Minggu, 14 November 2010

SISTEM EKONOMI KERAKYATAN VS NEOLIBERALISME

APA yang diributkan mengenai neoliberalisme, sebagai sistem ekonomi yang dipertentangkan dengan sistem ekonomi kerakyatan, sebenarnya merupakan isu politik ekonomi yang usang, yang hanya laku dijual dalam kampanye pilpres-wapres, yang ingin terpilih sebagai presiden-wapres 2009-2014.

Sebab, baik Mega-Pro, JK-Win, SBY-Boediono; ketiga-tiganya sebagai bakal calon presiden-wapres (2009-2014) mencita-citakan sistem ekonomi kerakyatan yang pro poor, pro job, dan pro growth (mengentaskan kemiskinan, memperluas kesempatan kerja, dan menggalakkan pertumbuhan ekonomi).

Tema kampanye ketiga kontestan tersebut hanya beda "gaya", intinya sama. Pasangan JK-Win membuat target pertumbuhan ekonomi 8-9% pada 2011, menekan subsidi listrik dan energi, melanjutkan projek pembangkit listrik 10 ribu megawatt dan konversi BBM (minyak tanah) ke gas. Pembangunan infrastruktur besar-besaran. Menjaga keamanan dan stabilitas politik. Mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Pasangan SBY-Boediono, selama dua tahun ke depan berfokus pada pemulihan ekonomi, target pertumbuhan ekonomi 7% pada 2014, pertumbuhan ekonomi yang merata di pusat dan daerah dan tidak bertumpu pada sektor industri saja. Menekan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Subsidi ditekan dan anggaran yang boros akan dipotong.

Pasangan Mega-Pro membuat target pertumbuhan ekonomi dua digit (10%); dengan jaminan empat bulan pertama perekonomian stabil. Ekonomi kerakyatan memprioritaskan pertanian, kehutanan, dan sektor strategis lainnya. Mempertahankan kedaulatan negara, melalui ketahanan pangan dan melindungi petani. Menjanjikan adanya kontrak dan peraturan yang betul-betul mengikat bagi investor agar investor dalam negeri tidak dirugikan.

Jelas apa yang menjadi sasaran tiga kontestan sasarannya sama, yaitu meningkatkan kesejahteraan umum, melalui mencerdaskan kehidupan bangsa, memperluas kesempatan kerja yang didukung investasi yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang semuanya merupakan amanat UUD 1945, rakyat bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketergantungan pada ekonomi (utang) luar negeri, di mana setiap warga negara berhak atas kesempatan kerja dan kehidupan yang layak.

Untuk mencapai target ekonomi kerakyatan tersebut, siapa pun presidennya, tidak dapat tidak harus melakukan kebijakan ekonomi neolibralisme, tidak dapat serta merta dapat bebas dari ketergantungan pada utang dan penanam modal asing (PMA) yang telah terjadi selama empat dasawarsa (1967-2008) yang merupakan warisan rezim Orde Baru yang berlanjut dengan rezim reformasi (Habibie, Gus Dur, Megawati, maupun SBY).

Menurut pendapat saya, negara kita bebas dari virus neoliberalisme, jika kita mampu mencapai fundamental ekonomi kuat dan berkelanjutan yang bercirikan: laju pertumbuhan ekonomi tinggi, yang didukung pertama, perluasan kesempatan kerja, rakyat yang memasuki pasar kerja memperoleh kesempatan kerja dan hidup layak.

Kedua, perkembangan harga barang dan jasa serta nilai tukar stabil terkendali, kebijakan moneter berhasil menjamin stabilitas moneter yang berlanjut.

Ketiga, kekurangan negara (APBN) dalam kondisi sehat; tidak lagi mengalami defisit berkepanjangan sehingga negara tidak dalam kondisi debt trap (perangkap utang) dan "dipaksa" menjual aset untuk memenuhi kewajiban utang jatuh tempo, kebijakan fiskal yang menjamin terjadinya stimulus ekonomi untuk pertumbuhan.

Keempat, kondisi moneter perbankan yang prudent dan sehat; bank mampu menjadi lembaga intermediasi yang sehat, mampu mengerahkan dana pihak ketiga (penyimpan) untuk disalurkan ke dunia bisnis, untuk pertumbuhan dan perluasan kesempatan kerja.

Kelima, kondisi neraca pembayaran yang favorable (ekspor-impor) sehingga tidak hanya cadangan devisa bertambah (surplus), tetapi juga terjadi perluasan kesempatan kerja karena meningkatnya komoditas ekspor.

Keenam, terjadi sustainable development karena pembangunan yang ramah lingkungan.

Dari apa yang dikemukakan tadi, jelaslah kiranya, melalui campur tangan pemerintah --kebijakan fiskal dan moneter-- yang merupakan kebijakan neoliberalisme; pemerintah yang akan datang (2009-2014) kita akan menuju tercapainya target ekonomi kerakyatan. Rakyat bebas dari kebodohan, kemiskinan, pengangguran, ketergantungan pada utang luar negeri dan modal asing sehingga tercapai masyarakat adil dan makmur, makmur yang berkeadilan.

Neoliberalisme bukan merupakan "polemik" akademis atau politik yang tercermin dari statemen Prabowo, Kwik Kian Gie versus Boediono, tetapi hanya merupakan isu politik yang mengejar popularitas melalui visi ekonomi kerakyatan, yang sebenarnya telah menjadi landasan dan dasar ekonomi Indonesia (lihat amanat UUD 1945, khususnya Pembukaan dan Pasal 27, ayat 2)
(Penulis adalah Pengamat ekonomi)

Kode iklan, banner, pesan atau apapun di pasang disini!

0 komentar:

Posting Komentar

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified