Senin, 29 November 2010

Hutang 1667 Triliun: Jejak Neoliberalisme di Indonesia

Berdasarkan data yang diperoleh departemen keuangan per akhir maret 2009, hutang yang melilit Indonesia meningkat menjadi 1667 triliun rupiah. Hutang itu meningkat sekitar 392 triliun pada zaman pemerintahan SBY. Melihat besarnya hutang yang dimiliki Indonesia saat ini, banyak pengamat menilai bahwa hutang yang dilakukan oleh pemerintah telah melampaui batas dan tidak sepadan dengan kemajuan pembangunan saat ini.

            Walaupun ada perubahan dari proporsi hutang saat ini yang didominasi dari hutang dalam negeri yaitu sekitar 70% dari total hutang Indonesia. Tetapi tetap saja Indonesia harus membayar bunga yang tinggi setiap tahunnya. Hal itu wajar karena hutang diperoleh dari pasar sehingga penentuan bunga ditentukan dengan mekanisme pasar.

            Namun hutang yang dilakukan pemerintah menimbulkan keganjilan. Dilarikan kemana dana yang sangat besar itu? Hutang yang diproyeksikan untuk membiayai pembangunan sarana prasarana seolah hanya wacana saja. Saat ini bukti riil yang kita lihat hanyalah selesainya pembangunan jembatan Suromadu yang hanya membutuhkan dana 4.5 Triliun. Pembangunan jalan-jalan tol yang dilakukan kebanyakan dimanfaatkan oleh segelintir orang saja yaitu para pengusaha, bukan rakyat pada umumnya. Seolah pembangunan hanya berpihak kepada golongan elite saja.

            Hutang yang katanya digunakan untuk pembangunan sarana kesehatan dan pendidikan tidak signifikan. Kita masih melihat kualitas buruk dari rumah sakit dan sekolah-sekolah tersebar di penjuru Indonesia. Kasus Prita dan kesenjangan pendidikan di Indonesia menjadi bukti nyata betapa penggunaaan hutang belum optimal digunakan untuk kepentingan rakyat. Lalu dikemanakan hutang itu?

Cengkraman Neoliberalisme           

            Secara rasional tentu kita bisa berpikir bahwa tidak mungkin negara-negara maju atau lembaga keuangan internasional mau memberikan pinjaman jika tidak ada kepentingan dibaliknya. Oleh karena itu dibalik hutang yang membengkak itu, disinyalir ada jejak-jejak neoliberalisme dibelakangnya. Kebanyakan hutang yang diperoleh Indonesia harus disertai dengan structural adjustment seperti privatisasi dan penghapusan subsidi. Penyesuaian tersebut merupakan pemikiran-pemikiran liberal karena berusaha menyerahkan mekanisme seluruhnya terhadap pasar.

            Pemikiran dan kenyataan tersebut tidak sesuai dengan cita-cita ekonomi Pancasila yang nasionalistik, karena dengan adanya liberaliasi maka golongan kecil yang mayoritas adalah pribumi akan tergusur di tanah airnya sendiri. Sumber daya alam yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, akan dihisap untuk kepentingan asing.

            Jelas kita melihat bahwa hutang bukan sekedar akses dana antara kreditur dan debitur dengan bunga yang menyertainya. Tetapi juga berdampak luas terhadap perekonomian Indonesia baik fiskal maupun moneter. Oleh karena itu paradima berpikir pemerintah paradigm hutang harus berubah dari yang bersifat tactical dan operational ke pemikiran yang bersifat strategic atau bersifat jangka panjang, karena hutang sendiri bersifat jangka panjang.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

0 komentar:

Posting Komentar

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified