam sila keempat senantiasa terkandung dasar bagi cita-cita kefilsafatan yang terkandung dalam sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.
DEMOKRASI INDONESIA SAAT INI: SEBATAS PROSEDUR
Sebagai sistem pemerintahan yang mengatur pola dan hajat hidup orang banyak, sistem demokrasi juga mempunyai cita-cita luhur untuk perbaikan kehidupan masyarakat luas. Secara filosofis, sila keempat dalam Pancasila, makna demokrasi di dalamnya merupakan ruh atau jiwa untuk mewujudkan sila ke lima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang mana, sila kelima ini merupakan cita-cita ideal bangsa Indonesia seluruhnya.
Kita tahu bahwa Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bersifat hirarkhis dan terbentuk piramidal, yang berarti sila yang terdahulu mendasari dan menjiwai sila-sila berikutnya. Oleh karena itu sila keempat mendasari dan menjiwai sila kelima. Jadi konsekuensinya dalam sila keempat terkandung cita-cita kefilsafatan yang mendasari sila kelima.[8]
Dari makna itu tersimpul sebuah pengertian bahwa demokrasi, terutama dalam konteks Indonesia, bukan sekedar prosedur tetapi juga sistem yang mengandung cita-cita substansial dan itu merupakn cita-cita ideal seluruh masyarakat. Cita-cita itu sebagai dimensi substansialitas demokrasi itu adalah keadilan sosial. Keadilan sosial ini kalau dijabarkan lebih luas dan konkrit adalah hal-hal yang menyangkut seluruh perbaikan kehidupan masyarakat baik dibidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Secara konkrit nilai atau cita-cita itu bisa berupa lepasnya masyarakat dari himpitan kemiskinan, adanya pekerjaan yang layak bagi masyarakat, pendidikan murah, kesehatan murah, transportasi murah dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok masuarakat lainnya, terutama kebiutuhan-kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan). Nilai-nilai ini merupakan substansi demokrasi itu sendiri. Dengan sistem demokrasi itu, diharapkan kesejahteraan dan kemakmuran diberbagai segi kehidupan bisa merata dan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indoensia, dan bukannya oleh segelintir orang atau kelas tertentu sebagaimana yang ada dalam sistem monarkhi absolut atau tirani.
Dalam konteks Indonesia, keterkaitan sistem demokrasi dengan perbaikan kehidupan rakyat Indonesia, pernah dijelaskan oleh Bung Karno dalam pidatonya. Bung Karno menyatakan: “saudara-saudara, saya usulkan, kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yaitu politiek-economische yang memapu mendatangkan kesejahteraan social. Rakyat Indonesia sudah berbicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan ratu adil? Yang dimaksud dengan faham ratu adil, ialah sociale rechvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera, rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil. Naka oleh karena itu, jikalau memang betuk-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardugheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.”[9]
Hal itu menunjukkan bahwa demokrasi haru membawa perbaikan hidup masyarakat. Demokrasi harus mampu mengangkat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, harus mampu menjadi jalan bagi masyarakat untuk menggapai kemakmuran dan kebahagiaannya baik secara jasmani maupun rohani.
Namun di era konsolidasi demokrasi ini, demokrasi yang diterapkan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Sistem demokrasi di Indonesia sekarang secara substansial belum nampak membawa perbaikan kehidupan masyarakat secara konkrit. Buktinya masih dijumpai banyaknya masyarakat miskin, tingginya pengangguran, mahalnya pendidikan, mahalnya kesehatan, tindak kekerasan dan anarkhisme yang terus menghiasi relasi sosial, KKN yang semakin merajalela dan sebagainya. Semua ini merupakan masalah-masalah sosial-politik yang bertentangan dan kontraproduktif dengan spirit demokrasi.
Ketika sistem demokrasi, sebagaimana yang ada dalam sila ke empat, secara filosofis dan maknawi menajdi ruh dan spirit terrealisasinya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoensia (sila ke 5), bukankah sebuah paradok kalau kenyataannya banyak elit politik yang hidupnya mewah dan glamor, mempunyai banyak simpanan, kawin-cerai, sering plesir ke luart negeri, mempunyai kekayaan yang melimpah, sementara sebagian besar masyarakat bawah justru berada dalam kungkungan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Kesejahteraan sosial dan kemakmuran ekonomi-politik di Indonesia sekarang, baru bisa dinikmati oleh segelintir orang atau kelas elit sosial di negeri ini. Sementara mayoritas rakyat bawah yang dalam sistem demokrasi merupakan pemilik kedaulatan, justru hidupnya berada dalam kesengsaraan dan ketertindasan.
Artinya demokrasi sekarang yang tengah berjalan di Indoensia ini adalah baru sebatas demokrasi prosedural. Secara substansial Indonesia masih sangat jauh dari nilai-nilai dan spirit demokrasi. Demokrasi yang masih berjalan di tingkat prosedur itu, polanya masih bersifat simbolik. Demokrasi hanya dimanifestasikan dalam bentuk lembaga-lembaga formal  pemerintahan, pemilu, pilkada dan sejenisnya. Namun lembaga-lemabaga dan agenda-agenda tersebut tidak memberi dampak positif yang konkrit terhadap kondisi sosial –ekonomi-politik masyarakat.  Meskipun ada parlemen, presiden dan lembaga kehakiman, kemudian ada sistem pemilihan umum bersifat langsung dan sebagaianya, namun kenyataannya kehidupan masyarakat bawah tetap berada dalam kondisi miskin, lapar, terbelakang dan menderita. Maka demokrasi prosedural ini justru cermin dari paradoks demokrasi yang sebenarnya. Sebab, demokrasi prosedural tidak mampu membawa angin perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat. Dalam konteks tertentu justru menampilkan jurang kesenjangan yang lebar antara elit politik dan rakyatnya.
C. PENUTUP
Oleh karena itu, kalau demokrasi masih ingin dipercaya sebagai sistem yang efektif dan paling baik untuk kita terapkan pada saat ini, maka harus ada upaya untuk meningkatkan peran dan kualitas demokrasi dari tingkat prosedural ke level substansialnya. Artinya manifestasi demokrasi tidak cukup diukur dari pola-pola konvensional-formal-simbolik, tetapi secara konkrit juga harus membawa kesejahteraan sosial-ekonomi-politik terhadap masyarakat seluruhnya tanpa memandang ras, kelas dan kelompok. Kalau nilai-nilai substansial demokrasi itu gagal terimplementasikan, maka demokrasi di Indoensia hanya menjadi pepesan kosong belakang.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified