Minggu, 17 Oktober 2010

Penggantian SBY-Budiono Tidak Perlu Konstitusional

 (Bedah Eko-Pol)
Ketika bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan Indonesia dengan jalan revolusioner, maka pihak kolonial berusaha membatalkannya dengan menggunakan alasan-alasan konstitusional. “Merdekanya Indonesia,” kata Bung Karno, “bukan karena syarat-syarat konstitusional, melainkan karena adanya situasi revolusioner dan kekuatan manusia yang dapat mewujudkannya.”
Seakan “mengingkari” apa yang sudah dikatakan Bung Karno di atas, para politisi Indonesia yang berasal dari partai berkuasa, tiba-tiba menyodorkan syarat-syarat konstitusional terkait isu penggulingan SBY-Budiono. “Niat penggulingan terhadap SBY adalah tidak konstitusional,” demikian dikatakan sebagaian besar negarawan yang baru mengeja politik itu.
Seperti dikatakan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, bahwa kalangan yang berpikir untuk menggulingkan pemerintahan di tengah jalan merupakan kelompok yang sesat pikir demokrasi atau tidak konstitusional. Lebih lanjut, Anas menambahkan, bahwa kelompok yang mengambil jalan di luar konstitusi itu sebaiknya tidak diikuti karena akan menimbulkan destruksi terhadap demokrasi.
Pendapat serupa dilontarkan oleh deretan elit politik dan pimpinan partai dari jajaran kekuasaan, yang pada intinya menganggap “tidak ada jalan” penggulingan dalam konstitusi Indonesia saat ini.
Tidak Bercermin
Politisi-politisi Indonesia ini tidak pernah menggunakan cermin politik untuk melihat dirinya, sehingga lupa akan “keburukan-keburukannya” di hadapan masyarakat luas. Karena perilaku malas bercermin itulah, maka sebagian besar wacana kritis dari luar kekuasaan selalu dianggap pesan negatif yang harus di buang jauh-jauh.
Wacana penggulingan tidak jatuh dari langit, tidak pula karena bisikan dewa-dewa, apalagi karena mengigau di siang hari. Wacana penggulingan memiliki basis material yang nyata, sebuah keadaan yang melahirkan marah, ketidakpuasan, protes, dan perlawanan.
Pertemuan tokoh dan aktivis di Muhammadiyah, umpamanya, yang diklaim istana sebagai motor penggerak isu penggulingan, seharusnya dianggap refleksi kritis berbagai elemen bangsa atas keterpurukan saat ini.
Jika melihat prestasi pemerintah selama setahun ini, maka kita akan sulit sekali menemukan “secuil” pun kemajuan. Sebaliknya, keterpurukan dan bayang-bayang kehancuran merintangi masa depan bangsa ini.
Di bidang perekonomian, kita menemukan kenyataan-kenyataan seperti semakin banyak perekonomian nasional yang ditaklukkan asing, de-industrialisasi, utang luar negeri yang sangat besar, dan hancurnya pasar di dalam negeri.
Untuk hukum dan politik, pemerintahan SBY banyak dikritik soal pemberantasan korupsi, yang sekarang ini seperti diberikan perlakuan khusus (remisi, perlakuan khusus untuk koruptor di penjara, dsb). SBY juga dikritik lantaran tidak bisa menjaga kedaulatan nasional di hadapan bangsa-bangsa lain.
Sementara dalam urusan budaya, pemerintahan SBY tidak juga punya prestasi yang dibanggakan, malahan patut dituduh sebagai perusak jiwa dan mental bangsa Indonesia. Ada banyak kasus untuk membuktikan hal ini, seperti merebaknya kekerasan, penindasan terhadap golongan minoritas, gangguan terhadap kebebasan berkeyakinan, dan lain sebagainya.
Seharusnya, jika pemerintahan SBY punya kepekaan politik, ketimbang meronta-ronta dan menjerit-jerit, sebaiknya menggunakan sisa waktu yang ada untuk memperbaiki kebijakan ekonomi dan politik, termasuk memutar haluan ekonomi dan politik jikalau memang dirasa sudah melenceng atau gagal.
Meluasnya ketidakpuasan
Hasil temuan berbagai lembaga survey mengenai pupularitas SBY yang menurun, masih merupakan potret di atas permukaan. Jauh dari temuan lembaga survey, ketidakpuasan rakyat justru tercermin dari meningkatkan ketegangan sosial di kalangan masyarakat sendiri, seperti kekerasan, kerusuhan, main hakim sendiri, dan lain-lain.
Ketidakpuasan ini bukan saja dipicu oleh kegagalan ekonomi, tetapi juga rasa ketidakadilan dalam penegakan hukum dan sistim politik yang semakin menyingkirkan mayoritas rakyat. Adalah bahaya besar ketika rakyat sudah tidak mempercayai lagi pemerintah dan aparatusnya.
Sayangnya, banyak bentuk ketidakpuasan ini justru dikelola oleh kelompok reaksioner, yang di belakangnya pemerintah juga, untuk mencegah ketidakpuasan itu berubah menjadi serangan vertical terhadap kekuasaan.
Kehendak rakyat
Para politisi Indonesia itu lupa, bahwa pemegang kekuasaan sepenuhnya di republik ini adalah rakyat, sedangkan SBY hanya pemegang mandat yang dapat diganti kapan saja jika rakyat menghendaki.
Ada yang mengatakan, SBY adalah presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung dan jumlah dukunganya melebihi 60%, sehingga tidak bisa dijatuhkan selain dengan jalan konstitusional pula.
Namun, perolehan suara itu tidak berlaku mutlak, sebab dukungan setiap orang tidak juga berlaku mutlak. Seseorang bisa menggeser dukungan atau menjadi oposisi tatkala bertemu dengan situasi “ketidakpuasan umum”. Seorang pendukung SBY saat pemilu bisa berubah menjadi penentang di masa sekarang. Itulah hukum perimbangan kekuatan.
Dalam pengertian itu, bahwa rakyat berhak menggunakan jalan apa saja untuk memanifestasikan kekuasaannya, termasuk jalan penggulingan kekuasaan, tatkala rejim berkuasa tidak menghargai mandat rakyat. Sebab, sejarah telah mengajarkan pula dengan berulang-ulang, bahwa hanya sedikit penguasa yang mau meletakkan kekuasaan secara damai atas desakan rakyat.
Sekarang, kita kembali kepada pertanyaan, sejauh mana dukungan mayoritas rakyat terhadap rencana penggulingan ini. Sebab, tanpa dukungan mayoritas rakyat sebagai pemilik sah kekuasaan, rencana penggulingan hanya akan menjadi maneuver elit atau semacam revolusi dalam istana.

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

0 komentar:

Posting Komentar

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified